Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Penghasut Digital

31 Januari 2025   14:51 Diperbarui: 31 Januari 2025   21:31 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Semalam, mendadak ada yang gedor-gedor di grup WhatsApp. Seorang teman nge-posting yang entah dari mana awalnya, sehingga kalimat-kalimat yang muncul di akun Facebook bernama X.

“Sedang ramai di A dan B.” “Pihak anu satu sedang mengambil langkah hukum.” Begitu kata teman dengan nada meyakinkan.

Kontan, saya pun berkomentar atau ketik setelah selintas membaca di akun X, di grup WA. “Insya Allah. Semoga aman damai sejahtera di A, B. Aamiin.” Balasku demikian.

“Coba dek! Bangun dialog antarumat beragama dan tuntaskan pendekatan kesejahteraan!” Sambungku lagi.

Teman saya tiba-tiba sambar dengan kalimat: “Sementara diskusi dengan teman-teman anu satu, kak. Sekaligus mendorong teman anu dua di A dan B untuk segera mengambil sikap tegas terkait ini.”

“Berharap MUI Wilayah juga mengambil tindakan yang sama. Untuk sementara kita menempuh jalur hukum, dikhawatirkan umat bereaksi dan ini tentu memicu kericuhan. Semoga aparat segera menindaklanjuti.” Ehmm. Saya menyimak chat teman.

"Terima kasih, kak. Tapi pendekatan kesejahteraan itu, maksudnya bagaimana, kak," tanya teman.

Ini kira-kira pendekatan kesejahteraan: pemenuhan hak dasar masyarakat, diantaranya melalui program penanggulangan kemiskinan terpadu. Paham sampai di sini? Begitu saya membatin sejenak.

Pelan-pelan tapi pasti. Ini jadi bahan diskusi, yang bisa jadi riuh di grup WA. Pertama, menurut data BPS, tingkat kemiskinan atau kemiskinan ekstrem di provinsi Z termasuk tertinggi secara nasional. Kedua, gara-gara "kampoeng tengah" tak terurus, istilahnya rumput kering gampang disulut oleh api kecil. Ketiga, konflik SARA rawan karena implikasi sosial ekonomi seperti yang saya maksud di atas.

Selanjutnya, teman makin sulit menahan curhatannya. Apa katanya? "Kalau di Al-Quran dikatakan mereka moenafieqk, yang kebencian dihatinya jauh lebih besar dari yang mereka nyatakan, maka itu benar. Maha Benar Allah dengan firman-Nya," ketik teman menggebu-gebu.

"Mereka berdoa dengan menyanyi. Ulang tahun wajib dirayakan, dan lain-lain. Seterusnya dan seterusnya," tutur teman secepatnya.

"Usahakan hindari hitam putih ginian dek. Nyetir ayat Al-Quran. Aduh." Spontan jawabku begitu pada teman.

Saya yakin, konflik itu bukan teologis, tapi politis. Aalleee keluar istilah-istilah, hehe. Inilah penekan saya pada teman.

"Tambah fenomena lain lagi, kak. Menjerat dengan dalih cinta. Cinta, meng-anui, lalu diblasblaskan. Ini juga marak." Rupanya komentar teman cukup kencang.

"Nada sentimentil ini bahkan lari ke ujaran kebencian. Tidak selesai masalah ini dek kalau gituan caranya," kataku.

Guyuran komentar teman sudah mulai terasa. "Kalau mungkin sudah pernah keluar merantau untuk sekolah atau yang lainnya, mungkin betul bukan teologis, kak. Faktanya kak, banyak sekali yang kami temukan seperti ini." Begitu kata teman.

"Bukan sentimentil, kak. Saya dan teman-teman banyak menemukan yang seperti ini."

"Hanya karena anu minoritas jadi diam. Menjaga diri dan keluarga masing-masing." Kata teman bertubi-tubi.

Lalu, saya membalas komentar. "Bukan sentimentil, tapi baperan alias sensi banget. Sama saja to, hehe".

"Tapi, jika sudah sampai penistaan maka anu akan speak up."

"Cuma kadang saya kasihan itu sama saudari anu yang bucinnya sampai tidak pake logika lagi. Ini dibilang Agnes Monika, hahaha. Begitu komentar teman yang makin seru.

Apa kabar kalau kaum minoritas? Baru ngerasain kalau sakit tuh di sini karena minoritas. Banyak kita belajar soal minoritas, dari ceritanya teman kita sendiri. Eh, pas kita yang alami segitunya kita. Maka berlakulah teori tirani mayoritas atas minoritas. Bisa juga kebalik. Tirani minoritas atas mayoritas. Buktinya, para bohir yang sering teman bilang oligark (segelintir) yang kuasa ekonomi plus sumberdaya alam. Kita mau bilang apa. Baru "kita" sedikit-sedikit muncul tanduk, hehe.

Tak keberatan sedikit pun, saya coba buka link FB. Teman saya yang jauh dari tanah rantau memperlihatkan hasil screen shot  percakapan grup WA-nya. 

"Ini hasil diskusi kita di grup bersama anu satu dan sudah ditindaklanjuti ini. Kita juga lagi mendorong anu satu di A dan B juga menyikapi ini. Laporan ditujukan ke akun FB X dan admin grup yang dengan sengaja meloloskan postingan ini. Mari sama-sama kita dukung proses yang dilakukan oleh Pengurus anu satu."

Terus, teman meminta saya cek akun FB X. "Cek di sini, kak," serunya berlanjut.

"Sudahkah kita cek, kak?" Tanyanya lagi. Sahutnya begitu bersemangat. "Belum saya dapat akun X di FB," tanyaku kembali.

Serta-merta teman saya berkomentar kembali. "Postingan X sudah dihapus setelah 'diserang', hahaha." "Oh, itu yang saya mau bilang," jawabku sekenanya.

Saling membalas komentar saya dengan teman di grup WA tak dapat dibendung. "Takut juga. Cari gara-gara. Lain masalahnya, lain tong disenggol," kata teman lagi.

Tenang! Satu-satunya cara memang jalur hukum. Setelah itu, kalau bisa bangun dialog.

Di luar dugaan, saya tidak membayangkan sebelumnya bahwa ada gambaran tentang dialog antarumat beragama. 

"Sering dialog orang di sini, kak. Sampe-sampe itu penyuluh agama Islam dari Kementerian Agama setempat malah nebeng jaga tempat ibadah di sebelah kalau beribadah di hari rayanya. Diarahkan juga remaja-remaja anu yang junjung simbol masuk ke tempat ibadah, ada yang bagaimana begitu, kak dengan moderasi beragama, wkwkwk." Begitu teman menginformasikan.

Kalau demikian, begini saja. Coba, cek faktor-faktor yang lain. Jangan-jangan kerjaannya cuma tukang kompor. Kalau ini terbukti lewat jalur hukum saja. Jangan digubris. Nanti akan capek sendiri. Bukan itulah karena selemah-lemahnya iman, hehe. Andaikata Rasulullah Muhammad SAW hadir, maka saya yakin, beliau mendoakan orang yang menistainya dengan kasih sayangnya super dahsyat.

"Mereka, kak, yang ada di sini dan beberapa saya kenal tidak menyukai Islam, ajaran Islam, dan Nabi Muhammad SAW. Mencitrakan buruk. Misal, kak, rekan guru waktu saya di SMK itu bercerita dengan sengaja menggunakan kerudung lalu masuk warung makan yang menyiapkan masakan xxxx. Pesan dan makan masakan xxxx. Entah untuk tujuan apa?"

"Misal yang kedua, kak. Saat melihat video orang yang bercadar mencium anxxxx, komentar mereka bahwa anu itu munafik. Untuk yang ini saya langsung bantah bahwa tidak semua yang bercadar itu Islam. Ada juga XYZ yang menggunakan identitas yang sama dengan muslimah. Ybs, bungkam."

"Lain lagi, kak, mereka itu benci Manusia Mulia nan Agung, Tokoh Nomor Satu paling berpengaruh di dunia, yang isterinya banyak. Dan sangat bangga karena mereka apa yang dipersatukan oleh Tuhan tak akan bisa dicerai-beraikan oleh manusia, ucap pemuka agama saat janji pernikahan di blablabla. Cerai tidak ada dalam kamus meraka. Keputusan cerai hanya oleh pimpinan tertinggi XXX. Tapi, "zingzungzeng" mereka lakukan, wkwkwk."

"Justeru harus digubris, kak. Mereka tidak boleh seenaknya. Toh, umat anu juga tidak pernah 'mengusik' mereka juga."

Nah, di situlah tantangannya. Dia (tukang kompor) sama sekali tidak paham tentang Islam, tidak paham tentang Nabi Muhammad SAW, tradisi atau budaya Islam atau bukan. Cadar, misalnya, tidak mutlak dikenakan bagi perempuan muslimah. Karena kondisi sosio-budaya dan geografis yang melatari bangsa Arab, maka ada pengecualian. Isteri-isteri Rasulullah SAW jelas terjaga dan terproteksi dari segala macam anasir jahat. Putri-putri Rasulullah SAW pakai cadar atau tidak karena belum ditemukan riwayat alias dalil naqli tentangnya.

Jadi, cadar dalam konteks yang lebih luas malah jadi tradisi dari kafilah atau kelompok atau mazhabnya tertentu. Perempuan Arab Saudi umumnya itu ya menurut mazhab Hambali atau Wahabiyah, wajib pakai cadar atau tidak? 

Cadar di negeri Iran lain lagi. Jelas menurut pandangan dan mazhab Syiah. Hingga di tempat lain juga terdapat tradisi cadar seperti di Afganistan, Pakistan itu pakai burda bagi kaum perempuan.

Singkatnya, masing-masing ada dalilnya dan turats-nya (tradisi). Kenapa? Karena berangkat dari pemahaman, penafsiran dan pemikiran yang berbeda. Kalau satu ayat saja dalam Al-Quran seperti ayat jihad itu macam pemahaman dan penafsiran orang. Bisa-busa lari ke kata qital (perang). Padahal, jihad dan qital itu berbeda. Keduanya terdapat konsep dan kondisi atau syarat-syarat yang mesti terpenuhi.

Makanya, kita perlu sama belajar tarik sejarah Islam. Misalkan, makan xxxx itu haram dalam Islam karena efek-efeknya dan di dalam daging xxxx mengandung cacing atau semacam patologi yang mengganggu kesehatan. 

Di situlah sains menjelaskannya. Bahayanya lagi, kalau memahami agama hanya secara sepenggal-penggal. Baru lihat puncak gunung, itulah yang benar. Lihat bulan, dianggap pusat alam semesta. Begitulah seterusnya.

Kalau ditarik ke teologi pasti tidak ketemu. Orang Islam tetap dalam prinsip bahwa xxxx itu haram. Yang lain percaya xxxx itu halal. Orang anu bilang haram pada yang lain, tapi tidak membuatnya bergeser dari keyakinannya. Sebaliknya, juga begitu.

Sesungguhnya dengan bekal pemahaman dan pemikiran saja tidak cukup. Apa yang lebih keren. Islam dan pemikiran Islam itu berbeda. Islam sudah final dan permanen. Pemikiran Islam yang sewaktu-waktu akan berubah dari satu zaman ke zaman yang lain. Sesuai kondisi dan perkembangan zaman yang berubah itulah sehingga ajaran Islam itu dilihat dari kacamata penafsiran, pemahaman, dan pemikiran turut berubah atau berbeda.

Kasus. Kenapa orang Islam lakukan korupsi misalnya, padahal rajin shalat? Yang salah kan bukan shalatnya. Mungkin shalat belum benar, kualitas penghayatannya pada shalat atau agama yang rendah sehingga berdampak pada tindakannya yang tercela. 

Saya kira dengan satu contoh saja ada gambaran beraneka rupa. Banyak realitas yang lain.

Sekali lagi. Bisa jadi, akun X hanya sengaja provokasi. Kalau di medsos, mereka jadi agitator, penghasut digital. Lewat FB, misalnya. Ternyata hit and run. Lenyap ditelan dunia digital. Sekarang, muslim di  A dan B harus tunjukkan betul-betul bahwa beginilah umat teladan Nabi Muhammad SAW. Ok deh.

Satu hal lagi, akun X "menista" sesuatu bukan atas nama agama sebagaimana agama juga melarang kita membenci atau menghina orang. Kita baku sodara. Satu bangsa lagi, kawan!

Enyahlah konflik! Inilah komentarku seadanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun