Kebijakan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi, yang bertujuan untuk membatasi kemungkinan kegagalan financial yang berdampak signifikan terhadap sistem keuangan atau mencegah terjadinya risiko sistemik.
Kebijakan makroprudensial sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan ketidakpastian ekonomi global, dikarenakan pendekatan yang digunakan dalam penerapan kebijakan ini bersifat top down sehingga mencakup seluruh elemen sistem keuangan dan dapat melengkapi kebijakan moneter yang cenderung tidak dapat menangkap sinyal pemupukan risiko yang bersumber dari perilaku ambil risiko sisem keuangan, kebijakan mikroprudensial yang melihat tingkat kesehatan individual lembaga yang juga belum mampu menangkap pemupukan risiko dari waktu ke waktu dan kebijakan fiskal.
Berdasarkan UU NO 21 Tahun 2011 tentang OJK, Bank Indonesia memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, yakni mencakup pengaturan dan pengawasan makropudensial. Namun, untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan efektif, Bank Indonesia perlu berkoordinasi dengan otoritas yang terkait. Otoritas yang berwenang menjaga stabilitas keuangan selain ialah Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Â dan Kementerian Keuangan. Koordinasi antarotoritas dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut bisa digambarkan dalam tabel berikut:
Pertama, Bank Indonesia bertugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Melalui kebijakan yang disebut inflation targeting framework, diharapkan stabilitas moneter bisa tercipta, mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja keuangan yang sehat, khususnya perbankan, melalui mekanisme pengawasan dan regulasi, mengingat sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan sehingga kegagalan di sektor ini bisa menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Oleh karena itu, disusunlah Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran  sistem pembayaran. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam pembayaran ialah dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time (Real Time Gross Settlement).
Keempat, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai dapat mengancam stabilitas keuangan, baik melalui pemantauan secara makroprudensial maupun melalui riset. Hasil pemantau dan riset tersebut selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki jaringan pengaman sistem keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan.
Lalu, bagaimanakah bentuk nyata atas kebijakan makroprudensial yang diimplementasikan selama ini?
Pertama, di bidang moneter, Bank Indonesia memfokuskan kebijakan suku bunga dan nilai tukar untuk memperkuat stabilitas eksternal perekonomian, khususnya untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas aman dan mempertahankan daya tarik keuangan domestik. Seperti yang dipaparkan Gubernur BI dalam publikasi online berita Kemenkeu, selama triwulan I 2019 ini, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6%. Bersamaan dengan itu, BI juga menempuh berbagai kebijakan yang lebih akomodatif untuk mendorong permintaan domestik.