Aku gamang untuk menggandengmu. Ini sebuah kota kecil yang masih memiliki adab. Terlebih suatu siang. Apa kata dunia? Sedang ada rembulan pada siang hari? Tak. Aku tidak ingin mengubah adat baik hanya karena aku bertemu dengan Acil. Sama seperti kau yang sudah berkepala dua sebuah usia matang, tentu. Barangkali kau di sana, di tempat yang selalu kausebut membuatmu tak betah. Hanya karena bertahan untuk bisa bersamaku.
“Er, apa cuma kita ketemu lagi, dan untuk berpisah?” sampai juga pada ujung lidah yang kautahan sejak lama rupanya.
“Inginmu apa? Aku wanita. Yang selalu menunggu. Bukan karena zaman yang berubah atau yang sudah modern. Persoalan cinta, persoalan klasik. Sejak Romeo and Juliet. Rama dan Sinta. Ratna dan Galih ....””
Tap!
Aku entah digiring apa, bisa mencekal ujung lenganmu. Dingin. Apa peduliku? Ini sudah perjalanan panjang dari stasiun cinta kita hingga tak perlu tatatapan misalnya orang melihat kami seperti truk gandengan pada siang beringsut pelan. Stasiun yang membuat kita mesti kayak orang gelo!
“Aku ingin Erni tak lagi lari menjauh ...,” katamu lirih.
“Trus?”
“Ya cuma pernah kepleset ...dengan Mia.” Kali ini kausenyum. Bahkan ada tawanya.
“Yang menjadikanmu seorang mantan?”
Aku memejamkan mata. Kuhela nafas panjang, dan kusemburkan pelan-pelan.
Tap!