Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Lima Intelektual Itu Bukan Musuh, Kecuali Kolonialisme Israel

15 Juli 2024   22:45 Diperbarui: 16 Juli 2024   07:20 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ermansyah R. Hindi - Dokpri

Nyaris seharian saya mengintip konten berita di media sosial. Tanpa sengaja, saya memandangi berita yang membetot perhatian netizen di medsos. Rupanya sudah kadung heboh di medsos X. Tak pelak lagi berita seputar kunjungan so called 'lima intelektual muda Nahdliyin' ke Israel menjadi topik perbincangan hangat.

Lebih dari kata lumayan malah peristiwa anyar yang panas karena sensinya minta ampun. 

Mereka seakan berubah menjadi semacam "gravitasi" yang menggemaskan, memancing hingga mengundang hujatan di medsos.

Hebohnya lima intelektual muda Nahdliyin lantaran sowan dengan Presiden Israel Isaac Herzog sesungguhnya bukan musuh dunia terutama negeri muslim. Tetapi, musuh nyata adalah zionis Israel yang menjajah hingga melakukan genosida dan pembersihan etnis terhadap warga Palestina. 

Diam-diam pertemuan antara kedua belah pihak berlangsung beberapa hari yang lalu.

Saya dan Anda bisa menyimak foto bareng nampaknya sebagian besar dari kaum intelektual mengulum senyum. Tidak heran, pernyataan yang tidak sepi di medsos X adalah melukai perasaan umat Islam dan kemanusiaan sejagat. Terlepas dari ragam penafsiran, orang anggap kunjungan kelima Nahdliyin telah nyenggol konstitusi.

Kita tahu bahwa intinya antara lain anti penjajahan karena tidak sesuai perikemanusian dan perikeadilan. Cuma sebatas itu alasan dan sorotan tajam netizen. 

Memang dari ujung kaki hingga ujung rambut konstitusi terbuka untuk ditafsirkan. Yang konyol, jika pendapatnya saja yang paling benar dan pendapat lain salah.

Lalu, yang terluka rasa kemanusian itu yang mana? Sakitnya ada di sini. Mendekati petengahan Juli saja, sudah lebih dari 38 ribu terbantai. 

Saat lima intelektual itu berkunjung ke Israel, maka saat itulah mereka dikecam habis lantaran dianggap "menari-nari" di atas penderitaan rakyat Palestina. 

Mereka bertemu tatkala sudah beribu-ribu anak termasuk bayi mati karena dihujani bom. Mereka berfoto bareng saat sudah banyak perempuan diserang rudal dan ditembaki senapan canggih.

Dalam rombongan yang sama, ada juga Mbak-Mbak dengan senyum merekah. Senang dan bahagia mereka dianggap oleh netizen yang kontra membungkam kekejaman zionis Israel. 

Entah berapa banyak lagi warga di Gaza dan wilayah Palestina lainnya yang mati gara-gara menjadi korban genosida. Semuanya itu sangat mengerikan dan sulit untuk diungkapkan.

Penjajahan, genosida hingga pembersihan etnis Palestina sebagai fakta hilangnya rasa kemanusian dan perikeadilan. 

Hujatan dan kecaman bertubi-tubi dari sebagian besar warga medsos sudah tentu juga menjadi alasan mengapa zionis Israel sebagai musuh nyata, simbolik atau imajiner bagi dunia. Jelaslah, kekejaman zionis Israel adalah musuh bagi kemanusian dan dunia muslim.

Setelah memerhatikan konten berita kelima intelektual Nahdliyin, mendadak saya ingat Gus Ulil (sapaan akrab Ulil Abshar Abdalla). Dia seorang jebolan Ph.D Amerika. Gus Ulil salah seorang pentolan pemikir Islam liberal di tanah air. Saya pun nge-klik untuk komentar atas berita panas itu. "Syukurlah, Gus Ulil nggak ikut." Begitu bunyi komentar saya di medsos X. 

Nyatanya juga, komentar saya tidak sebanyak dan sedahsyat komentar para netizen di medsos dengan rasa bete abis tingkat tinggi. 

Yang penting kita tidak ikut larut dan mencoba menarik benang merah seraya menjadi pelajaran bersama. Terus, yang lunak dan keras suaranya di medsos dibawa santai saja.

Saya dan mungkin Anda tidak ingin "mengkompori" suasana yang sudah panas di medsos. Kami sok-sokan pahlawan. Daripada mengungkit luka dan ikut nimbrung dalam lautan emosi para warga medsos, kita lebih mending berkomentar apa adanya.

***

Kita akui, anak-anak muda Nahdliyin itu cerdas-cerdas. Mereka memang beda dengan gaya yang lain. 

Pokoknya, mereka kocak dan unik. Karena problematis sehingga anak-anak muda Nahdliyin menantang kita berpikir. 

Yang menarik, kaum intelektual mudanya berani menyerempet bahaya. Mereka mampu keluar dari hal-hal yang itu saja. Keluar dari kelaziman. Sebenarnya itu yang membuat saya angkat topi pada kaum intelektual muda Nahdliyin.

Tetapi, seliberal-liberalnya Gus Ulil (tokoh ini bisa jadi 'role model'), dia belum bersua dengan pemain Israel. Dia bukan berarti ketinggalan dengan langkah kontroversi kelima intelektual muda. 

Sebutlah, Gus Syukron Makmun, Dr. Zainul Maarif, Munawar Aziz, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania. Mereka dianggap eksentrik luar biasa dan menantang arus dalam kebanggaan Nahdliyin. Paling tidak, PBNU sedikit "menjewer" anak-anak mudanya tidak paham geopolitik sebagai tanda kasih sayang, yang melimpah.

Begitu kontrasnya dengan komentar pedas dan menohok di medsos X. Mungkin di antara komentar paling keras ditujukan pada kelima intelektual muda tersebut sebagai jelmaan kaum munafik. 

Katanya, mereka berlemah lembut dengan zionis Israel sang penjajah dan pembunuh kejam nan bengis terhadap bangsa Palestina.

Sebaliknya, mereka beringas sama warga Muslim. Sungguh keras komentarnya sampai saya dibuat tidak menjerit kesakitan karena telinga memerah. Ini ada lagi komentar netizen yang serupa. "Majelis ilmu dibubarin, eh pembunuh dan penjajah dimesrain. Apa maunya antum?" 

Akhirnya, ucapan yang laris? Sebentar jika tingkah mereka dihujat, fenomena mereka justeru menuduh balik akibat dinilai intoleran, anti Pancasila atau anti moderasi beragama.

Jika kita membaca sebagian suara kritis warga medsos, masih ada imbangan pernyataan. Bagaimana jika pemikiran liberal, pluralisme atau keterbukaan berpikir dari kaum intelektual muda Nahdliyin yang melambung jauh ke depan juga paham keadaan di sekitar? Mereka juga bukan berpandangan dan bersikap karena dibuat mainan.

Umpamanya, jika ada pernyataan soal mereka berkunjung atas nama apa? Oknum, pribadi atau bukan bukan atas nama organisasi? Ingin bertemu presiden Israel atas nama pribadi dari pihak yang tidak dikenal sebelumnya. Kok, intelektual muda beken tidak tahu geopolitik? Jika alasannya sebagai juru perdamaian. 

Lah, Menteri Luar Negeri Indonesia apa tidak cukup untuk mendukung Palestina bebas dari cengkeraman Isreal. Logikanya dimana?

Sudah bukan rahasia umum bahwa PBB dan Mahkamah Internasional tidak digubris oleh Israel atas serangannya ke Gaza atau Rafah, Palestina. Apalagi cuma perjuangan diplomasi. 

Siapa tahu dengan jurus kunjungan mereka menjadi bahan renungan bagi Israel untuk menghentikan pembantaian warga Palestina. Ini bisa menjadi strategi ajaib, bukan?

Curiga itu boleh. Bagaimana pula jika mereka pergi atas nama pribadi? Masuk akal atau tidak jika yang datang untuk bertemu dengan presiden Israel sampai tidak mengenalnya. Apa kita melawak di depan dunia? 

Jika kecaman dunia atas kekejaman Israel, masuk akal jugakah jika organisasi yang mengutus mereka. Nah, yang rusak siapa? Organisasi, bukan yang berdandan setelan jas di depan kamera. Lantas, muka organisasi ingin ditaruh dimana?

Terlalu jauh kecurigaan menghinggapi kepala kita. Kasus ini juga dikaitkan dengan operasi intelijen Mossad. 

Sayangnya, penilaian bahkan tudingan seperti itu belum punya bukti-bukti yang sahih. Mengapa demikian? Bukan atas nama pribadi-pribadi atau para oknum yang terlibat, tetapi ikut menyeret nama organisasi Islam terbesar seperti Nahdlatul Ulama.

Agen Mossad saja kedodoran menghadapi pejuang Palestina. Apalagi ambil pusing dengan urusan diplomasi. Ada-ada saja kecaman warga di medsos X. 

Terpujilah pembebasan Palestina? Dari cara apapun, yang penting Palestina bebas dari Israel.

Sampai di ujung kalimat ini, saya mengutip dua cuitan di medsos X. "Sebagai rakyat NU aku jengkel liatnya" dan
"Gak mewakili hati nurani warga NU." 

Pada waktunya juga akan cair suasana heboh kelima intelektual muda. Alangkah lebih gagahnya jika kelima intelektual tersebut tidak melupakan gaya Noam Chomsky dan Edward Said dalam menentang Israel. Keduanya bermain dengan kritik atas pembantaian massal yang dilakukan oleh Israel atas warga Palestina. Keduanya melebihi senyummu, derita mereka. Sukaku di balik dukamu. Kita sadar, saat semua mata tertuju pada Palestina, maka kaum intelektual juga perlu melihat ke dalam dirinya. Palestina adalah kita!

Lain halnya, ketika panggilan kemanusian atau curhatan intelektual terasa hambar di tengah pembunuhan terutama anak-anak dan perempuan Palestina. Hati siapa yang tidak luka? Masih adakah secercah harapan di ujung lorong gelap? 

Di situlah titik yang kita nantikan dari lima intelektual muda Nahdliyin. Semoga perdamaian dunia bisa terwujud!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun