Mohon tunggu...
Erni Marwati
Erni Marwati Mohon Tunggu... Administrasi - -

Go Up and Never Stop

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Bertahan di Antara Ketidakpastian Ekonomi Global

25 Juni 2019   16:32 Diperbarui: 25 Juni 2019   16:48 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Bank Indonesia

Masih segar dalam ingatan tragedi yang melanda perekonomian Indonesia tahun 1998 lalu.  Sebuah periode paling suram dalam sejarah perekonomian Indonesia, membalikkan semua mimpi indah menyongsong milenium ketiga. Bak bola salju, dampak yang timbul merembet ke semua sektor, bukan hanya ekonomi, namun berimbas pula ke sosial dan politik. 

Harga bahan pokok yang melambung tak terkendali, pemutusan hubungan kerja dimana-mana, ratusan perusahaan yang kembang kempis mempertahankan diri meskipun pada akhirnya menyandang status "insolvent" alias "bangkrut", grafik pengangguran yang melambung tak terkendali, angka kriminalitas yang tak terbendung dan bahkan tahta Presiden Soeharto pun ikut goyah. 

Rupiah dan bursa saham juga seolah tak mau ketinggalan turut menorehkan tinta merah dalam sejarah perekonomian. Parahnya lagi, hutang luar negeri sekitar 20 M dollar AS jatuh tempo ditahun itu, dan ironisnya cadangan devisa tak mampu menanggung semua beban kerapuhan fundamental kala itu. Begitu hebat dampak dari tragedi yang bernama "krisis moneter".

Beranjak dari tragedi itu, pemerintah terus berupaya melakukan pembenahan dan pemulihan di semua sektor, mulai dari percepatan pembangunan infrastruktur, pembenahan atas perijinan pembangunan sektor industri, mendorong industri dasar seperti besi, baja dan petrokimia untuk semakin meningkatkan kinerjanya maupun dengan melakukan perbaikan sektor pariwisata sebagai penyumbang pendapatan negara. Perlahan, upaya tersebut membuahkan hasil. Kondisi politik sudah mulai stabil, geliat roda perekonomian sudah mulai terlihat.

Dua puluh satu tahun telah berlalu. Apakah badai perekonomian itu kembali menyapa?

Seiring berjalannya waktu, makin pesatnya kemajuan teknologi, dan makin besarnya pengaruh globalisasi, justru maka makin besar risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Kalau krisis moneter sudah berlalu, maka ketidakpastian ekonomi global menjadi tantangan utama dalam menjalankan roda perekonomian kita saat ini. Meskipun dampaknya tidak separah krisis moneter kala itu, namun tetap saja menjadi penghambat melajunya roda perekonomian. 

Peningkatan tensi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, belum adanya kesepakatan diantara Inggris dan Uni Eropa sehubungan dengan keluarnya negeri itu dari Uni Eropa (Brexit), maupun pertumbuhan ekonomi China yang belum pulih menjadi penyebab utama naik turunnya pertumbuhan ekonomi global.  

Tiongkok dan AS merupakan dua negara penguasa ekonomi dunia, sehingga eskalasi yang terjadi di antara kedua negara itu akan menimbulkan efek berantai terhadap negara-negara lainnya. Apalagi awal tahun 2019 lalu sudah ada lampu merah dari Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa risiko ketidakpastian global ini akan meningkat yang dampaknya sampai di Indonesia. Risiko ini tercermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini yang turun menjadi 3,5% dari 3,7%, sedangkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia diprediksi menjadi 5,1% dari 5,2%. Warning dari IMF ini bisa kita baca di Tribun Bisnis edisi Senin, 24 Juni 2019.

Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita ulas sedikit mengenai hubungan ketidakpastian ekonomi global dengan pertumbuhan perekonomian nasional.

Pertama, dengan adanya perang dagang AS dan Tiongkok membuat setiap negara membuat regulasi sistem perdagangannya yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi dunia dan menciptakan high cost economy.

Kedua, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang, menjadi terganggu karena sektor industri dalam negeri menjadi tertekan sebagai dampak dari membludaknya barang-barang supply dari Tiongkok yang tidak bisa masuk ke AS.

Ketiga, nilai tukar dari sebagian besar negara melemah dikarenakan banyaknya investor dari negara-negara maju yang memulangkan modalnya ke negara mereka sehingga pasar keungan di negara berkembang seperti Indonesia mengalami penurunan likuiditas.

Lalu, langkah apa yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk bisa bertahan diantara ketidakpastian ekonomi global ini?

Stabilitas Sistem Keuangan
Perisai yang bisa melindungi diri dari ketidakpastian ekonomi ini bernama "Stabilitas Sistem Keuangan". Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. 

Sementara, sistem keuangan sendiri adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusaahaan non keuangan dan rumah tangga, yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan perekonomian.

Dalam menjalankan roda perekonomian nasional, stabilitas sistem keuangan memiliki peran yang sangat penting, sebab dalam sebuah mata rantai perekonomian, sistem keuangan bertugas untuk menyalurkan dana dari pihak berlebih (surplus), kepada pihak yang megalami difisit. Ibarat sebuah sistem irigasi di sebuah sawah, jika alirannya tidak berjalan lancar dan tidak berfungsi secara stabil, maka akan berdampak pada tersendatnya pengairan dan dalam skala yang lebih luas dapat memicu kekeringan pada tanaman dan gagal panen. Dan ketika hal tersebut terjadi, justru membutuhkan effort dan cost yang lebih besar untuk bisa menyelamatkan kekeringan tersebut.

Begitu juga dengan dunia keuangan. Roda perekonomian nasional sangat bergantung pada stabilitas keuangan. Oleh karena itu dibentuklah Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Koordinasi dalam KSSK mencakup tiga tugas utama. 

Pertama, anggota KSSK berkoordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan.

Kedua, anggota KKSK berkoordinasi dalam menangani krisis sistem keuangan.

Ketiga, anggota KSSK berkoordinasi ketika terjadi permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi normal maupun dalam kondisi krisis.

Berdasarkan PBI 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, risiko sistemik didefinisikan sebagai potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).

Upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk memelihara stabilitas sistem keuangan, antara lain dengan menerbitkan kebijakan dan peraturan untuk lembaga jasa keuangan, melakukan monitoring dan analisa risiko sistemik, mengidentifikasi dan memberikan sinyal risiko, hingga melakukan pemeriksaan terhadap lembaga jasa keuangan bila diperlukan. Sedangkan salah satu kebijakan yang dikeluarkan ialah kebijakan yang megatur interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi yang dikenal dengan istilah "kebijakan makroprudensial".

Kebijakan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi, yang bertujuan untuk membatasi kemungkinan kegagalan financial yang berdampak signifikan terhadap sistem keuangan atau mencegah terjadinya risiko sistemik.

Kebijakan makroprudensial sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ketidakpastian ekonomi global, dikarenakan pendekatan yang digunakan dalam penerapan kebijakan ini bersifat top down sehingga mencakup seluruh elemen sistem keuangan dan dapat melengkapi kebijakan moneter yang cenderung tidak dapat menangkap sinyal pemupukan risiko yang bersumber dari perilaku ambil risiko sisem keuangan, kebijakan mikroprudensial yang melihat tingkat kesehatan individual lembaga yang juga belum mampu menangkap pemupukan risiko dari waktu ke waktu dan kebijakan fiskal.

Berdasarkan UU NO 21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank Indonesia memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, yakni mencakup pengaturan dan pengawasan makropudensial. Namun, untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan efektif, Bank Indonesia perlu berkoordinasi dengan otoritas yang terkait. Otoritas yang berwenang menjaga stabilitas keuangan selain ialah Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)  dan Kementerian Keuangan. Koordinasi antarotoritas dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut bisa digambarkan dalam tabel berikut:

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan:

Pertama, Bank Indonesia bertugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Melalui kebijakan yang disebut inflation targeting framework, diharapkan stabilitas moneter bisa tercipta, mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi.

Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja keuangan yang sehat, khususnya perbankan, melalui mekanisme pengawasan dan regulasi, mengingat sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan sehingga kegagalan di sektor ini bisa menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Oleh karena itu, disusunlah Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.

Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran  sistem pembayaran. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam pembayaran ialah dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time (Real Time Gross Settlement).

Keempat, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai dapat mengancam stabilitas keuangan, baik melalui pemantauan secara makroprudensial maupun melalui riset. Hasil pemantau dan riset tersebut selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.

Kelima, Bank Indonesia memiliki jaringan pengaman sistem keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan.

Lalu, bagaimanakah bentuk nyata atas kebijakan makroprudensial yang diimplementasikan selama ini?

Pertama, di bidang moneter, Bank Indonesia memfokuskan kebijakan suku bunga dan nilai tukar untuk memperkuat stabilitas eksternal perekonomian, khususnya untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas aman dan mempertahankan daya tarik keuangan domestik. Seperti yang dipaparkan Gubernur BI dalam publikasi online berita Kemenkeu, selama triwulan I 2019 ini, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6%. Bersamaan dengan itu, BI juga menempuh berbagai kebijakan yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan domestik.

Kedua, di sektor jasa keuangan, OJK senantiasa berupaya memperkuat kebijakan dan pengawasan terhadap sektor keuangan agar dapat meningkatkan perannya sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Ketiga, di sektor penjaminan nasabah perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkesinambungan terhadap trend perkembangan suku bunga simpanan perbankan yang menunjukkan trend meningkat.

Jika ketidakpastian ekonomi diibaratkan sebuah jamu yang amat pahit, maka stabilitas sistem keuangan melalui kebijakan makroprudensial bisa menjadi penawarnya. Dengan terus memperkuat sinergitas dan koordinasi antaranggota KKSK maka diharapkan Indonesia mampu menghadapi ketidakpastian ekonomi global yang mewarnai pertumbuhan ekonomi tahun 2019 ini.

Erni Marwati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun