Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaki Perkasa di Kemiskinan Ekstrem

10 November 2024   08:25 Diperbarui: 25 November 2024   10:54 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai kemudian, pak kepala lingkungan yang lain mendampingi kami turun ke titik rumah tangga miskin ekstrem. Lokasinya di kawasan pesisir daerah pantai. Sebelum saya tiba di tempat tujuan, mata saya  tertuju pada sebuah rumah berukuran kecil.

Atapnya dari seng, dinding bagian depan terbuat dari seng berwarna biru. Dinding rumah sebelah kiri dan kanan dari gamacca. Lantainya dari floor biasa.

Duh, ia tidak ada di data. Rumahnya terbilang memenuhi kriteria kemiskinan ekstrem. Dari luar, rumah kecil itu nampak tidak ada makhluk sepasang keluarga. Kepala rumah tangga, ibu maupun anaknya tidak menampakkan batang hidungnya.

Padahal, rumahnya punya aliran listrik. Pintu teras dan pintu rumahnya tertutup rapat sebagai tanda tidak ada pemiliknya. Saya tidak menanyakan siapa dan kemana pemiliknya ke pak lingkung atau tetangganya.

Kami teruskan perjalanan dengan langkah mantap. Jalanan rata dengan hamparan pasir laut di atasnya turut membuat kami menikmati terik matahari di siang hari yang cerah.

Lihatlah! Fenomena yang ekstrem dan cair, bukan? Tentu saja, mereka tidak meminta sejak lahir sudah miskin. Apalagi kepala keluarga punya tanggungan keluarga yang tidak ringan.

Makan nasi liwet hari ini, untuk urusan esok nantilah. Namanya juga ekstrem atau setidaknya mereka ada upaya tidak memelihara kondisi miskin ekstrem. 

Mereka tidak melihat foto rumahnya tiba-tiba berubah jadi gedongan dan mentereng. Yang ada di kepalanya bagaimana bisa menyambung hidup. Jika ada Bantuan Sosial (Bantuan Sosial) itu sekadar mengurangi beban hidup, bukan mencabut akar masalah mereka.

Sasarannya bukan untuk dipuja-puji bahwa Bansoslah satu-satunya cara untuk menghidupi mereka. Istilahnya, the tiranny of inequality banget, yaitu tirani ketimpangan ditandai dengan asap dapurnya terancam mengepul cuma senin-kamis lantaran otoritas pengambil kebijakan yang melempeng. Mereka bukan pasrah pada nasib dan bertopang dagu.

Untuk tidak mendapatkan aji mumpung Bansos, mereka sejak setahun lalu dapat program bantuan akhirnya berhenti tanpa alasan yang jelas. Untungnya, ada bantuan pemerintah semacam beras untuk rumah tangga miskin ekstrem atau pada level miskin.

Tengok juga kondisi sekitar rumahnya. Selain kumuh, kondisi di halaman rumah nampak berantakan. Seperti seorang bernama Baso, yang menghuni gubuk reok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun