Lagi-lagi viral dan viralisme menjadi semacam kutukan bagi orang yang mumet dan malas mencampuri urusan dunia lain. Kondisi itu bukan karena tukang Fesbukan dan kaum Medsosian lainnya sedang gaptek, ya kan.
Padahal foto atau gambar video yang viral tidak sekadar ramai diperbincangkan di medsos. Foto itu datang dari sejenis makhluk yang ditakdirkan hidup bersama kita. Ia pelan-pelan menggantikan kita.
Baiklah. Termasuk anak-anak yang dipenggal dan dibakar oleh Israel diabadikan lewat kamera begitu memilukan. Ternyata foto korban genosida tidak menakjubkan. Foto yang dirahi di zaman yang sudah berubah.Â
Sumpah, bro! Foto viral sebelumnya sudah canggih karena aplikatif di jagat medsos. Pertanyaanku pun bergelayutan. Saya kira, orang yang lagi puasa HP, maka sulit mengintip foto yang lagi viral di medsos.
Memandangi beberapa status dari pemilik akun X (Twitter), misalnya, laksana musim panen foto atau gambar video serangan udara Israel ke Palestina. Foto pembantaian warga seakan menjadi sebuah ritual keseharian, yang kita tatapi di medsos.
Yang satu ritual otomatis karena tanpa sengaja dipencet segera nongol foto bertuliskan: "Semua orang berdiri bersama Palestina," "Semua Mata Tertuju ke Rafah."Â
Yang lainnya, sebuah ritual kematian tanpa perkabungan dari serangan maut membuta dari Israel. Di sana, pasukan Israel dan Hamas telah kering air matanya saat membunuh.
Jepretan foto korban keganasan genosida  dan pembersihan etnis sebagai bukti telanjang betapa cepatnya viral di medsos. Terhadap sebuah kamp untuk warga Palestina yang mengungsi di kota Rafah, Gaza selatan dibombardir dan dibakar oleh serdadu Israel menjadi pemandangan yang biasa sekaligus mengenaskan tersaji di medsos.
Apalagi di zaman kita ya, bro. Antum sudah berapa kali nonton atau melihat gambar video pengeboman dan pembantaian warga Palestina?Â
Apa iya antum nonton peristiwa tragis itu pakai mikir berat-berat sampai pusing tujuh keliling? Tidak ya.
Belum lagi sibuk cari foto korban genosida dengan komentar dan analisis yang tajam. Eh, untungnya antum dapat jempol dari kawan usai debat pro dan kontra Palestina di medsos. Tidak ngaku, jelas ditepis.Â
Syukurnya juga karena kawan-kawan bukan bangsa selegram, yang doyan bikin caption ecek-ecek sambil gemoy-gemoy saja dapat hiburan gratis.
Agar khayalan berahi tidak tumbuh liar di kepala, maka saya lewatkan foto selain foto warga Palestina. Saya bukan sekali atau dua kali memandangi foto tangis pilu hingga warga Palestina yang terbunuh akibat serangan Israel.Â
Dari propaganda Israel dan isu Hamas adalah ciptaan Israel pun saya temukan di media onlen. Bahkan puluhan akun medsos, terutama di X turut memperkaya referensi saya untuk menulis tragedi kemanusiaan di Palestina dan genosida yang dilakoni oleh Israel.
Apa diantaranya propaganda Israel di medsos? Yang sering digembar-gemborkan oleh Israel itu isu antisemitisme dan pro Hamas.Â
Kedua isu itulah sebagai senjata psiko-politik ideologis yang dihembuskan pada pihak yang mengkritik Israel hingga di wilayah terpencil di jagat medsos.
***
Tentu saja berbeda dengan postingan lain di medsos. Seorang kawan munculkan status di Facebook, yang kontennya seputar jeritan anak-anak Palestina karena kehilangan orang tuanya. Begini bunyi keterangan di video.
 "Anak-anak Rafah ini mengumpulkan sisa daging keluarga mereka, setelah pengeboman tadi malam." Ada lagi foto si bocah yang memegang piring. Anak yang wajahnya robek, berantakan. Super ngeri.
Selintas, hitung-hitung kiriman status dari kawan berjumlah lebih dari tiga foto korban konflik Israel dan Hamas, di Gaza, Rafah, dan tempat lainnya. Tidak sempat juga menanyakan ke kawan, entah dari mana foto ngeri dan ratapan anak-anak Palestina dicomot. Saya hanya tersenyum.
Tetapi, selemah-lematnya dukungan ke Palestina, bentuk keprihatinan yang mendalam hingga kecaman pada Israel itu sudah lumayan. Daripada acu tak acuh, tutup mata dan telinga, mending merasakan penderitaan warga Palestina.
Paling tidak juga lewat tulisan di media onlen sebagai wujud dukungan ke Palestina. Menumpahkan keluh kesah yang tidak ada hubungannya dengan foto kekejaman Israel atas warga Palestina yang viral di medsos itu tidak lebih dahsyat.
Ketimbang cengar-cengir dan nyinyir, lebih baik kita turut berduka cita. Mendoakan keluarga yang selamat setelah orang tua atau anak-anak Palestina dibantai oleh Israel itu juga luar biasa akan terijabah tembus ke langit. Yang enteng itu bingung sendiri. Tidak tahu apa yang ingin dilakukan.
Wajar saja ada kawan yang berbeda lincahnya dengan kawan lainnya saat mencari foto korban warga Palestina yang terbunuh. Mungkin pula kepala lebih berat ke isu dan masalah yang terjadi di dalam negeri. Artinya, dia sedang mempertahankan dua bentuk keperpihakan terkait penderitaan orang banyak. Kalau kita berbicara orang miskin, di Palestina juga tertimpa kemiskinan. Gara-gara foto yang terpampang di medsos justeru akan kita tahu banyak hal.Â
Oh, warga Palestina yang tewas, berapa yang kurang makanan, kurang gizi, krisis air, krisis listrik hingga terhalang komunikasi dengan warga dunia lainnya. Semuanya akan tergambar lewat foto dan berita di medsos.
Lalu, bagaimana foto anak-anak Palestina dipenggal dan dibakar hidup-hidup sampai kepada kita? Pertanyaan itu bisa berkembang, dari sorotan mana kita pilih.
Setelah robot Artificial Intelligence (AI) bernama Sophia menjadi warga negara Arab Saudi dan robot AI yang menggantikan pendeta di Inggris. Yang lainnya bakal digantikan perannya oleh robot, seperti biksu, ulama, dan rabi.Â
Apa yang dilakukan oleh AI di Palestina?
Sekali lagi. Di media onlen memberitakan tentang keterlibatan AI di antara kamp tenda untuk warga Palestina yang mengungsi. Pantaslah, kenapa di layar medsos sekelas X bertaburan kalimat: "All Eyes on Rafah" (Semua Mata Tertuju ke Rafah).Â
Setiap saya bergeser ke akun lain, muncul lagi slogan yang sama. Sekian hari saya lihat tanpa jeda dengan kalimat yang seragam di medsos.
Selagi sarapan hingga santap malam sembari intip All Eyes on Rafah di medsos itulah kesempatan yang tidak terlewatkan. Cuma bedanya, anak-anak muda Palestina yang meninggal akibat serangan pasukan Israel tidak main tubruk seperti ini.Â
"Viralkan aku, ya!" "Lihatlah aku, gagah kan, cantik kan!"Â
Seandainya celoteh itu difoto oleh AI seakan menampar para pengagum posmodernisme. Jelas tidaklah. Masak kita tega parah memplesetkan kata-kata dan gambar video warga Palestina yang mati. Sungguh, ampun, tidak demikian.
"Dalang" utama penyebaran gambar secara luas tentang nasib tragis di Rafah, di Palestina itu lewat unggahan klip Richard Peeperkom. Dia seorang petugas di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).Â
Saat dia berbicara, Palestina merupakan wilayah pendudukan Israel. "Semua Mata Tertuju ke Rafah" bergema kemana-mana. Kepada wartawan, dia memperingati pasukan Israel. Karena dasar budek, seruan bro Peeperkom tidak digubris oleh Israel.
Hal itu soal lain. Berikutnya, efek dari viral di medsos, sehingga slogan tersebut viral dengan lebih dari 47 juta share berdasarkan perhitungan Instagram.Â
Singkat kata, "Semua Mata Tertuju ke Rafah" jadi viral di medsos yang ditampilkan oleh Artificial Intelligence. Tidak ada satu pun orang membantah fakta tersebut.
Begitulah slogan "Semua Mata Tertuju ke Rafah" hingga gambar video yang viral dan terdaur ulang di era Artificial Intelligence. Slogan dan gambar permukaan yang berubah dan padat. Di bawah permukaan, di kedalaman selera yang kosong.
Lantas, apakah para fotografer, tukang foto akan keok menghadapi tantangan AI. Kalau memang zaman yang berubah, apa mau dikata.Â
Lebih khusus, kita berharap AI tidak turun gunung lagi untuk menjepret korban genosida dan pembersihan etnis Palestina. Harap menjadi tukang foto profesional saja. Usahakan fotografer hindari lawan tanding AI. Karena itu, AI hadir bukan untuk menghasilkan berapa banyak kengerian dan maut di Palestina. Kita berharap sebuah kehidupan baru. Di sana, bro!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H