Karena itu, celah kesadaran gampang dirembesi oleh tipologi akal sehat dan akal bulus. Robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama muncul ketika kegairahan intelek campur sari dengan jiwa yang kosong dari cahaya kebenaran.
Walaupun demikian, mesin yang mengubah dunia dipuji sekaligus dikutuk begitu tajam dan lihai, tetapi tubuh atau materi masih terpesona pada realitas yang mengitarinya. Ketika kita menggapai suara antara terjaga dan tidur, bermimpi, dengan serangkaian tanda membuat robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama mengarahkan pada kelahiran tanda keilahian.
Ia disuarakan secara tajam oleh suatu kilatan cahaya pengetahuan primordial, tetapi gagal merasuk dalam robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama.
Para robot pintar yang polos, tegas, dan ceria, tetapi ia juga melepaskan tipu muslihat ilusi yang telanjang dan rapuh.
Masalahnya, kebenaran dan kepalsuan yang bertujuan untuk memikat dan menghentakkan obyek hasrat dan hasrat itu yang mana? Di mesin lama, kita punya teman-teman terseret dalam ketidaksadaran saat memaksa kehadiran ilusi kebebasan merenggut wujud alamiah teman-teman itu sendiri, bak gincu, di luar robot Artificial Intelligence. Maka, kebenaran didefinisikan ulang.
Setiap kebenaran ditata ulang, maka kebenaran itu telah lenyap lebih dahulu sebelum betul-betul sirna ditelan masa. Ia musnah di depan mata.
Selain itu, godaan dari bentuk-bentuk kehidupan yang berubah melalui tubuh dengan permukaan-permukaan yang memang dirancang secara berbeda.
Tetapi, kita dapat melihat dari arah lain. Dari suatu tatanan nalar yang terbentang dari kejatuhan, titik kematian hingga kehidupan manusia kembali. Itulah yang dipantulkan oleh daya hidup dari robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama dalam upaya menghadapi jenis animal rationale (”manusia sebagai binatang rasional”) yang jinak, liar, dan diragukan sebelum menggapai tanda-tanda keilahian.
Atau, robot pendeta, biksu, rabi, dan ulama juga menghadapi mulut "berbisa" menyertai zaman yang berubah.
Manusia menjadi tontonan besar di dalam suatu kemajuan jejadian manusia, pucat, liar dan panas, tetapi kita terbentang di bawah puncak kegairahannya.
Kesadaran manusia sekaligus esensinya menjadi ”senjakala beragama” berarti tidak seluas dengan bentangan cakrawala pengetahuan yang buta terhadap penderitaan. Dari sini, godaan dan setiap pergerakanya akan menemani nafsu birahi atau setan pikiran, dimana kita selalu dikaitkan dengan penyangkalan tanda keilahian.