Ketika puas atas gagasan di rompi bertuliskan "Putra Mulyono" diserang balik dengan menggunakan energi lawan justeru suatu waktu kaum pencemooh akan lemas atau loyo dibuatnya.
Kemungkinan lain, mereka masih tetap gercep, gerak cepat sesuai selera dan minat yang mereka sukai untuk membagi gambar dan berita sekaligus cuap-cuap seputar rompi bertuliskan "Putra Mulyono" dan ancang-ancang gagasan lainnya. Tanpa bayaran sedikitpun, netizen membedakan dirinya dengan buzzer dan  kelompok yang dibeking oleh pihak tertentu. Mereka seakan ceriwis adalah kekuatan. Netizen sebagai kaum pencemooh bukan berarti lebih baik dari lawan atau pihak lain.
Netizen mengkritik tajam bukan sekadar untuk bertahan hidup sebagai hantu-hantu atau kelompok pengacau. Sebagaimana yang lain, mereka berterima kasih pada medsos sebagai mitra, yang menyediakan ruang berbicara dan menulis bagi dirinya, tanpa terkekang.
Menyebalkan atau mengenakkan? Sudahlah! Ketika mencemooh lawan, suara kritis dari netizen sulit dinterupsi. Siapa "moderator" X atau medsos lainnya?
Sekarang, jika kita coba merenungkan apa yang terjadi sebaliknya. Andai berlipat ganda populasi kaum pencemooh di medsos, maka netizen suatu saat juga akan tidak aktif berkomentar dan secara otomatis tidak harus dijauhkan karena pada akhirnya akan menghilang dari peredaran sebagaimana pemilik rompi bertuliskan "Putra Mulyono" dan pemilik kaos bertuliskan "Korban Mulyono" akan ditelan oleh kecepatan berita. Dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain.Â
Cepat atau lambat, mereka dianggap semacam "iklan lewat" di jagat medsos. Mereka lebih tahu sasaran yang mana yang harus dicemoohi.
Baiklah. Kita sadar, bahwa dunia medsos dengan aliran cemoohan netizen didalamnya diakui tidak serta-merta mereka menjelma jadi negarawan-negarawan hebat dan tokoh-tokoh besar yang berintegritas. Tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Sutami, Hoegeng Iman Santoso, dan sederet nama lainnya yang pernah tampil di negeri kita bernama Indonesia. Mereka memang hidup di zaman yang berbeda dengan netizen baru.
Apakah semacam tokoh-tokoh besar tersebut yang hidup di zamannya harus menjadi rujukan bagi netizen yang gemar mencemooh? Iya, jelas mereka mengkritik atau mencela perilaku penyelenggara negara yang kelewatan melanggar nilai-nilai moral bangsa. Â
Memang Baharuddin Lopa atau Busyro Muqoddas cuma satu di negeri kita, misalnya. Keduanya dikenal sebagai sosok tokoh yang melawan arus. Berpandangan dan bersikap di luar kebiasaan karena keduanya bukan hanya anti korupsi, tetapi juga hidup apa adanya. Mereka tidak silau dengan fasilitas negara.
Tokoh-tokoh besar memang luar biasa dahsyatnya tanpa pamrih berjuang untuk menyelamatkan bangsa kita dari kehancuran. Sementara, setidaknya kritik hingga cemoohan dari netizen menurut gayanya sendiri. Untuk anak Mulyono dan anak-anak pejabat negara lainnya, marilah meneladani nilai perjuangan dari tokoh-tokoh besar bangsa!Â
Halaaa, gombal! Netizen pun waspada pada cengengesan.