Yang menarik, kaum intelektual mudanya berani menyerempet bahaya. Mereka mampu keluar dari hal-hal yang itu saja. Keluar dari kelaziman. Sebenarnya itu yang membuat saya angkat topi pada kaum intelektual muda Nahdliyin.
Tetapi, seliberal-liberalnya Gus Ulil (tokoh ini bisa jadi 'role model'), dia belum bersua dengan pemain Israel. Dia bukan berarti ketinggalan dengan langkah kontroversi kelima intelektual muda.Â
Sebutlah, Gus Syukron Makmun, Dr. Zainul Maarif, Munawar Aziz, Nurul Bahrul Ulum, dan Izza Annafisah Dania. Mereka dianggap eksentrik luar biasa dan menantang arus dalam kebanggaan Nahdliyin. Paling tidak, PBNU sedikit "menjewer" anak-anak mudanya tidak paham geopolitik sebagai tanda kasih sayang, yang melimpah.
Begitu kontrasnya dengan komentar pedas dan menohok di medsos X. Mungkin di antara komentar paling keras ditujukan pada kelima intelektual muda tersebut sebagai jelmaan kaum munafik.Â
Katanya, mereka berlemah lembut dengan zionis Israel sang penjajah dan pembunuh kejam nan bengis terhadap bangsa Palestina.
Sebaliknya, mereka beringas sama warga Muslim. Sungguh keras komentarnya sampai saya dibuat tidak menjerit kesakitan karena telinga memerah. Ini ada lagi komentar netizen yang serupa. "Majelis ilmu dibubarin, eh pembunuh dan penjajah dimesrain. Apa maunya antum?"Â
Akhirnya, ucapan yang laris? Sebentar jika tingkah mereka dihujat, fenomena mereka justeru menuduh balik akibat dinilai intoleran, anti Pancasila atau anti moderasi beragama.
Jika kita membaca sebagian suara kritis warga medsos, masih ada imbangan pernyataan. Bagaimana jika pemikiran liberal, pluralisme atau keterbukaan berpikir dari kaum intelektual muda Nahdliyin yang melambung jauh ke depan juga paham keadaan di sekitar? Mereka juga bukan berpandangan dan bersikap karena dibuat mainan.
Umpamanya, jika ada pernyataan soal mereka berkunjung atas nama apa? Oknum, pribadi atau bukan bukan atas nama organisasi? Ingin bertemu presiden Israel atas nama pribadi dari pihak yang tidak dikenal sebelumnya. Kok, intelektual muda beken tidak tahu geopolitik? Jika alasannya sebagai juru perdamaian.Â
Lah, Menteri Luar Negeri Indonesia apa tidak cukup untuk mendukung Palestina bebas dari cengkeraman Isreal. Logikanya dimana?
Sudah bukan rahasia umum bahwa PBB dan Mahkamah Internasional tidak digubris oleh Israel atas serangannya ke Gaza atau Rafah, Palestina. Apalagi cuma perjuangan diplomasi.Â