Mohon tunggu...
Er Pnambang
Er Pnambang Mohon Tunggu... -

"Sebab hidup tak semudah ketika anda bercerita, menulis atau berkomentar, mengecil diri kadang bisa mengisar setapak...". Tapi, kok serius sekali saya kayaknya ya? Di Kompasiana saya cuma pengen satu hal; ketawa; entah menertawakan atau ditertawakan...hahahahahahahahhhahahahahahahhhahahah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Testimoni untuk Arti

21 Desember 2010   11:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Ah kau bahkan lebih gila! Lihatlah didepanku. Lihatlah kokohnya sebuah rumah, tempat dimana biasanya kita berdiam setelah lelah berjalan dalam pencarian. Dan disini aku; di depan pintunya menunggu”

“Ini hanyalah taman kota dimana jalan kota menjadi bercabang. Hanya jalan! Kau bebas memilih ke kiri atau ke kanan. Kenapa kau berkeras ini adalah sebuah rumah?”. “Karena aku memercayai bahwa ini adalah sebuah rumah”. “Lalu apakah Arti-mu tinggal di situ?”. “Ya, ia di sana, di dalam rumah itu. Ia melihatku di sini. Melihatku duduk di depan pintu. Aku selalu mengharap dan merindu”.

“Mengapa kau tidak masuk saja, bukankah tak terkunci pintunya. Kau tentu bisa saja membukanya”, ledekku. “Ya pintunya tadi senja telah terbuka. Tapi tidak kawan. Mungkin tidak akan pernah”.“Mengapa? Bukankah kau terlalu lama mencari arti? Lalu bila ia sudah bisa kau temui mengapa kau tak berlekas datang kepadanya?”. “Tidak kawan. Sekali lagi; tidak!” katanya. Ah orang gila!

“Mengapa?” tanyaku lagi.“Kau tidak akan mengerti meski mungkin kuterangkan seribu kali” katanya. “Ayolah, apapun itu, aku akan mencoba mendengarkan”. “Kadang aku merasa bersalah jika harus menceritakannya, sebab disana Arti melihatku sambil menangis. Apakah kau melihatnya?”katanya seraya menunjuk ke depannya. Tak menunjuk apapun kecuali udara. “Dan kau tahu? Aku tak berdaya jika Arti menangis, meski aku sendiri tak bisa untuk tidak menceritakannya”, lanjutnya sambil menatapku.

“Ayolah orang gila! Tak usahlah lagi berlama bercerita”. “Kau tahu mengapa aku duduk disini?”tanyanya. Matanya menyelidik kedua mataku. “Ya. Seperti katamu tadi; menunggu Arti” jawabku. “Maka tentu saja selanjutnya kau tahu mengapa mereka dan kau sendiri menganggapku gila?”. “Mmm..mungkin karena kau tetap menunggu arti yang ada dalam rumah meski pintunya telah terbuka sejak tadi senja” tebakku

“Benar! Lalu bisakah kau percaya itu semua?” tanyanya. Sorot matanya masih tak melepaskan mataku sebagai sasarannya. “Ah aku hanya percaya bahwa kau mengada-ada! Semua ini hanya karena kau gila! Aku sama sekali tidak percaya!” kataku. “Bagaimana bisa membuatmu percaya?” tanyanya. “Jika memang ada Arti” . “Aku telah katakan padamu, dia ada, sedang duduk disana; melihatku!. Tapi apa kau percaya itu?” ia bertanya padaku lagi. “Kalau begitu katakan saja pada Arti untuk hadir di sini dan berkata sendiri bahwa dia ada! Katakan itu kepadanya niscaya aku dan orang-orang itu percaya dan tidak menganggapmu gila”. “Itulah mengapa aku berkata kepadamu; aku hanya akan menunggu, mungkin menahan diriku untuk tidak masuk rumah lewat pintu. Sebab jika aku yang mengatakan sendiri bahwa ada Arti dan ia telah berhasil kutemui, kalian tetap tidak akan percaya. Kalian akan tetap menganggap aku gila! Kalan hanya percaya jika arti sendiri yang bicara dan datang ke sini”

“Percayakah kau bahwa Arti akan ke sini menghampirimu?” tanyaku. “Aku percaya, sangat!”jawabnya singkat. Matanya lalu beralih memandang ke depan. Barangkali memandang Arti-nya yang katanya duduk di depan sana. Mata yang jarang berkejap dan penuh harap.

“Apa yang membuatmu percaya?”. “Karena aku selalu percaya ia takkan rela membiarkanku disebut gila”. “Sampai kapan kau menunggu?”tanyaku lagi. “Jangan pernah tanyakan itu!” katanya singkat. “Mengapa?” tanyaku heran. “Karena masalahnya bukan waktu! Waktu tak terlalu sakti untuk membuat Arti hadir menemuiku disini. Hanya Arti yang membuatnya datang sebagai Arti”

“Apa yang kau tulis itu? Cerita?”tanyaku perihal catatannya. Ia melihat lembar itu sebentar. “Ya!” katanya. “Untuk apa? Adakah hubungannya dengan Arti?”. “Dulu hingga tadi, aku yakin begitu”, katanya. “Cerita ini menjaga kepercayaanku sendiri bahwa ada Arti. Memiliki Arti meski hanya bayangannya saja!” terusnya.

“Ah mengapa kau berbuat itu?”. “Karena dulu kukira memiliki bayangan Arti lebih baik daripada tidak sama sekali! Kau tahu? Aku seperti halnya manusia biasa yang memperoleh kenyamanan dengan menuhankan bayangan tuhan”, katanya. Huh! Lebih baik memang kusingkirkan perkiraanku kalau dia adalah seniman. Dia sudah terlalu benar-benar gila!

“Sampai kapan kau akan menulis cerita itu?”tanyaku kemudian. “Entahlah. Aku tak tahu. Mungkin aku akan menunda menuliskan kelanjutannya hingga Arti menghampiriku dan berkata; ‘Ini aku Arti datang sendiri untukmu yag menunggu!’ Pembicaraanku denganmu ini layaknya jeda tulisanku, selanjutnya aku akan diam menunggu..”katanya liri malam yang kiat larut, kian sendu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun