Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jadi Humor dan Omong Kosong Kolonial

18 Agustus 2024   15:17 Diperbarui: 18 Agustus 2024   16:20 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Netizen saja mengkritisi bahwa izin atas pengusahaan tanah di wilayah IKN jauh lebih lama dari zaman kolonial. Berapa lama? 75 tahun. Kita bisa bayangkan, demi kebanggaan masa depan bangsa lewat "karya baru" IKN, secara tidak sadar kita telah terperangkap dari fantasi kolonial.

Kata lain, warisan dan bau kolonial bukan dari bangunannya, melainkan alam pikiran. Tidak apa kita menyerap warisan kolonial termasuk pemikiran selama itu bernilai positif untuk kesejahteraan bangsa.

Jika kita kembangkan logika anti atau alergi bau kolonial, masih ada pekerjaan rumah jangka yang ruwetnya dihadapi oleh negara. Apa itu?

"Kami juga sedih pak, kedepannya kita juga dibayangi utang negara yang menggunung." Setidaknya utang negara yang dipinjam oleh Indonesia dari negara kredit atau badan dunia, layaknya Bank Dunia, Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura, yang menganut kapitalisme.

Terpeleset sedikit, bisa jadi mereka berposisi sebagai neo-kolonialisme di bidang perekonomian?

Demi kepentingan politik, mereka bisa saja mendikte kita, penguasa memberi "gula-gula" sebagai hiburan hidup. Kita "terjajah" secara ekonomi? Lebih baik bebaskan bau kolonial dari mentalitas terjajah kita agar bisa bermental penjajah atau berwatak kolonial. 

Dalam kondisi apapun, terserah pilihan kita? Satu gambar simpel. Beras, gandum, atau yang lainnya sebagai kebutuhan pokok, yang penting tidak terbebani impor karena alasan kita terbebas dari bayangan kolonial. Jangan sampai, lain di bibir malah terjadi penyelendupan biji nikel ke negara lain.

Lah, urusan "ekspor-impor" bukan hanya soal barang atau ekonomi, tetapi juga bayangan kolonial dalam watak atau pikiran kita. Jika bukan terhindar dari zaman kolonial, sekecil apapun upaya bangsa lebih jitu jika kita menciptakan koloni baru? 

Ibarat koloni lebah dengan madu, bukan? Siapa juga yang ingin "koloni lebah" dengan madu? Yang jelas, ada permainan kolonial dalam bentuk yang lain. Atau kolonial baru yang bukan koloni?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun