"Hehehe mulai." Tiba-tiba seorang kawan segrup WhatsApp menimpali saya ketika nge- share kabar tentang Menteri Koordinator bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa tragedi Mei 1998 bukan pelanggaran HAM berat, sekitar tiga hari lalu.Â
Sayangnya, respon kawan di grup WA sampai di situ saja, tanpa pembicaraan berlanjut.
Doktor Rusli Siri kawan saya yang menanggapi kabar itu nampak cukup paham dengan urusan Kabinet Merah Putih, dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dia tahu aib masa lalu justeru dikuak oleh menteri koordinatornya sendiri. Saking pintar Menko Profesor Yusril jadi keblinger.
Rupanya, kawan saya itu menahan diri untuk tidak menanggapi panjang kali lebar soal pernyataan Menko Yusril terhadap status hukum tragedi Mei 1998. Bisa ditebak, jika banyak menyoroti pernyataan Menko Yusril, satu diantaranya kawan saya. Sebagian orang mungkin lagi adem sembari rasa kesal tertunda meledak keluar.
Apa yang diocehkan oleh netizen tentang Menko Yusril baru hari pertama dilantik, sudah mulai kelihatan senyumnya! Hari kedua, dia bikin blunder bukan main.
"Enggak (pelanggaran HAM berat tragedi 1998)," kata Yusril. Banyak media termasuk media online pun ramai memberitakan pernyataannya.
Sebagai seorang ahli, mestinya dia lebih tuntas mengkajinya secara matang, malah bikin pernyataan kontroversial. Saya akhirnya berimajinasi liar tentang Menko Yusril yang asal main "seruduk" atas tragedi Mei 1998.
Dia ingin mengatakan bahwa hasil laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) itu tidak valid. Bagaimana?
***
"Sial, kenapa Anda blusukan ke medsos?" Memang gampang melupakan bukti-bukti dan data-data yang tetap tersimpan di Komnas HAM dan TGPF tentang tragedi Mei 1998. Itu tugas dari organisasi non pemerintah.
"Ah, sudahlah Yus." Benar, tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Tetapi, ia pelanggaran HAM sangat berat. Sangat dan sangat tidak ringan. "Yus, bagaimana dengan korban pembunuhan dan pemerkosaan massal saat terjadi kerusuhan 1998?"Â
"Uh, om Pigay bicaralah!"
"Oh, oh!
Aduh, Yus apa belum jelas jika banyak korban dibilang bukan pelanggaran berat." "Tolong dong Yus investigasi ulang sebelum menarik kesimpulan!"
Menurut Tim Relawan TGPF bahwa ada 1.217 jiwa meninggal akibat terbakar atau dibakar dan akibat senjata atau lainnya. Itu dalam Jakarta. Belum lagi di luar ibu kota negara.
Terus, tercatat 52 orang menjadi korban pemerkosaan, 14 menjadi korban pemerkosaan dengan penganiayaan,10 orang menjadi korban penyerangan atau penganiayaan seksual, 9 orang menjadi korban pelecehan seksual. "Tarik nafas dulu. Keji kebangetan nih!" Kemudian, "apa Yus yang ingin dibicarakan?" "Apa belum banyak korban tragedi 1998?"
"Hmm."
"Kok, bisa bilang tragedi 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Banyak ruko-ruko dijarah dan dibakar. Kayak sudah perang." "Bagaimana perasaan Yus kepada kawan kita yang etnis Tionghoa, yang putrinya diperkosa secara keji." "Jika nggak percaya, coba Yus tanyakan ke Komnas HAM atau TGPF?"Â
"Atau Yus masih tidak percaya keduanya?"
Begini saja. "Jika bukan pelanggaran HAM berat, kenapa Amerika repot-repot memblokir permintaan visanya selama kurang lebih dua puluh tahun?" Bukan cuma itu. "Dia ternyata dimasukkan dalam daftar hitam Kementerian Luar Negeri Amerika. Ah, masa sih!"
Wkwkwk kimos!
"Memang benar ya. Di negeri ini bisa saja semuanya lucu. Lucu yang tidak lucu. Entah itu politiknya, hukumnya, demokrasinya, ekonominya hingga tokoh-tokohnya. Yang serius cuma penderitaan korban pembunuhan dan pemerkosaan massal."
Sekarang, yang terbunuh dan diperkosa secara massal bukan cuma tubuhnya, tetapi juga jiwanya merontah dan hatinya luka. Luka yang tak terlupakan.
"Duh, duh!" "Bapak-bapak yang di sana jangan aha aha aha saja!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI