Sakit tulang, ini adalah masalah sebagian orang lanjut usia atau orang tua. Namun semakin ke sini justru banyak juga dialami oleh mereka yang masih di bawah 40 tahun.
Saya sudah lupa entah itu lebaran tahun kapan, ketika kami sekeluarga beberapa hari sebelum idul fitri harus mudik ke UGD sebuah rumah sakit. Alih-alih langsung mudik ke kampung halaman yang berjarak sekitar 1,5 jam itu, justru kepanikan cari taxi untuk segera membawa ibu yang saat itu menangis kesakitan.
Saya tidak akan lupa saat itu dia memegangi kakinya sambil menahan sakit nya nyeri tulang di bagian lututnya. Dan saat itu posisi kakinya lurus tak bisa di tekuk. Sungguh serba salah ketika kami bertiga, saya dan 2 orang adik laki-laki, berusaha membopongnya masuk ke dalam taksi.
Hasil Pemeriksaan Dokter Tulang
Begitu sampai di UGD syukurnya ibu saya langsung diperiksa dokter, selanjutnya dibuatkan rujukan untuk rontgen tulang dan konsul ke spesialis tulang di RS yang sama. Hari itu juga dijalankan pemeriksaan oleh dokter spesialis tulang.
Setelah menjalani serangkaian test, dan dokterpun membacakan hasil pemeriksaannya berdasarkan lembar hsil rontgen tersebut. Katanya, ibu kami mengalami kondisi dimana tulang kekurangan cairan pelumasnya di bagian lutut, sehingga terjadi pergesekan tulang penyebab nyeri. Bahkan dikatakan kemungkinan ibu bisa saja keropos tulang lebih parah di bagian itu apabila tidak segera di tindak lanjuti.
Khawatir dan panik, itu yang ada di kepala saya saat itu. Terlebih ketika mendengar bahwa pilihannya cuma 2, injeksi cairan di lutut setiap 2 minggu sekali, atau operasi penggantian tulang lutut dengan bahan kuningan atau apalah namanya. Bagi saya pribadi tidak ada yang baik-baik saja dengan kata operasi maupun injeksi.
Terlebih bagi ibu saya sendiri yang saat itu juga ikut mendengarkan penjelasan dokter. Tampak jelas wajahnya pucat membayangkan hal itu. Teringat saya pikir hanya diabetes yang harus injeksi insulin tiap hari, ternyata ada juga untuk masalah tulang.
Namun dokter tersebut tidak hanya menjelaskan hal itu, namun menjelaskan faktor penyebab sakit tulang lutut yang di derita ibu saya sebagai efek dari kelebihan berat badan bagian atas, yang tidak di tunjang oleh kekuatan tubuh bagian bawah. Obesitas!
Akhirnya kami pulang untuk mempertimbangkan berbagai hal sebelum memutuskan.
Merubah Pola Makan dan Kebiasaan
Beberapa tahun yang lalu saya pernah melakukan body reset atau mereset tubuh sendiri dengan metode yang di sampaikan oleh seorang dokter yang viral saat itu, bernama Zaidul Akbar. Saya yang aslinya nekat dan suka membuktikan sesuatu hal baru pun mencoba metode itu.
Sebagai informasi, dokter Zaidul Akbar ini banyak berdakwah tentang merubah mindset dan isi piring untuk mengembalikan kondisi kesehatan tubuh seperti awalnya. Karena tubuh manusia diciptakan dari tanah sehingga asupan terbaiknya memang tumbuhan.
Kira-kira begitu kesimpulan yang saya tangkap dari setiap videonya. Akhirnya otak nekat saya pun mulai merubah pola makan dan kebiasaan. Niatnya cuma sebulan, tapi ternyata karena tubuh saya merasa terus membaik dan banyak perubahan positif yang terjadi, saya pun teruskan sampai 1,5 tahun lamanya. Tanpa nasi putih, tanpa tepung, tanpa gula pasir, tanpa goreng-goreng. Kebanyakan tumis dan rebus, menghindari makanan kemasan dan makan real food.
Tak lupa olahraga teratur, meskipun olahraga ini memang telah menjadi kebiasaan saya sejak jaman sekolah. Endingnya memang luar biasa, alergi setiap kali musim dingin yang saya rasakan lenyap. Nyeri Menstruasi tak lagi pernah saya alami, kulit jadi cerah dan sangat bersih. Kuku mengkilat macam habis ke salon, perut apalagi tak pernah menunjukkan kemajuan, selalu flat cenderung masuk.
Berangkat dari pengalaman itulah, saya akhirnya mencoba menawarkan alternatif ini kepada ibu saya yang sangat cemas dan takut dengan operasi ataupun injeksi. Saya paham perasaan beliau. Hingga akhirnya tawaran saya pun diterima Ibu.
Mulailah beliau dengan pola makan yang menurut sebagian orang 'menyiksa'. No tepung, No Gula pasir, No goreng, perbanyak sayur dan buah, nasi putih diimbangi beras merah organik. Dan tentu saja latihan beban untuk menguatkan otot paha atau kaki secara keseluruhan.
Olahraga nya simple, awalnya hanya jalan kaki dan perbanyak aktifitas jalan kaki. Tahap berikutnya ketika kondisi nyeri mulai berangsur hilang, latihan beban di lanjutkan dengan berjalan di pasir pantai yang agak miring. Naik dan turun beberapa menit setiap hari.
Hal ini berlangsung selama kurang lebih 2 atau 3 bulan seingat saya, hingga akhirnya ibu saya sehat dan tidak merasakan nyeri sama sekali di lututnya. Bahkan beliau sempat menangis bahagia saat shalat tak lagi harus mengerang kesakitan karena selama hampir 1 tahun lebih lutut tak bisa di tekuk, ke kamar mandi pun seperti itu.
Pentingnya Komitmen Untuk Sehat
Saya akui, ibu saya adalah orang yang punya tekad besar untuk sembuh. Sehingga chalenge 'ekstrim' bagi sebagian besar orang pun bisa dilaluinya. Namun tentu saja hasil tak akan berkhianat pada perjuangan. Hingga saat ini, ibu saya bahkan tak suka lagi makanan manis, di rumah pun tak ada lagi dzat yang bernama gula pasir. Pun dengan tepung-tepung dan makanan junk food termasuk gorengan.
Mungkin karena trauma mendalam akibat selama tahunan tak bisa menekuk lututnya, tak bebas beraktifitas, pernah ke rumah sakit dengan kursi roda bahkan ditawari operasi ganti tulang lutut. Sehingga sampai saat ini ibu sangat menjaga makanan dan olahraganya.
Beliau juga menyadari bahwa komitmen untuk sehat itu sangat penting agar tidak menghalangi aktifitasnya di usia yang sekarang menginjak 56 tahun. Bahkan ketika pergi umrah tahun kemarin, teman sekamarnya yang berusia tidak lebih dari 40 tahun bercerita kepada saya dengan kagum tentang sehatnya fisik ibu ketika naik turun bukit safa dan marwah.
Sebuah kebahagiaan yang tentunya saya sebagai anak juga tak bisa lukiskan melihat beliau tetap sehat dan aktif.
Mindset dan Culture
Jujur sebagai orang yang pernah merasakan dahsyatnya manfaat me reset tubuh sendiri, saya tidak akan juga skip bagaimana 3-4 hari pertama melakukan hal itu. Rasanya seperti orang sakit tapi tidak sakit. 2 hari pertama tubuh saya lemas dan seperti gemetaran, namun saya bukanlah orang yang cepat menyerah dalam misi.
Saya ingat bahwa mindset yang tersetting di kepala kita 'kalau ga makan nasi belum makan', itu harus dirubah agar tubuh pun terbiasa. Maka kondisi yang lumayan membuat saya merasa agak cemas itupun akhirnya bisa saya kalahkan. Di hari kelima, tubuh saya tak lagi gemetaran dan lemas, mulai bugar dan terasa sangat ringan. Sebulan kemudian kulit saya mulai terasa perbaikan. Tiga bulan kemudian saya kaget sendiri tetiba menstruasi tanpa ada tanda nyeri apapun.
Dari semua kejadian dan pengalaman itu saya pun sadar bahwa kita khususnya kebanyakan orang Indonesia mungkin bermasalah dengan mindset. Label bahwa makan harus dengan nasi atau makan-makanan manis adalah hal biasa ini menjadi bumerang di hari-hari ini.
Di Lombok sendiri, khususnya keluarga besar ibu saya, setiap lebaran wajib membuat berbagai penganan manis yang double kill bagi saya. Seperti misalnya ladran, tarek, bolu jadul, iwel dan berbagai makanan manis dari tepung dengan gula pasir, dan di goreng pulak.
Belum lagi dengan teh atau kopi yang gula pasirnya hampir 2-3 sdm, yang begitu saya cicipi membuat kepala saya pusing dan tersengat. Tidak diminum takut menyinggung, diminum menyengat ke kepala, jadi cukup diseruput sedikit untuk menghormati. Pun dengan ibu saya yang memang sudah tidak suka makanan manis, kadang hanya mengambil air putih saja.
Kurangnya kesadaran masyarakat memang tidak bisa lepas dari mindset dan culture. Pikiran bahwa tak makan nasi akan bikin lemas atau tak bertenaga memang tidak sepenuhnya salah, karena banyak juga bapak-bapak yang kerjanya angkat beban di pasar memang sehat-sehat (ototnya terlatih tiap hari karena kebutuhan hidup). Atau makan manis itu tidak apa-apa yang penting tetap sehat. Bah, ironis sekali seperti katanya Bang Ade Rai.
Ada orang mau kaya tapi nggak mau kerja lalu bilang "ga apa-apa ga kerja yang penting kaya" itu sama dengan "ga apa-apa makan manis dan ga olahraga yang penting sehat"
Pilihan Ada Di Tangan Kita
Pada akhirnya, saya sangat berharap melalui tulisan dan kisah nyata yang saya alami banyak dari anda yang bisa mengambil pelajaran berharga tentang pentingnya kesehatan dan menjaga kesehatan.
Pilihan ada di tangan kita, anda dan masing-masing orang. Ingin sehat hingga di usia senja, atau ingin memanjakan lidah dan mempertahankan mindset namun tak bebas bergerak di saat senja.
Faktanya, tiap orang berhak memilih, berhak menentukan ingin menjalani hidup yang bagaimana. Pesan saya bagi anda yang masih dengan mindset dan culture yang salah, cobalah untuk berubah. Karena belum tentu di usia senja, ada yang akan benar-benar tulus merawat anda. Atau pikirkanlah agar di usia senja kita masih bisa beribadah dan jalan-jalan tanpa merepotkan anak, pasangan atau keluarga kita.
*Saya tuliskan sebagai sharing ilmu dan pengalaman, bentuk syukur saya atas kesehatan ibu yang tetap prima hingga kini. Semoga tahun depan beliau bisa pergi umrah lagi jika diberi rezeki.
Tulisan ini juga saya kirimkan dengan judul yang sama di Kumparan.com. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H