Sebuah telapak tangan membekap bagian tengah bibirku yang kukatupkan. Aku tetap tak membuka mataku.
“Katakan ....”
“Apa?”
“Apa saja. Apa saja yang bisa meredamkan gemuruh dadaku....”
“Hm ....”
“Kita sudah tak punya waktu.”
“Oh ...”
“Ya.”
Kau tuntun aku ke tempat mana, aku menurut. Masih dengan memejamkan mata. Seraya menata hati. Lalu kuikuti, agar aku duduk. Sebuah bangku kukuh, bersemen. Ah, bukankah ini bangku dulu. Yang di sini kirinya ada semacam tanggul? Di mana membatasi pinggulku. Dan di atasnya pernah meluruh daun kering. Lalu kaukutipkan: Ini daun nakal.
“Nakal?”
“Ya, yang membuat rambut lurusmu seperti dihiasi bercak cat yang tak kaukehendaki dari lukisanmu yang indah....”