Otak, melalui sistem saraf pusat, mengirimkan sinyal pada usus kita untuk berhenti mencerna dan mengalihkan energi untuk memproduksi hormon kortisol (hormon stres) guna memberikan respons terhadap ancaman. Meski membantu tubuh untuk mengelola stres, hormon ini dapat berbahaya bagi tubuh jika terus-menerus berada dalam kadar yang tinggi.
Tahukah Anda bahwa sinyal juga dapat disampaikan dari usus menuju otak?
Usus manusia dilapisi dengan 100 juta sel saraf, lebih banyak dari susunan saraf pada tulang belakang atau sistem saraf tepi. Oleh karena itu, usus sering disebut sebagai otak kedua.Â
Peneliti menemukan bukti bahwa iritasi pada sistem gastrointestinal (pencernaan) mampu mengirimkan sinyal pada sistem saraf pusat yang dapat memicu perubahan suasana hati.Â
Oleh karena itu, sakit perut atau gangguan pada usus seseorang dapat menjadi penyebab atau akibat dari kecemasan, stres, atau depresi. Hal ini mungkin terjadi karena otak dan sistem gastrointestinal berhubungan erat (Harvard Publishing, n.d.).
Keragaman Mikrobioma dalam Usus
Usus manusia dipenuhi berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, dll. Secara berkoloni, mereka sering disebut sebagai mikrobioma. Mikrobioma dalam tubuh dapat membantu kita untuk mencerna makanan yang dikonsumsi tubuh, memproduksi nutrisi yang penting bagi tubuh, mengatur sistem imun, dan melindungi dari kuman-kuman yang berbahaya.Â
Kita perlu menjaganya tetap seimbang agar tercipta mikrobioma usus yang baik hingga dapat membantu berbagai fungsi pada tubuh kita.Â
Serat merupakan bahan bakar utama bagi mikrobioma baik di dalam usus manusia. Semakin banyak serat yang dikonsumsi, maka akan semakin banyak mikrobioma baik yang berkumpul dalam usus.Â
Sebaliknya, semakin sedikit serat yang dikonsumsi, mikrobioma baik akan mati sehingga varietasnya berkurang. Berkurangnya varietas mikrobioma dalam tubuh dapat menyebabkan dysbiosis yaitu ketidakseimbangan jumlah mikroorganisme dalam saluran pencernaan manusia. Kondisi dysbiosis ini tidak hanya berakibat buruk pada tubuh, namun juga pada pikiran dan perasaan kita.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian yang memiliki pola makan tidak sehat (tinggi lemak dan gula) menunjukkan gejala kecemasan, depresi, dan stres yang tinggi jika dibandingkan dengan subjek penelitian yang memiliki pola makan sehat (kaya serat dan probiotik) (Ansari, Adetunji, & Oskrochi, 2014; Wattick, Hagedorn, & Olfert, 2018).