Mohon tunggu...
Ernawati Widyaningsih
Ernawati Widyaningsih Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Sehari-hari berpraktik psikolog di Charisma Consulting dan Unit Konsultasi Psikologi Fakultas Psikologi UGM. Tertarik dengan kesehatan mental, pengembangan diri, gaya hidup, manajemen stres, dan psikologi positif.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kala Pola Makan Mengubah Perasaanku

31 Agustus 2020   09:26 Diperbarui: 1 September 2020   01:18 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tell me what you eat, and I will tell you who you are."

- Jean Anthelme Brillat-Savarin

Lima tahun berpraktik sebagai psikolog klinis, saya menilai bahwa mayoritas klien dengan diagnosis gangguan suasana perasaan memiliki pola hidup yang buruk. Salah satu di antaranya adalah pola makan yang tidak sehat. 

Mereka terbiasa makan dengan jadwal yang tidak teratur, sering sekali melewatkan waktu makan, dan cenderung mengonsumsi makanan yang kurang bernutrisi. 

Makanan yang kerap mereka konsumsi adalah makanan yang membutuhkan proses panjang dalam pengolahannya, misalnya makanan instan, makanan cepat saji, atau makanan ringan.

Seperti kita ketahui, mengonsumsi makanan rendah nutrisi secara terus-menerus dapat berakibat buruk pada tubuh. Makanan dengan proses pengolahan yang panjang biasanya minim serat, tinggi lemak, dan mengandung bahan penyedap serta pengawet yang diolah melalui proses kimiawi tertentu. 

Kurangnya konsumsi serat (sayur dan buah) dalam jangka panjang juga terbukti meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis seperti jantung koroner, obesitas, diabetes tipe II, dan kanker (Leis, 1991; WHO, 2014).

Lalu, bagaimana kaitan makanan dengan mental kita?

Keterkaitan Usus dan Otak (Gut-Brain Axis)

Pernahkan Anda merasakan sakit perut di saat Anda merasa cemas? Hal ini biasa terjadi karena kerja sistem pencernaan kita terhambat saat kita merasa cemas. 

Otak, melalui sistem saraf pusat, mengirimkan sinyal pada usus kita untuk berhenti mencerna dan mengalihkan energi untuk memproduksi hormon kortisol (hormon stres) guna memberikan respons terhadap ancaman. Meski membantu tubuh untuk mengelola stres, hormon ini dapat berbahaya bagi tubuh jika terus-menerus berada dalam kadar yang tinggi.

Tahukah Anda bahwa sinyal juga dapat disampaikan dari usus menuju otak?

Usus manusia dilapisi dengan 100 juta sel saraf, lebih banyak dari susunan saraf pada tulang belakang atau sistem saraf tepi. Oleh karena itu, usus sering disebut sebagai otak kedua. 

Peneliti menemukan bukti bahwa iritasi pada sistem gastrointestinal (pencernaan) mampu mengirimkan sinyal pada sistem saraf pusat yang dapat memicu perubahan suasana hati. 

Oleh karena itu, sakit perut atau gangguan pada usus seseorang dapat menjadi penyebab atau akibat dari kecemasan, stres, atau depresi. Hal ini mungkin terjadi karena otak dan sistem gastrointestinal berhubungan erat (Harvard Publishing, n.d.).

Keragaman Mikrobioma dalam Usus

Usus manusia dipenuhi berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, dll. Secara berkoloni, mereka sering disebut sebagai mikrobioma. Mikrobioma dalam tubuh dapat membantu kita untuk mencerna makanan yang dikonsumsi tubuh, memproduksi nutrisi yang penting bagi tubuh, mengatur sistem imun, dan melindungi dari kuman-kuman yang berbahaya. 

Kita perlu menjaganya tetap seimbang agar tercipta mikrobioma usus yang baik hingga dapat membantu berbagai fungsi pada tubuh kita. 

Serat merupakan bahan bakar utama bagi mikrobioma baik di dalam usus manusia. Semakin banyak serat yang dikonsumsi, maka akan semakin banyak mikrobioma baik yang berkumpul dalam usus. 

Sebaliknya, semakin sedikit serat yang dikonsumsi, mikrobioma baik akan mati sehingga varietasnya berkurang. Berkurangnya varietas mikrobioma dalam tubuh dapat menyebabkan dysbiosis yaitu ketidakseimbangan jumlah mikroorganisme dalam saluran pencernaan manusia. Kondisi dysbiosis ini tidak hanya berakibat buruk pada tubuh, namun juga pada pikiran dan perasaan kita.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian yang memiliki pola makan tidak sehat (tinggi lemak dan gula) menunjukkan gejala kecemasan, depresi, dan stres yang tinggi jika dibandingkan dengan subjek penelitian yang memiliki pola makan sehat (kaya serat dan probiotik) (Ansari, Adetunji, & Oskrochi, 2014; Wattick, Hagedorn, & Olfert, 2018).

Produksi Hormon dan Senyawa Kimia Otak Terkait Suasana Perasaan

Penelitian yang dilakukan Yano, dkk (2016) menunjukkan bahwa saluran pencernaan manusia mengandung banyak sekali serotonin tubuh. Meski belum dapat diketahui dengan jelas bagaimana metabolismenya, sekumpulan mikrobioma baik diyakini memiliki peranan penting pada tingginya kandungan serotonin dalam usus. 

Serotonin merupakan hormon yang sering dikaitkan dengan perasaan bahagia dan kerap disebut sebagai mood-stabilizer. Senyawa kimia ini membantu kita untuk tidur, makan, dan mencerna. Serotonin juga membantu mengurangi depresi, mengatasi kecemasan, menyembuhkan luka, merangsang rasa mual, dan menjaga kesehatan tulang (Scacia, 2004). 

Pada usus juga terdapat reseptor Gamma Aminobutyric acid (GABA). Mikrobioma usus terkoneksi dengan otak menggunakan GABA untuk memengaruhi suasana perasaan. GABA merupakan senyawa yang ampuh untuk mengontrol tidur, stres, atau suasana perasaan. Reseptor GABA berfungsi untuk merilekskan dan mampu digunakan sebagai anti-kecemasan (Asprey,  2020). 

Dopamin, juga diproduksi pada jenis mikroba lain dalam usus. Dopamin berperan pada fungsi kognitif seperti pengambilan keputusan, perhatian, ingatan, motivasi, dan penghargaan (Gonzlez-Arancibia, Urrutia-Piones, Illanes-Gonzlez, Martinez-Pinto, Sotomayor-Zrate, Julio-Pieper,  & Bravo, 2019).

Apabila mikrobioma baik di dalam usus berkurang, maka kandungan serotonin, GABA, dan dopamin yang diproduksi juga akan berkurang. Hal ini tentu akan sangat memengaruhi suasana perasaan kita.

Tips Meningkatkan Kesehatan Usus dan Suasana Hati yang Lebih Baik

Para peneliti menemukan bahwa Diet Mediterania merupakan pola makan yang dapat meningkatkan kesehatan mikrobiota usus kita (Ghosh, Rampelli, Jeffery, Santoro, Neto, Capri, O'Toole, 2020).

Karakteristik Diet Mediterania meliputi:

  • Konsumsi harian:
    • Berbagai macam sayuran dan buah-buahan (semakin gelap warnanya maka semakin banyak anti-oksidan di dalamnya); Kacang-kacangan, polong-polongan, dan biji-bijian sebagai bahan utama sumber protein nabati dalam diet
    • Gandum utuh, yang mencakup semua bagian dari biji-bijian; dedak, biji, dan benih. Masing-masing bagian ini memiliki nutrisi sehat, yang akan hilang atau berkurang saat diproses menjadi produk seperti tepung terigu
    • Minyak zaitun sebagai sumber lemak utama, yang menggantikan lemak yang kurang menyehatkan seperti mentega
  • Konsumsi minimal 2x dalam seminggu:
    • Ikan, Seafood 
  • Konsumsi mingguan dengan porsi sedang:
    • Unggas
    • Susu (lebih sering dalam bentuk yoghurt), keju, dan telur
    • Anggur merah (biasanya dikonsumsi bersama makanan)
  • Konsumsi bulanan (dimakan lebih jarang daripada makanan lain):
    • Daging merah
    • Lemak jenuh
    • Permen
  • Lakukan aktivitas fisik - setidaknya 30 menit /hari;
  • Minum banyak air untuk tetap terhidrasi;
  • Konsumsi herba dan rempah; gunakan untuk penambah rasa dan warna sebagai ganti penggunaan garam.

Mari mengubah pola makan kita demi kesehatan usus dan mental kita. Salam sehat 

Daftar Referensi:

  • Ansari, W. E., Adetunji, H., & Oskrochi, R. (2014). Food and Mental Health: Relationship between Food and Perceived Stress and Depressive Symptoms among University Students in the United Kingdom. Central European Journal of Public Health, 22(2), 90-97. doi:10.21101/cejph.a3941
  • Asprey, T. (2020). GABA: The Neurotransmitter That Dissolves Anxiety and Improves Sleep. Retrieved August 30, 2020, from here
  • Diet, nutrition and the prevention of chronic diseases Report of the joint WHO/FAO expert consultation. (2014). Retrieved August 30, 2020, from here
  • Ghosh, T., Rampelli, S., Jeffery, I., Santoro, A., Neto, M., Capri, M., O'Toole, P. (2020). Mediterranean diet intervention alters the gut microbiome in older people reducing frailty and improving health status: The NU-AGE 1-year dietary intervention across five European countries. Retrieved August 28, 2020, from here
  • Gonzlez-Arancibia, C., Urrutia-Piones, J., Illanes-Gonzlez, J., Martinez-Pinto, J., Sotomayor-Zrate, R., Julio-Pieper, M., & Bravo, J. A. (2019). Do your gut microbes affect your brain dopamine? Psychopharmacology, 236(5), 1611-1622. doi:10.1007/s00213-019-05265-5
  • Leis H. P., Jr (1991). The relationship of diet to cancer, cardiovascular disease and longevity. International surgery, 76(1), 1--5.
  • Publishing, H. (n.d.). The gut-brain connection. Retrieved August 30, 2020, from here
  • Scaccia, A. (2004). Serotonin: Functions, Normal Range, Side Effects, and More. Retrieved August 30, 2020, from here
  • The mediterranean Diet [Web log post]. (n.d.). Retrieved from here
  • Wattick, R., Hagedorn, R., & Olfert, M. (2018). Relationship between Diet and Mental Health in a Young Adult Appalachian College Population. Nutrients, 10(8), 957. doi:10.3390/nu10080957
  • Yano, J., Yu, K., Donaldson, G., Shastri, G., Ann, P., Ma, L., Hsiao, E. (2015). Indigenous Bacteria from the Gut Microbiota Regulate Host Serotonin Biosynthesis. Cell, 163(1), 258. doi:10.1016/j.cell.2015.09.017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun