Forum Air Dunia, 20 Mei 2024, di Bali. Presiden Jokowi tidak ketinggalan berbicara di forum yang sama. Apa yang tidak diketahui oleh elite global dan elite nasional? "Ketika si buta dituntun oleh si buta," maka kebebasan berbicara dan berekspresi tersumbat saat sorotan atas privatisasi air mencuat di ruang obrolan kelas dunia.
Elon Musk hadir dan berbicara di depanMusk percaya pada masa depan ketika bumi serupa air. Imajinasi Musk terbang tinggi sehingga di kepalanya tercantol alien.Â
Katanya, air itu adalah penamaan dari alien. Alasannya?
Luas permukaan bumi lebih banyak air daripada daratan. Wah, dia berpikir sejauh itu tentang hubungan air dalam kamus besar bahasa alien (saya tersenyum sejenak).Â
Begini penggalan omongannya. "... Dan banyak orang mengira alien telah datang ke sini, karena mereka selalu bertanya pada saya tentang alien. Mereka (alien) mungkin menamai kita air karena kita 70 air dan hanya 30 persen daratan." Di sini, saya menatapi pidato tuan Musk lewat media daring menjurus ke pidato futuris.
Pidatonya lari kencang melebihi genre pidato retoris. Dia memilih yang "masa depan" (future), sepadan kata "di depan" (ahead). Baiklah, kita sudahi permainan kata!
Martin Heidegger menyebut Dasein (Being-there, Ada-di sana) dalam teks Being and Time (1962 : 172, 182) tanpa maksud sama dengan kata "di depan" dan "masa depan." Saya membaca bukunya tentang yang "Ada-di sana." Â Di halaman yang berbeda, terdapat "Ada-di sana" sebagai keadaan pikiran dan "Ada-di sana" sebagai pemahaman. Berbeda kan dengan kata "di sana" atau "masa depan." "Jelas berbeda dong," tutur Heidegger dalam imajinasiku (setengah tertawa).
Di luar sana, mereka tidak butuh alien. Mereka butuh seperti pencerahan pasca- Dialectic of Enlightenment, karya Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno. Kita lewatkan yang satu ini dulu.Â
Diketahui, People's Water Forum (PWF) 2024, berlangsung di Institut Seni Indonesia, Denpasar Bali, 20 Mei 2024 dibubarkan oleh ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN). Mereka dibubarkan lantaran PWF tidak mengindahkan imbaun lisan Pejabat Gubernur Bali.
Gara-gara faktor keamanan dan ketertiban World Water Forum (WWF), berlangsung pada 18 hingga 25 Mei 2024, maka PWF angkat kaki dari tempat kegiatannya. Inilah versi aparat alias pendekatan keamanan dari pemerintah. Harap maklum!
Namun demikian, pernyataan Musk bagai magnet itu menyisakan tanda tanya. Sekuat-kuatnya benteng pertahanan, ia harus lebih kuat dari dalam, ketimbang penampilan dari luar.Â
Begitu pula pidato Musk dengan pernyataannya. Karena itu, pernyataannya belum menyenggol dalam dua hal.
Pertama, oh, ternyata elite global atau pentolan bisnis-ilmiah dunia bisa abai dan bahkan dianggap angin berlalu soal masih terjadi kegaduhan antara para pegiat maupun sebagian para pemimpin dari Forum Air Dunia (World Water Forum/WWF) dan para pegiat dari Forum Air untuk Rakyat (People's Water Forum/PWF) dan pegiat lingkungan lainnya. Mereka, para bos dan pemimpin dunia dari WWF mana tahu soal PWF dibubarkan secara paksa oleh organisasi massa.
Pembubaran paksa PWF oleh Patriot Garuda Nusantara (PGN) memang di luar kendali. Siapa sangka akan terjadi insiden itu tanpa digubris oleh peserta kegiatan.
Di mata aparat, ajang PWF dianggap sebagai masalah kecil. Sebaliknya, ia menjurus sebagai "kerikil" dalam agenda forum dunia tentang air.
Lalu, masalah pembubaran PWF adalah bukan masalah sepanjang isu dan kenyataan yang dihadapi oleh forum air jauh lebih besar. Ia bukan berarti kebal dari saran dan masukan dari pihak lain, termasuk pegiat air untuk rakyat dan pegiat lingkungan lainnya. Mereka dikira oleh aparat negara sebagai musuh karena membuat forum "tandingan," sekaliber WWF.
Karena tidak ada jaminan yang kelar, kenapa kejadian itu bisa ribut, ya, mending terserah saja mau dibilang apa. Sok jagoan atau apalah di tengah forum bergengsi kelas dunia. Mereka tidak mempertimbangkan ada kepentingan di balik modal sosial, kecuali meraup keuntungan ekonomi.
Mereka mendanai pengelolaan air. Tetapi, kita yang tanggung malu terhadap insiden tersebut.
Kedua, "sebentar saja, bapak, ibu!" Daripada acuh tak acuh melanda mereka atas kritik, bagaimana jika alien ala Musk menduduki dan menghegemoni kantong-kantong air di negara-negara Afrika dan Asia yang miskin dan terkebelakang?Â
Bagaimana pula jika alien mencaplok sumberdaya air (jika ada) di Gaza dan zona lainnya di Palestina?
***
Sementara, para pegiat lingkungan dari organisasi masyarakat sipil turut nongkrong di PWF, di waktu dan tempat yang berbeda. Segera, para pegiat itu nimbrung di PWF secara suka rela.Â
Namun demikian, sesuatu telah terjadi. Di situlah ada semacam kekerasan psikologis.
Paling tidak, secara psikologis, keceriaan dan kebersamaan tiba-tiba berubah menjadi intimidasi dan teror. Terlepas ini penilaian dari pihak yang pro-Forum Air untuk Rakyat, insiden itu telah mencoreng hak berbicara dan berserikat. Dimanakah hak konstitusi kita, bro?
Diberitakan, bahwa mereka menggelar kegiatan untuk merespon dan mengkritisi agenda WFF. Berselang waktu kemudian, datanglah ormas PGN.Â
"Eh, kamu bubarkan forum ini! Cepat, ayo cepat! Kalau tidak tanggung sendiri akibatnya. Mau bentrok ya! Saya tonjok kamu!" Ini rekaan belaka. Ini bentuk dramatisasi ketika dilaporkan ada intimidasi pada PWF. Salah sedikit telah terjadi pelanggaran HAM.
Bayangkan, bukan cuma panitia lagi panen intimidasi dan teror, bahkan jurnalis. Kita hanya geleng-geleng kepala menyaksikan ketidakenakan soal pembubaran paksa para pegiat di PWF 2024.
Rupanya kekerasan tidak main-main. "Bahkan melakukan kekerasan fisik kepada beberapa peserta forum," kata Reza Sahib selaku Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA). Diakui, PWF 2024 sebagai forum masyarakat sipil bertujuan untuk mengkritisi privatisasi air sekaligus mengupayakan pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat.Â
Kita jadi ingat, di situ terbagi antara hak untuk kesejahteraan dan hak untuk keamanan.
Laporan lain muncul, diantaranya jurnalis diperlakukan secara tidak layak. "Selain panitia, pembicara, dan peserta, jurnalis dilarang masuk ke Hotel Oranjje." Tidak heran, Koalisi Masyarakat Sipil dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kompak untuk menuntut pelanggaran hak kebebasan berbicara dan hak kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi diajukan tuntas.
Jika pegiat dan organisasi pemerhati air mendesak, maka jawaban dari pihak berwewenang sudah tersedia. "Dan ini masih kami dalami." Nada jawaban yang sulit berubah. Jawaban itu saja yang meluncur dari sejak dulu.
***
Setelah terpicu dengan kasus pembubaran paksa PWF, di Bali, kita dibuat lebih segar jika aksi tuntunan terhadap agenda WWF terdapat perbandingan di tempat lain. Tidak ada salahnya kita melihat dari arah dan persfektif yang lain. Hal ini dimaksudkan agar kita terbebas dari prasangka, yang bisa menyemprot "masuk angin" di kepala kita.
Marilah kita mencoba telisik kecil-kecilan seputar jejak-jejak sorotan atau protes PWF (People's Water Forum) terhadap perhelatan WWF (World Water Forum), di beberapa negara! Katakanlah, kita mengambil dua sampel kasus eksploitasi dan privatisasi air yang diprotes oleh pegiat air dan lingkungan hidup saat ajang WWF terjadi dalam dekade sebelumnya.
Pada tahun 2006, berlangsung protes atas agenda World Water Forum, di Mexico City. Apa tuntutan, dan slogannya? Ia tidak lain: "Air adalah untuk Rakyat." Produksi air, air, dan air untuk semua.
Sebuah barisan para pegiat air dan lingkungan dilengkapi dengan spanduk, yang berbunyi dalam bahasa Spanyol: "El Aqua Es Peublo" (Air adalah milik Rakyat).
Disaksikan oleh banyak orang sembari hestek Hari Air Sedunia. "Saya merayakan upaya masyarakat di seluruh dunia untuk mempertahankan air mereka yang berharga dari keuntungan perusahaan."Â
Dari curhatan seseorang ini saja di Kota Meksiko tersirat suatu ekspresi yang tidak memuaskan terhadap perlakuan perusahaan dalam mengambil keuntungan di balik sumberdaya air.Â
Di sana, air dijadikan sarana eksploitasi demi perut dan kantong para bos perusahaan. Mohon, kiranya air untuk rakyat. Sudah harta melimpah, kedudukan melejit hingga fasilitas serba enteng, eh air pun ingin dikuasai.
Apa nilainya hak milik air di tangan perusahaan dibandingkan dengan komitmen global soal ketahanan air?Â
Bagaimana dengan hidup sebatang kara dari para gepeng, gelandangan dan pengemis. Belum lagi potret sehari-hari dari pemulung, yang bukan saja soal sanitasi, juga kelelahan karena kekurangan air dan asupan gizi yang tergerus.
Diperkirakan pada tahun 2030, di tengah banyaknya orang menjangkau kebutuhan air dengan dukungan biaya hidup lumayan besar, maka mereka akan menjadi bagian dari permintaan air tawar global yang melebihi pasokan sebesar 40 persen. Gaya hidup boros air akan berdampak pada kekurangan air minum yang dikelola secara aman, yang diperkirakan ada 1,6 milyar orang akan merasakannya.
Bank Dunia memang berinvestasi dalam pengelolaan air karena ia sudah mengantongi daftar kebutuhan 4 milyar orang tinggal di daerah yang kekurangan air.
Meskipun lebih bahagia dari warga Finlandia dan beberapa negara Skandinavia, orang-orang miskin di negara-negara berkembang terpaksa memenuhi asupan pangan sekurangnya 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Tetapi, mereka juga harus memenuhi kebutuhan rumah, air, sanitasi, pakaian, listrik, dan kebutuhan pokok lainnya.Â
Pangan atau kalori tanpa air membuat kita kedodoran. Untuk menyuapi anak-anak miskin tidak hanya perut, juga air yang bersih dan sehat turut melancarkan proses pencernaan dalam tubuh.
Memang betul, merahi kebahagian jauh lebih repot daripada penderitaan. Sesuap nasi atau sepotong roti tidak cukup untuk membungkam penderitaan.Â
Bagi kaum Epikurian dan Utilitarian sudah terpatri dalam benaknya, bahwa kebahagian adalah hilangnya rasa sakit. Apa juga gunanya pangan lebih dari cukup dinikmati tanpa ketahanan air yang bersih dan sehat.
Menahan rasa lapar seiring menahan rasa haus karena air belum membasahi kerongkongan. Alangkah naifnya kebahagian jika air tidak terpenuhi dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian halnya WWF 2018, di Brazil mirip dengan WWF 2024, di Bali, Indonesia tidak luput dari protes para pegiat lingkungan terhadap privatisasi air.Â
Kita tahu, air menciptakan rantai ketergantungan manusia dan bumi. Air juga membuat kecipratan hidup dalam kebahagian. Tanda kebahagian tidak dipisahkan dengan air.
Temuan saat ini tentang pentingnya air dalam kehidupan yang diselingi dengan krisis air, sehingga air dinilai sebagai biang dari 10 peristiwa iklim yang berhubungan dengan air. Anda mungkin dan saya pernah menyaksikan bagaimana susahnya orang mengangkut air dari kejauhan tatkala terjadi musim kemarau berkepanjangan. Menyangkut bencana banjir itu lain lagi ceritanya.
Ada lagi tantangan yang kita hadapi ke depan membuat kita termenung. Tantangan masa depan sedikit diiringi rasa was-was mengintai kita sebagaimana kebahagian ingin dikejar oleh orang masih membutuhkan air. Apa itu?
Diperkirakan pada tahun 2050, sekitar 3,2 milyar orang akan dilanda kelangkaan air yang gawat. Tentu saja, kelangkaan air yang parah itu tidak pukul rata berlaku di seantero bumi.
Kemungkinan-kemungkinan langkahnya air akan menimpa di luar negara Ghana, Liberia, dan Sierra Leone, seperti Timor Leste dan Indonesia.
Dari pemihakan yang jernih, sejenis air dari mata air atau air dari gunung membuat pegiat air untuk rakyat ingin berbagai suka duka di antara sesama. Satu diantaranya dengan jalan protes yang membangun atas agenda WWF yang spektakuler. Saatnya kita menyebarkan kebahagian, diantaranya berbagi air bersih dan sehat untuk semua.
Perlu diingat, selama ini pegiat air untuk rakyat nampak tidak mengatasnamakan sebagai Kiri Sosial. Mereka juga tidak berkoar-koar sebagai anti-kapitalis global apalagi pro-perjuangan kelas sosial konservatif dalam kaitannya dengan kritik atas privatisasi dan eksploitasi air secara berlebihan. Kita yakin, jika pegiat air untuk rakyat ingin menyebarkan kebahagian sesama, bukan untuk mengubur impian masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H