Mohon tunggu...
Erni Wardhani
Erni Wardhani Mohon Tunggu... Guru - Guru, penulis konten kreator (Youtube, Tiktok), EO

Guru SMKN I Cianjur, Tiktok, Youtube, Facebook: Erni Wardhani Instagram: Erni Berkata dan Erni Wardhani. Selain itu, saya adalah seorang EO, Koordinator diklat kepala perpustakaan se-Indonesia, sekretaris bidang pendidikan Jabar Bergerak Provinsi, Pengurus Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat, Pengurus Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat, Pengurus IGI kabupaten Cianjur, sekretaris Forum Kabupaten Cianjur Sehat, Founder Indonesia Berbagi, Tim pengembang Pendidikan Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI Provinsi Jawa Barat, Humas KPAID Kabupaten Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daun yang Luruh di Rambutnya

25 Februari 2017   23:11 Diperbarui: 25 Februari 2017   23:16 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika itu, hujan turun dengan sangat deras, walau tanpa dibarengi petir. Suasana menjadi lebih gelap dari waktu sesungguhnya. Langit begitu edan mencurahkan semua isi perutnya. Dari satu buliran ke buliran yang lain demikian rapatnya, seakan air hujan yang tertumpah membentuk milyaran untaian tali panjang, menjulur dari langit ke tanah.

Hujan semakin deras, sebelum kereta yang kautumpangi berhenti di stasiun yang ada aku yang menunggu untuk menjemputmu. Menjemput dengan segenap perasaan. Aku memilih berdiri di ujung peron untuk menanti kedatanganmu dengan sepasang mata yang cemas dan membiarkan hujan tempias di wajah dan tubuhku, sebab tak mau melewatkan dan demikian ingin membingkai dalam ingatan setiap detik pertemuan pertamaku denganmu saat itu. Perempuan yang selalu saja membuat lidahku kelu, tak mampu untuk berkata-kata.

Sesekali orang-orang meneriakiku agar aku duduk pada bangku kosong di samping mereka lantaran khawatir melihat pakaianku yang membasah perlahan, untuk kemudian kuyup. Namun aku hanya membalas mereka dengan sebuah senyuman. Sekali saja. Dan mereka langsung diam, walau sedikit mengernyitkan kening. Semoga dari senyumanku itu mereka dapat membaca cerita, kalau orang yang sedang kutunggu kedatangannya itu adalah orang yang sangat kucinta.

Lalu aku, ketika akhirnya menyimak keretamu datang melambat dari kejauhan dengan lampu-lampunya yang nyala menembus buliran air, jantungku seketika degap merancu. Mengencang. Aku mendengar suara-suara yang sangat keras muncul dari dalam dadaku. Lebih keras daripada suara hujan yang berkertapan di atas langit-langit peron, bahkan juga lebih tak beraturan daripada derak gerbong kereta yang membawamu pulang itu. Yang akhirnya satu persatu melintas jelas di depanku, dengan kaca-kaca pintu yang seolah berkata, “Tebak, dari mana akan keluar orang yang kau tunggu?”
Aku mencarimu dari satu pintu ke pintu yang lain, tapi tak kutemukan. Mungkin karena kau tak benar-benar pulang , atau mungkin kau lebih dulu turun sebelum aku sampai pada pintu di mana engkau telah keluar berjalan.

Tap!

Dan akhirnya, tepukan yang hangat dan lembut itu mendarat juga di pundakku – tepukan tanganmu yang tetap sama seperti dulu. Seketika kerinduanku akan sentuhmu lunas. Sebegitu yakinnya aku dengan sentuhanmu. Ketika itu aku begitu lama menatap ke kedalaman matamu, tapi kau hanya tersenyum. Senyum yang sangat indah, sehingga mampu menelusuri denyutan jantungku. Akhirnya aku menjadi sadar kalau saat itu kausudah tak lagi sama dengan Acil yang kukenal dulu. Entah kenapa, rasanya ketika itu aku jadi ingin sekali menundukkan kepala usai melihat caramu membalas tatapan mataku, seperti bagaimana dulu aku kaupaksa untuk diam dan khidmat menyimak kesahajaan kata juga kerendahhatianmu. Dan saat itu, sekali lagi aku memutar cerita yang pernah kita lalui dalam kepalaku – mencoba menemukan kembali alasan kenapa aku ingin sekali berada di sampingmu.

“Kita naik becak ....”

Kau cuma menatapku. Bak ingin menjawab: terserah kau.

“Jalan saja, ya?”

“Aku menurut saja ....”

“Hitung-hitung menyusuri jalan kenangan.”

Aku gamang untuk menggandengmu. Ini sebuah kota kecil yang masih memiliki adab. Terlebih suatu siang. Apa kata dunia? Sedang ada rembulan pada siang hari? Tak. Aku tidak ingin mengubah adat baik hanya karena aku bertemu dengan Acil. Sama seperti kau yang sudah berkepala dua sebuah usia matang, tentu. Barangkali kau di sana, di tempat yang selalu kausebut membuatmu tak betah. Hanya karena bertahan untuk bisa bersamaku.

“Er, apa cuma kita ketemu lagi, dan untuk berpisah?” sampai juga pada ujung lidah yang kautahan sejak lama rupanya.

“Inginmu apa? Aku wanita. Yang selalu menunggu. Bukan karena zaman yang berubah atau yang sudah modern. Persoalan cinta, persoalan klasik. Sejak Romeo and Juliet. Rama dan Sinta. Ratna dan Galih ....””

Tap!

Aku entah digiring apa, bisa mencekal ujung lenganmu. Dingin. Apa peduliku? Ini sudah perjalanan panjang dari stasiun cinta kita hingga tak perlu tatatapan misalnya orang melihat kami seperti truk gandengan pada siang beringsut pelan. Stasiun yang membuat kita mesti kayak orang gelo!

“Aku ingin Erni tak lagi lari menjauh ...,” katamu lirih.

“Trus?”

“Ya cuma pernah kepleset ...dengan Mia.” Kali ini kausenyum. Bahkan ada tawanya.

“Yang menjadikanmu seorang mantan?”

Aku memejamkan mata. Kuhela nafas panjang, dan kusemburkan pelan-pelan.

Tap!

Sebuah telapak tangan membekap bagian tengah bibirku yang kukatupkan. Aku tetap tak membuka mataku.

“Katakan ....”

“Apa?”

“Apa saja. Apa saja yang bisa meredamkan gemuruh dadaku....”

“Hm ....”

“Kita sudah tak punya waktu.”

“Oh ...”

“Ya.”

Kau tuntun aku ke tempat mana, aku menurut. Masih dengan memejamkan mata. Seraya menata hati. Lalu kuikuti, agar aku duduk. Sebuah bangku kukuh, bersemen. Ah, bukankah ini bangku dulu. Yang di sini kirinya ada semacam tanggul? Di mana membatasi pinggulku. Dan di atasnya pernah meluruh daun kering. Lalu kaukutipkan: Ini daun nakal.

“Nakal?”

“Ya, yang membuat rambut lurusmu seperti dihiasi bercak cat yang tak kaukehendaki dari lukisanmu yang indah....”

Acil memintaku menunggu. Ia rupanya melambari permukaan bangku semen dari basah hujan tadi. Baru ia memintaku duduk.

“Kita tutup soal musuh mantan ....atau apa pun. Yang ada, kini ...Erni dan Acil.”

Angin bertiup pada ujung hujan tadi. Mendesir menabrak dadaku.

“Mantan terindahkah ini?”

Kudengar jentikan jari panjang dan kuat dengan ibujarinya. Ceklek!

“Itu dia. Tak percuma kau suka dengan lirik-lirik lagu dari bahasa yang terpilih ....”

Aku tersenyum.

Klik!

Aku membuka mata. Dan ia asyik klik-klik berikutnya. Memotretiku yang lama menutup mata.

“Aku lapar ....”

Ganti aku yang menjentikkan jari-jemariku.

“Bakso tulang lunak di ujung sana ...masih ada. Masih ditunggui Mang Karta.”

Kali ini aku yang menggandengnya. Acil menurut. Menggendong tas ke punggungnya yang kukuh. Tepat saat belum melangkah, luruh daun kering dari atas. Pluk. Hinggap di rambutnya yang agak gondrong dan tak dirasakan. Ya, selembar daun yang membuatnya seperti lelaki tangguh.

“Biar saja,” kataku dalam hati.

Tuiiiiit ...! Suara kereta, entah dari mana. Apa peduliku kalau aku sudah bertemu dengan Acil?

***
Cianjur-PdG 25/2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun