"Misal yang kedua, kak. Saat melihat video orang yang bercadar mencium anxxxx, komentar mereka bahwa anu itu munafik. Untuk yang ini saya langsung bantah bahwa tidak semua yang bercadar itu Islam. Ada juga XYZ yang menggunakan identitas yang sama dengan muslimah. Ybs, bungkam."
"Lain lagi, kak, mereka itu benci Manusia Mulia nan Agung, Tokoh Nomor Satu paling berpengaruh di dunia, yang isterinya banyak. Dan sangat bangga karena mereka apa yang dipersatukan oleh Tuhan tak akan bisa dicerai-beraikan oleh manusia, ucap pemuka agama saat janji pernikahan di blablabla. Cerai tidak ada dalam kamus meraka. Keputusan cerai hanya oleh pimpinan tertinggi XXX. Tapi, "zingzungzeng" mereka lakukan, wkwkwk."
"Justeru harus digubris, kak. Mereka tidak boleh seenaknya. Toh, umat anu juga tidak pernah 'mengusik' mereka juga."
Nah, di situlah tantangannya. Dia (tukang kompor) sama sekali tidak paham tentang Islam, tidak paham tentang Nabi Muhammad SAW, tradisi atau budaya Islam atau bukan. Cadar, misalnya, tidak mutlak dikenakan bagi perempuan muslimah. Karena kondisi sosio-budaya dan geografis yang melatari bangsa Arab, maka ada pengecualian. Isteri-isteri Rasulullah SAW jelas terjaga dan terproteksi dari segala macam anasir jahat. Putri-putri Rasulullah SAW pakai cadar atau tidak karena belum ditemukan riwayat alias dalil naqli tentangnya.
Jadi, cadar dalam konteks yang lebih luas malah jadi tradisi dari kafilah atau kelompok atau mazhabnya tertentu. Perempuan Arab Saudi umumnya itu ya menurut mazhab Hambali atau Wahabiyah, wajib pakai cadar atau tidak?Â
Cadar di negeri Iran lain lagi. Jelas menurut pandangan dan mazhab Syiah. Hingga di tempat lain juga terdapat tradisi cadar seperti di Afganistan, Pakistan itu pakai burda bagi kaum perempuan.
Singkatnya, masing-masing ada dalilnya dan turats-nya (tradisi). Kenapa? Karena berangkat dari pemahaman, penafsiran dan pemikiran yang berbeda. Kalau satu ayat saja dalam Al-Quran seperti ayat jihad itu macam pemahaman dan penafsiran orang. Bisa-busa lari ke kata qital (perang). Padahal, jihad dan qital itu berbeda. Keduanya terdapat konsep dan kondisi atau syarat-syarat yang mesti terpenuhi.
Makanya, kita perlu sama belajar tarik sejarah Islam. Misalkan, makan xxxx itu haram dalam Islam karena efek-efeknya dan di dalam daging xxxx mengandung cacing atau semacam patologi yang mengganggu kesehatan.Â
Di situlah sains menjelaskannya. Bahayanya lagi, kalau memahami agama hanya secara sepenggal-penggal. Baru lihat puncak gunung, itulah yang benar. Lihat bulan, dianggap pusat alam semesta. Begitulah seterusnya.
Kalau ditarik ke teologi pasti tidak ketemu. Orang Islam tetap dalam prinsip bahwa xxxx itu haram. Yang lain percaya xxxx itu halal. Orang anu bilang haram pada yang lain, tapi tidak membuatnya bergeser dari keyakinannya. Sebaliknya, juga begitu.
Sesungguhnya dengan bekal pemahaman dan pemikiran saja tidak cukup. Apa yang lebih keren. Islam dan pemikiran Islam itu berbeda. Islam sudah final dan permanen. Pemikiran Islam yang sewaktu-waktu akan berubah dari satu zaman ke zaman yang lain. Sesuai kondisi dan perkembangan zaman yang berubah itulah sehingga ajaran Islam itu dilihat dari kacamata penafsiran, pemahaman, dan pemikiran turut berubah atau berbeda.