Selanjutnya, ia tinggal diserok, dimasukkan ke ember. Ia dibawa pulang dan ditaruh di akuarium atau masuk ke penggorengan. Sebuah karikatur laku di konten medsos. "MUelu, NUambang."
Hamparan kata-kata yang menohok menjadi langganan utama setelah NU dan Muhammadiyah menerima izin usaha tambang. Sekian banyak kata-kata mutiara dari penghuni medsos yang menampar keras, memuakkan hingga menjatuhkan tingkat kepercayaan ke titik yang serendah-rendahnya.
Tindakan Muhammadiyah dengan menerima izin usaha tambang yang dianggap sebagai bentuk kemunafikan menurut sebagian netizen. Sekeras-kerasnya ucapan netizen di medsos malah NU dan Muhammadiyah tetap meyakini usaha tambang sebagai jalan keselamatan dari kehancuran.
Suara-suara kritis dari masyarakat memang tidak diabaikan. Katakanlah, Muhammadiyah kecebur ke kolam, Anda dapatkan itu buah regulasi dari kekuasaan yang penuh korupsi, mengibuli rakyat, merusak lingkungan hingga mengangkangi hukum.
Harta kekayaan yang Anda dapat dari tambang adalah hasil amal palsu. Apa Anda tidak berpikir sampai ke situ? Katanya pengikut moderasi beragama. Apa itu idealisme? Semua runtuh dihadapan lahan basah. Ladang tambang (ketawa dulu).
Fakta yang mereka katakan ada di depan mata. Tidak heran ayahandanya semangat menambang. Enaklah saat anandanya jadi wakil menteri, jubir, ketua pemudanya jadi timses Prabowo-Gibran, ketua ikatan mahasiswanya bawa atribut organisasi dan kader buat menghamba sama anak rezim. Ingin banyak berharap apa?Â
Di luar itu, organisasi sehebat muhamadiyah bisa ter perangkap dlm jebakan tikus. Sumpah, pimpinan dan pengurusnya tercerahkan dan kritis!
Nah, jika netizen dan publik meneriaki goblok ke Muhammadiyah atau NU, apakah sudah selesai masalahnya. Tentu saja jawabannya tidak selesai. Jadi, netizen bisa apa? Publik bisa apa?
Sampai di sini, kita juga ingin mengatakan bahwa netizen tidak bisa mengalahkan Ormas keagamaan. Bukan soal punya hak menambang, melainkan ia punya pilihan bebas.
Apa lagi yang harus dikatakan oleh Muhammadiyah dan NU? Begini saja gaya bicaranya, daripada tambang dikelola oleh konglomerat nakal atau oligarki dan antek asing, lebih baik dikelola oleh Ormas.Â
Kita masih sadar, repot memang sama pembenci lantaran tidak ada yang benar di mata pembenci atau pengolok, yang seupil dan ramai di medsos. Camkan! Tragedi dimulai dari sesuatu yang senyap, bukan dari hal yang heboh. Geger tambang tidak lebih dari konsekuensi.