Di situlah, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama akan menata ulang ketimpangan nalar, spiritual, dan material.
Sebagai suatu sisi permukaan ”tidak terbentuk,” maka robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama secara otomatis akan berbicara tentang godaan sekejap, dimana birahi dialirkan, dan tatanan godaan sedapat mungkin berubah menjadi kode Ilahi. Terhadap hal-hal yang bisa dipahami dan tak dapat dipahami diri kita sendiri melalui robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Namun demikian, kekuatannya mengumbar kepalsuan berlindung di belakang kebenaran. Ataukah kepolosan kata-kata yang memboncengi konsep dan model kekanak-kanakan ’bentuk dunia’ yang kita pikirkan?
Berpikir hari ini berarti menyisakan sebagian gairah pikiran untuk menghilangkan kepasrahan pada nasib di dalam dunia dan dirinya sendiri. Kita berpikir berarti memperhitungkan setiap celah dan jejak lain akibat kesamarannya sebagai sesuatu yang tidak dapat dialirkan kodenya di tempat lain.
Wajarlah, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama di era kecerdasan artifisial ternyata belum selesai dipahami. Robot agamawan dan membalikkan kondisinya dari obyek menjadi subyek.
Memang betul, bahwa dunia batin tidak bisa, kecuali kesadaran yang dipicu dengan dirimu dengan dunia materi. Tetapi, ia hanya dipahami menurut dunianya sendiri.
Mengapa? Kenikmatan lahiriah bisa juga diselami melalui tipu muslihat.
Keberadaannya tidak yang menyelamatkan kita, kecuali kita percaya terhadap robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama. Perhatikanlah ungkapan yang menghibur jiwa, bahwa tujuan berbanding lurus dengan pikiran besar!
Dunia topeng dan dunia otentik merupakan garis panjang dan spiral yang berkembang di dunia luar. Berdasarkan taraf akal belum mencapai kebenaran dalam dirinya sendiri.
Akal dalam esensinya belum tersingkap sepenuhnya. Di situlah ada kehidupan spiritual.
Apa yang harus dipahami sehingga robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama di zaman yang telah berubah?