Namun, meskipun ketiganya sepakat bahwa kita mesti melakukan pendekatan yang tepat kepada pasien terkait penyakitnya, jangan pernah membohongi mereka. Secara sederhana, menurut Alex, menghadapi kanker atau tumor itu seperti menghadapi perang. Kita harus tahu medannya seperti apa. Apakah diagnosanya berupa kanker yang penyebarannya lebih cepat atau tumor yang lebih lambat. "Buat saya pribadi, kalau bisa sih langsung bicara apa adanya. Itu lebih enak karena kita nggak ngasih kepalsuan apa-apa. Kita beritahu baik dan buruknya, risiko dan kemungkinannya. Tapi jangan toksik dan posesif juga, apa-apa dilarang. Atau sebaliknya, kelewat optimis. Selalu ada peluang bisa sembuh dan ada risiko tidak sembuh.
"Betul, jangan pernah berbohong kepada pasien dan memanipulasi mereka," timpal Shahnaz. Shahnaz mendukung apa yang disampaikan Alex tentang medan perang, "Menurut saya lebih enak kalau pasien tahu 'medan perangnya' dia seperti apa. Sehingga dia tahu harus menghadapi musuh yang bagaimana dan alat perangnya seperti apa. Ibarartnya, jangan sampai musuh kita itu tikus yang jumlahnya cuma satu, tapi membunuhnya pake bom molotov. Terlalu mewah kalau itu. Cukup pakai perangkap tikus atau atau lem saja," urai Shahnaz.
Pengalaman Shahnaz menjadi Caregiver sekalius Pejuang Kanker
“Saya adalah penyintas kanker ovarium, tapi saya juga pernah menjadi caregiver atau pendamping untuk Ibu dan Nenek saya yang meninggal karena kanker juga. Ayah mertua saya juga meninggal karena kanker prostat. Sekian lama saya mendampingi anggota keluarga yang sakit, akhirnya saya jadi tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan oleh seorang caregiver.
“Ibu saya orangnya sendu. Ketika mendampingi beliau selama lima bulan, saya selalu berusaha bikin dia tertawa dengan cerita-cerita lucu saya. Sampai akhirnya ibu selalu bilang ‘I am oke karena ketawa-ketawa terus sama kamu.’ Nah, ilmu itulah saya pakai. Ternyata senyuman dan tawa membuat kita bertoleransi terhadap rasa nyeri. Saya membuktikan itu ketika merasa sakit, misalnya sehabis operasi.
“Saya juga mendampingi ayah mertua yang kanker prostat. Ketika sakit, badannya kecil karena selalu dilarang makan ini dan itu. Ketika keluarganya tidak ada di situ, saya suka menawarkan makanan. “Papa mau makan apa?” tanya saya. “Mau makan ini? Hayulah.” Lalu saya cerita yang lucu-lucu sampai beliau tertawa-tawa. Jadi walau akhirnya beliau meninggal, tapi hatinya bahagia.
Menghadapi caregiver yang suka percaya Mitos
Well, obrolan yang cukup panjang tapi sarat dengan pengetahuan. O ya, tapi jangan lupa juga bahwa di sekitar kita masih banyak anggota keluarga atau pendamping yang suka percaya mitos. Dr. Dedy melihat, caregiver kerap memberi pantangan makanan hanya karena membaca berita-berita di internet yang belum tentu terbukti kebenarannya. Akhirnya mereka suka ngasih pantangan-pantangan makanan. Sementara si pasien sendiri mesti kemoterapi, radiasi, dll., yang membutuhkan nutrisi lebih dari biasanya.
“Keluarga ‘kan sering memberikan banyak masukan, makan ini, makan itu. Sebetulnya yang betul itu yang seperti apa?” ujar dr. Dedy. Ia melanjutkan, “Kalau dari saya sih, semua usulan itu perlu diuji terlebih dahulu. Kalau ada yang mengatakan bahwa makan herbal/obat ini bisa sembuh, itu masih sebatas testimoni. Dalam ranah kedokteran, Testimoni level keterujiannya paling bawah. Lalu ada yang namanya Pendapat Ahli, ini pun masih satu tingkat di atas testimoni. Sedangkan level paling tinggi adalah Penelitian Uji Klinis. Penelitan uji klinis harus diteliti lagi ke banyak orang dan hasilnya bagus, juga aman. Setelah itu dipublikasikan di jurnal medis, lalu diteliti lagi dengan hasil yang sama. Hasilnya kemudian direkomendasikan sebagai Guideline.
“Kalau kita menemukan dokumen “Guideline makan bagi pasien kanker”, itu sudah diteliti kepada banyak orang. Misalnya diperoleh hasil uji bahwa pasien kanker itu butuh makanan berenergi tinggi. Itu bukan lagi testimoni, melainkan hasil penelitian ilmiah dimana pasien kanker memang harus mengonsumsi protein tinggi. Jadi kalau ada orang yang bilang, ‘ini bagus untuk pasien kanker’, mintalah bukti penelitiannya. Bukan berdasarkan testimoni saja,” jelas dr. Dedyanto.
“Oleh karena itu, ada baiknya pasien kanker dipandu oleh dokter gizi. Meskipun kondisinya sama dengan pasien atau pejuang kanker lainnya, tapi kebutuhannya bisa berbeda. Dokter nutrisinya juga bisa berbeda-beda. Dokter yang akan memberikan arahan (gizi) yang disesuaikan dengan penerimaan masing-masing pasien. Makanya ada dokter gizi, ahli gizi, yang akan menentukan makanan apa yang sesuai dengan kebutuhannya. Tidak hanya dari jumlahnya, juga dari jenisnya.”