Caregiver sebaiknya jangan bersikap melow di depan pasien atau penyintas kanker, karena itu akan memperparah depresi mereka. Berdasarkan pengalaman, sebagian besar pasien kanker mengalami depresi karena penyakitnya. Apabila orang-orang di sekitarnya terlihat sedih, itu akan menambah kesedihan mnereka. Oleh karena itu, performance seorang caregiver haruslah optomis, percaya diri, dan sebisa mungkin melatih emosi positifnya sampai tahap atau level damai.
Lalu bagaimana seorang caregiver atau pendamping bisa memiliki keterampilan seperti itu? Tidak merasa campur aduk seperti yang pernah saya alami?Saya meringkas diskusi hangat yang ditayangkan akun IG Televisi milik Shahnaz Haque pada tanggal 29 Mei lalu. Bersama dia ada dr. Dedyanto Henky S., M. Gizi (dr. Dedy) dan Alexander Stefan (Alex). Kalau Shahnaz Haque sebagian besar mungkin kita sudah tahu ya kiprahnya. Ia seorang presenter kondang sekaligus pemerhati dunia pendidikan anak. Dokter Dedy adalah Medical Senior Manager di salah satu perusahaan farmasi, dan Alex seorang apoteker yang kini tengah menekuni dunia makanan atau sebagai food blogger. Namun ketiganya pernah menjadi caregiver bagi orang-orang terkasih mereka. Shahnaz sendiri adalah pejuang kanker (ovarium) yang telah memotivasi banyak orang untuk tetap optimis dan bersemangat.
Ini merupakan tulisan kedua saya mengenai caregiver. Secara umum, caregiver atau pendamping adalah bagian dari support system yang menyangga kelangsungan proses penyembuhan seorang pasien. Yuk, mari kita ikuti perbincangan mereka:
Caregiver yang Optimis dan Asyik
"Coba perhatikan deh, ada berbagai macam tipe caregiver. Yang pertama, caregiver yang optimis. Mereka ini membuat orang yang sedang sakit menjadi bersemangat karena bersikap menyenangkan. Si pasien akhirnya cepat sembuh karena orang-orang di sekitarnya memberikan energi yang positif," kata Shahnaz memulai perbincangan.
"Yang kedua, tipe caregiver (CG) yang melankolis. Banyak pejuang kanker yang curhat ke saya, mereka merasa tertekan karena didampingi oleh CG yang lebih melankolis daripada dirinya. Misalnya saat didampingi untuk kemo atau terapi, si CG-nya suka ikutan nangis atau memberikan komentar-komentar yang toksik."
"Yang ketiga, tipe CG yang sebaliknya, terlalu positif atau optimis. Sering kita sebut toxic positivity. Gaya ini menurut saya terlalu berlebihan, sebab energi dia menjadi negatif bagi para pejuang kanker. Dan tyang keempat adalah caregiver yang posesif. Mereka suka melarang makan ini dan melarang makan itu kepada pasien. Akhirnya badan si pasien semakin kurus dan tampak kurang gizi. "
Dari keempat tipe tersebut, menurut Shahnaz, yang paling ideal adalah caregiver yang optimis dan bersemangat. "Namun kerap kita jumpai caregiver atau pendamping yang melow, pesimis, dan toksik. Lalu, bagaimana agar seorang pendamping bisa tetap kuat, tidak terlihat sedih (melankolis) di depan orang sakit? Harus diakui, menyaksikan orang yang kita cintai merasa sakit tentu membuat hati sedih. Apalagi setelah membaca banyak informasi tentang kanker di internet," lanjut ibu tiga anak perempian ini.
Ia kemudian mempersilakan dr. Dedyanto untuk memberikan opininya. Menurut dr. Dedy, seorang caregiver ketika mendampingi pasien atau pejuang kanker, harus dalam kondisi mental yang sehat. Mengapa, karena dia harus memberikan motivasi kepada yang sedang sakit supaya cepat pulih. Kalau tidak, si pasien akan kesulitan memperjuangkan kesembuhannya.
"Salah satu kendala yang dialami oleh para pejuang kanker itu 'kan depresi ya? Nah, kondisi depresi si pasien akan semakin berat kalau ia dikelilingi oleh orang-orang yang sedih, murung, dan melankolis.
"Saya pernah jadi caregiver untuk mertua dan juga ayah saya. Beliau pasien gagal ginjal. Saya itu kalau di depan mereka cenderung galak. Soalnya mereka biasanya suka nggak mau makan. Sebagai caregiver kita mesti tega. Tapi tega yang positif. Saya menyuruh para pasien ini makan banyak. Kebetulan saya orang yang tidak mudah terbawa suasana. Sehari-hari saya orang yang humoris jugA. Saya sering bercerita hal-hal lucu, atau menawarkan makanan yang mereka suka. Kalau kitanya ikut melow, wah sudah deh," jelas ahli gizi ini.
Shahnaz bisa memahami kalau ada caregiver karakternya melankolis. Namun ia menyarankan, ketika sedang berada di depan pasien dan ingin menangis, sebaiknya ditahan dulu. "Kalau mau nangis, nangisnya sama Tuhan aja. Soalnya, biasanya orang yang sedang berada di tahap terminal dan sudah mau pergi, sulit sekali mau berpamitan ketika di sekelilingnya merasa sedih. Orang yang kita cintai itu ketika mau pamit, susahnya bukan main. Jadi ciptakanlah suasana yang menyenangkan buat mereka," jelas bungsu dari tiga bersaudara ini.
Shahnaz tidak memungkiri bahwa menahan emosi negatif adalah sebuah tantangan. Ia mengutip penelitan yang menyebutkan bahwa manusia memiliki enam level emosi negatif dan hanya tiga level emosi positif. Artinya, menjadi caregiver yang positif dan optimis itu perlu usaha, kata dia. "Karena pada dasarnya manusia lebih mudah mengeluh, merasa sedih, marah, dan takut dibandingkan merasa bersemangat, menerima keadaan dan merasa damai. Level emosi positif yang paling tinggi adalah perasaan damai. Jadi, berlatihlah untuk merasa damai apapun yang terjadi di depan. I am oke to be not oke. Saya akan merasa baik-baik saja meskipun orang yang saya kasihi akan pergi," ujar Shahnaz lagi.
Dr. Dedy sepakat dengan apa yang disampaikan Shahnaz. Bersikap positif itu sangat perlu. Ia menambahkan, ada beberapa situasi yang membat orang mudah tertular. Salah satunya tersenyum. Jadi, tersenyumlah selalu.
Tapi bagaimana dengan protokol kesehatan yang mengharuskan orang memakai masker, apalagi di rumah sakit. "Kita bisa memakai masker dengan gambar senyum atau tawa, niscaya orang di sekitar kita akan terbawa suasana bahagia. Meski kita tidak sedang tersenyum, tapi "senyum" yang ada di masker kita akan menularkan mood baik kepada si pejuang kanker," kata dia.
Kapan sebaiknya keluarga berbicara kepada pasien tentang diagnosa dokter?
Rasanya hampir semua keluarga pernah mengalami dilema ini; takut memberitahu pasien perihal diagnosa dokter. Apakah perlu disampaikan apa adanya atau sebagian saja? Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan hal tersebut kepada pasien?
Baik Shahnaz, Alex, maupun dr. Dedy menganggap penting untuk mengenali dengan baik karakter pasien. Apabila orang tersebut melankolis dan sensitif, sebaiknya cari waktu yang tepat untuk berbicara dan dengan pendekatan yang baik. Dr. Dedy punya pengalaman ketika memberitahu ibu mertuanya yang mengidap kanker. "Beliau sangat drop waktu itu. Hanya dalam hitungan hari, selera makannya berubah. Dari yang makan banyak, tiba-tiba jadi nggak suka makan."
Namun yang dialami oleh keluarga Alex sedikit berbeda. Ibunya adalah perempuan dengan tipe apa adanya. Alexpun merasa ia orang yang cukup realistis. Ketika pertama kali sang Mama didiagnosa kanker tumor batang otak, ia dan keluarganya memang sempat kaget. Ia pun bertanya kepada dokter, "Dok, ibu saya harus dibuka kepalanya atau bagaimana?" Dokter mengiyakan.
"Tapi kalau sekarang sih, proses tindakan (operasi) sudah lebih canggih. Bisa lewat hidung, lalu ditembuskan ke bagian tengah kepala," ujar Alex. Kepada Mama kami bilang apa adanya, tidak melebih-lebihkan. Kami sampaikan begini, 'Ma, ini memang sakit. Dan menyeramkan. Tapi kita harus hadapi.' Saya juga mengajak dia berpikir realistis bahwa kalau kita diem aja malah membuat Mama lama-lama akan meninggal. 'Mama pasti dikasih bangun sama Tuhan. Mama masih dikasih bernafas. Berarti Mama diberi kesempatan untuk berjuang.' Saya nggak bilang bahwa Mama pasti sembuh tapi kita akan coba. Mama akhirnya menurut meskipun sempat ada penolakan dari keluarga besar."
"Pendekatan yang sama kami lakukan ketika Mama harus operasi kedua lima tahun kemudian. Kami nggak mau mengulang kesalahan yang sama, dimana waktu itu Mama nggak rutin kontrol ke dokter pasca operasi. Kami harus tegas. Kepada mama kami sampaikan bahwa beliau harus operasi lagi karena tumornya membesar. Pertimbangan kami, daripada kita nggak bertindak apa-apa, kondisi Mama makin lama akan makin lemah. Kami juga bilang ke Mama, 'Mama jangan merasa terbebani. Kita berdoa saja kepada Tuhan supaya dikasih yang terbaik'. Kami pun nggak bisa nyemangatin Mama berlebihan. Misalnya bilang 'pasti mama sembuh'. Kami hanya bisa berserah, berdoa, dan berusaha.
Jangan pernah Bohong ke Pasien
Namun, meskipun ketiganya sepakat bahwa kita mesti melakukan pendekatan yang tepat kepada pasien terkait penyakitnya, jangan pernah membohongi mereka. Secara sederhana, menurut Alex, menghadapi kanker atau tumor itu seperti menghadapi perang. Kita harus tahu medannya seperti apa. Apakah diagnosanya berupa kanker yang penyebarannya lebih cepat atau tumor yang lebih lambat. "Buat saya pribadi, kalau bisa sih langsung bicara apa adanya. Itu lebih enak karena kita nggak ngasih kepalsuan apa-apa. Kita beritahu baik dan buruknya, risiko dan kemungkinannya. Tapi jangan toksik dan posesif juga, apa-apa dilarang. Atau sebaliknya, kelewat optimis. Selalu ada peluang bisa sembuh dan ada risiko tidak sembuh.
"Betul, jangan pernah berbohong kepada pasien dan memanipulasi mereka," timpal Shahnaz. Shahnaz mendukung apa yang disampaikan Alex tentang medan perang, "Menurut saya lebih enak kalau pasien tahu 'medan perangnya' dia seperti apa. Sehingga dia tahu harus menghadapi musuh yang bagaimana dan alat perangnya seperti apa. Ibarartnya, jangan sampai musuh kita itu tikus yang jumlahnya cuma satu, tapi membunuhnya pake bom molotov. Terlalu mewah kalau itu. Cukup pakai perangkap tikus atau atau lem saja," urai Shahnaz.
Pengalaman Shahnaz menjadi Caregiver sekalius Pejuang Kanker
“Saya adalah penyintas kanker ovarium, tapi saya juga pernah menjadi caregiver atau pendamping untuk Ibu dan Nenek saya yang meninggal karena kanker juga. Ayah mertua saya juga meninggal karena kanker prostat. Sekian lama saya mendampingi anggota keluarga yang sakit, akhirnya saya jadi tahu mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan oleh seorang caregiver.
“Ibu saya orangnya sendu. Ketika mendampingi beliau selama lima bulan, saya selalu berusaha bikin dia tertawa dengan cerita-cerita lucu saya. Sampai akhirnya ibu selalu bilang ‘I am oke karena ketawa-ketawa terus sama kamu.’ Nah, ilmu itulah saya pakai. Ternyata senyuman dan tawa membuat kita bertoleransi terhadap rasa nyeri. Saya membuktikan itu ketika merasa sakit, misalnya sehabis operasi.
“Saya juga mendampingi ayah mertua yang kanker prostat. Ketika sakit, badannya kecil karena selalu dilarang makan ini dan itu. Ketika keluarganya tidak ada di situ, saya suka menawarkan makanan. “Papa mau makan apa?” tanya saya. “Mau makan ini? Hayulah.” Lalu saya cerita yang lucu-lucu sampai beliau tertawa-tawa. Jadi walau akhirnya beliau meninggal, tapi hatinya bahagia.
Menghadapi caregiver yang suka percaya Mitos
Well, obrolan yang cukup panjang tapi sarat dengan pengetahuan. O ya, tapi jangan lupa juga bahwa di sekitar kita masih banyak anggota keluarga atau pendamping yang suka percaya mitos. Dr. Dedy melihat, caregiver kerap memberi pantangan makanan hanya karena membaca berita-berita di internet yang belum tentu terbukti kebenarannya. Akhirnya mereka suka ngasih pantangan-pantangan makanan. Sementara si pasien sendiri mesti kemoterapi, radiasi, dll., yang membutuhkan nutrisi lebih dari biasanya.
“Keluarga ‘kan sering memberikan banyak masukan, makan ini, makan itu. Sebetulnya yang betul itu yang seperti apa?” ujar dr. Dedy. Ia melanjutkan, “Kalau dari saya sih, semua usulan itu perlu diuji terlebih dahulu. Kalau ada yang mengatakan bahwa makan herbal/obat ini bisa sembuh, itu masih sebatas testimoni. Dalam ranah kedokteran, Testimoni level keterujiannya paling bawah. Lalu ada yang namanya Pendapat Ahli, ini pun masih satu tingkat di atas testimoni. Sedangkan level paling tinggi adalah Penelitian Uji Klinis. Penelitan uji klinis harus diteliti lagi ke banyak orang dan hasilnya bagus, juga aman. Setelah itu dipublikasikan di jurnal medis, lalu diteliti lagi dengan hasil yang sama. Hasilnya kemudian direkomendasikan sebagai Guideline.
“Kalau kita menemukan dokumen “Guideline makan bagi pasien kanker”, itu sudah diteliti kepada banyak orang. Misalnya diperoleh hasil uji bahwa pasien kanker itu butuh makanan berenergi tinggi. Itu bukan lagi testimoni, melainkan hasil penelitian ilmiah dimana pasien kanker memang harus mengonsumsi protein tinggi. Jadi kalau ada orang yang bilang, ‘ini bagus untuk pasien kanker’, mintalah bukti penelitiannya. Bukan berdasarkan testimoni saja,” jelas dr. Dedyanto.
“Oleh karena itu, ada baiknya pasien kanker dipandu oleh dokter gizi. Meskipun kondisinya sama dengan pasien atau pejuang kanker lainnya, tapi kebutuhannya bisa berbeda. Dokter nutrisinya juga bisa berbeda-beda. Dokter yang akan memberikan arahan (gizi) yang disesuaikan dengan penerimaan masing-masing pasien. Makanya ada dokter gizi, ahli gizi, yang akan menentukan makanan apa yang sesuai dengan kebutuhannya. Tidak hanya dari jumlahnya, juga dari jenisnya.”
Tak dapat dipungkiri kalau pasien kanker umumnya tidak suka makan. Sebagai food blogger Alex menyarankan makanan yang bervariasi bagi pejuang kanker. Susu misalnya, kalau diminum begitu saja ‘kan bisa bosan. Sesekali saya mengolah susu menjadi puding. Yang penting, proteinnya tidak rusak. Begitu pula dengan dr. Dedy, ia mendorong para caregiver untuk kreatif dan cakap dalam mengulik informasi tentang makanan. Lebih bagus lagi kalau mereka bisa masak. Kalau belum bisa, bisa belajar dari platform video berbagi seperti youtube, dl. Shahnaz menambahkan, apabila si pasien mulai kurang termotivasi, jangan ragu-ragu membawa dia ke komunitas. Sekalian makan bareng-bareng. Dengan begitu mungkin dia bisa lebih bersemangat.
O ya, faktor penting yang tidak boleh dilupakan adalah olahraga.Olahraga apa yang cocok untuk pasien kanker? Menurut dr. Dedy, olahraga yang mereka suka dan yang mereka bisa. Karena kalau pasien suka dan bisa, aktivitasnya akan berkesinambungan. Kalau memungkinkan, pilih olahraga yang melibatkan pergerakan semua otot tubuh. Dengan demikian, baik pasien maupun pendampinganya bisa tetap bersemangat dan selalu bahagia.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa hasil rangkuman perbincangan ini tidak bisa membahas semua topik perihal caregiver. Semoga dalam tulisan berikutnya, akan ada pembahasan mengenai caregiver profesional (berbayar) dan dukungan emosional dan pengetahuan sebagai bagian dari support system bagi para caregiver. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H