Sebenarnya menurut saya pribadi agak susah mengatasi gejala baby blues ini, apalagi pada wanita yang baru pertama kali menjadi seorang ibu. Pasalnya ada dua faktor utama yang ternyata tak bisa dihindari sama sekali, yaitu perubahan hormonal dan keharusan beradaptasi.
Selebihnya, kelelahan dan kurang istirahat adalah faktor lain yang menyebabkannya. Tentu saja semua faktor penyebab tak ada yang boleh di nomor duakan, karena memang saling berkaitan.
Namun, ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk meminimalisir dampak dari baby blues ini sebagai berikut :
- Pastikan seorang ibu yang baru lahir diarahkan untuk mendapatkan istirahat yang cukup dan teratur.
- Pastikan orang terdekat memberitahukan bahwa seorang ibu tidak boleh membebani diri sendiri,
- Lakukan olahraga ringan pasca melahirkan secara rutin dan makan makanan bergizi, agar tubuh ibu dapat meregenerasi kembali kondisi fisik dan mental secara optimal.
- Berikan ibu waktu dan kesempatan untuk menyendiri.
- Konsultasi dengan terapis agar dapat meningkatkan kembali semangat mental Ibu agar lebih baik.
- Lingkungan yang kondusif dimana semua orang-orang terdekat memberikan dukungan moril dan pengertian kepada si Ibu.
Pentingnya Dukungan Keluarga
Jujur, hari ini saya sadari dan sangat bersyukur, bahwa saya pernah merasakan stress karena baby blues. Kenapa? Karena dari situ saya sadar, bagaimana dukungan orang terdekat terutama suami sangat berperan besar.
Dulu, pada saat pasca melahirkan anak pertama, suami mengakomodir semua kebutuhan saya sebagai ibu muda. Pekerjaan rumah rutin seperti masak, beberes, cuci baju bayi, mandikan dan hal-hal lain yang akan membuat saya nyaman dilakoninya.
Bahkan ketika pulang piket malam pun tak jarang dia tidak langsung istirahat, melainkan menyiapkan dulu semua keperluan saya dan si bayi mungil kami. Hal itu berlangsung hingga anak kedua dan ketiga.
Namun yang perlu saya tekankan, bahwa dengan bentuk perhatian yang sebesar itu saja saya masih juga bisa merasa stress, sedih, marah, ingin lari dari kenyataan. Kenapa, karena ternyata tidak cukup hanya dengan orang paling dekat, tapi juga seluruh keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Saya ingat betul, suatu siang saya sangat kelelahan menjaga si bayi yang baru saja tidur. Setelah semalaman begadang, menjaga agar ia bisa mimik tanpa tersedak atau tertutup hidungnya. Atau menjaganya saat ia terjaga dengan menggendongnya. Belum lagi harus beradaptasi dengan rasa nyeri pasca operasi selama hampir sebulan lebih.
Sayangnya, lingkungan sekitar termasuk keluarga ternyata tidak memberikan dukungan yang sama. Siang itu saya ketiduran di samping bayi saya yang tertidur di ayunan. Dan samar-samar saya dengar dari luar ada yang bicara "coba kalau anaknya tidur itu, ya ibunya bersih-bersih, masak kek"
Atau kalimat lain yang sangat membuat saya emosi seperti "Senangnya operasi, kita dulu ga ada operasi-operasian", dimana kalimat ini saya dengar dari hari pertama pasca melahirkan.
Belum lagi, kondisi lingkungan yang berisik, ribut, asap dapur mengepul sana sini, bahkan asap bakaran sampah. Jujur, kalau ingat itu saya masih sangat ingin berteriak detik ini. Syukurnya semua itu sudah saya lalui.