Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Para Korban Kecanduan Pornografi

29 Februari 2024   22:37 Diperbarui: 9 Mei 2024   07:39 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ponsel berlatar tontonan dewasa (Sumber gambar: kompas.com)

Di ruang kelas berlangsung obrolan tentang pelajaran, berjudul: "Indahnya Membangun Mahligai Rumah Tangga." Seorang guru menjelaskan apa sih itu pernikahan menurut pandangan agama. 

Inilah pertanyaan ibu guru. Apa itu pernikahan? Ikatan sah antara laki-laki dan perempuan secara agama. Tiba-tiba ada celetukan, "sudah bisa wig-wig," bu! Begitulah jawaban siswa terlalu polos dari salah satu sekolah menengah atas.

Yang menjawab dari siswa laki-laki. Berharap ada pendidikan seks di usia remaja, malah muncul jawaban gaspoll atau oke gas terhadap hal-hal yang dulunya masih tabu diobrolkan. 

Kini, hal-hal tabu itu sudah seenaknya menjadi bahan gunjingan alias gosip ria. Tanpa peduli di ruang kelas atau bukan, obrolan seputar pornografi atau seksualitas sudah dianggap hal biasa.

Mendengar langsung cerita singkat dari sosok guru (harap maklum, ibu guru itu adalah ibundanya anak-anak. Saya tertawa sendiri), maka saya seakan menerima paparan materi tentang gambaran kondisi seksual dari siswa. 

Kalau hitung-hitungan tanpa data statistik, berapa persen siswa sekolah menengah yang sudah pernah nonton video porno? Berapa persen siswa sekolah menengah lewat jalur offline dan online? Kalau diblokir, lewat jalur manakah siswa sekolah menengah mencicipi video porno? 

Sebetulnya seabrek pertanyaan. Saya kira, bunyi pertanyaan ini sudah cukup bahwa ada gambaran awal perilaku seksual dari siswa sekolah menengah lewat video porno dan media lainnya.

Terutama orang tua sudah mulai gusar. Disangkanya bermasa bodoh dan ogah-ogahan dengan kasus anak sekolah yang terlibat gim onlen berkonten porno, padahal orang tua gelisah bukan kepalang.

***

Siswa berangkat ke sekolah sebelum fajar menyingsing, sebelum terbit sang surya dan pulang tembus sore demi mengejar bonus kurikulum 13 atau kurikulum merdeka. Siswa sekolah menengah nyaris setiap hari dijejali tugas plus PR. Di antara siswa ada berseloroh. 

“Memangnya lu pemegang rekor tertinggi lembur di rumah,” nyentilnya ringan. Untuk seterusnya, tidak ada hubungan antara kurikulum merdeka dan obrolan siswa nampaknya bakal heboh lewat chat di WhatApps. Saya sebetulnya jadi kepo.

Apa konten obrolan tidak terduga sebelumnya? Kita tidak tahu persis apa yang terjadi. Cek per cek, ternyata ada sesuatu di luar jalur dan salah jalan oknum siswa sekolah menengah karena pengaruh lingkungan. 

Maaf pak! Ini bukan pengaruh pak kepala lingkungan. Yang sahih adalah pengaruh lingkungan jagat medsos atau situs internet.

Di hari yang sama, saya coba mengintip-intip apa konten berita onlen. Aha, sebuah japrikan hasil obrolan antara penjual video porno anak-anak dan oknum siswa lewat chat WA. Dari hasil intipan konten WA, jual beli video porno juga lewat telegram sudah dimiliki oleh siswa, anak sekolah menengah.

Setelah hilangnya kepuasan di luar kelas sekolah, penjualan video porno bak "pasar gelap" untuk membangkitkan kembali godaan siswa remaja di tingkat sekolah menengah atas. Sebuah kebangkitan seksual yang memalukan, yang perlu ditangani secara terpadu. Apa yang bisa sekolah nilai dari kecolongan pendidikan seks?

Bagi siswa yang terlibat dalam jual beli video porno tidak ada sangkut pautnya dengan pasar video porno, yang berseliweran di jagat maya atau medsos. Mereka anak remaja tidak mau tahu apa dampaknya. Yang siswa sekolah menengah sudah tersihir dan kecanduan di tingkat serius.

Sudah bukan batas yang harus dilarang bagi siswa sekolah menengah untuk mengenal siapa diri mereka sebenarnya. Mereka harus keluar dari kungkungan birahi ke arah hubungan seksual yang sah. 

Anak sekolah menengah yang sudah akil baligh perlu mengelola pembebanan hukuman untuk tidak terjerumus kedalam pelanggaran atau penyimpangan seksual.

Para guru sekolah dan orang tua siswa tidak perlu tergesa-gesa soal siapa yang memenangkan permainan video porno yang disenangi oleh siswa dalan kasus sekolah menengah. Makin dibebani bayangan permainan video porno, makin sulit menemukan jalan keluar bagi siswa yang berada pada taraf kecanduan. Apa alasannya?

Siswa atau mereka sebagai anak remaja membeli video porno dari penjual tidak pernah diketahui dari mana asal dan rujukannya. Ia muncul begitu saja, sekalipun video porno memerlukan segmen pasar yang betul-betul laris diterima oleh kalangan anak-anak remaja seusia siswa sekolah menengah atas, misalnya. Video porno mengundang rangsangan dan tantangan hingga taruhan tersendiri.

Apa rangsangannya bagi siswa sekolah menengah? Sekali melihat bagian-bagian organ seksual dari lawan jenisnya akan muncrat sampai di ubun-ubun. Proses rangsangan seksual siswa sekolah menengah saat menyimak film atau video porno serupa dengan orang dewasa. 

Tidak ada lagi batas antara remaja dan orang tua atau usia dewasa dalam menjelajahi tubuh yang dulunya larangan menjadi sesuatu wujud alamiah yang terseksualkan. Apalagi siswa sekolah sudah nonton video porno sebagai sesuatu yang alamiah di balik hasrat seksualnya.

Kendatipun siswa tidak pernah membeli video porno, mereka mengalihkan perhatiannya pada sesuatu wujud di luar proses pembelajaran sekolah, yang kadangkala membosankan. 

Siswa sekolah menengah dan anak remaja secara umum tidak membutuhkan permainan harga gambar porno karena sifat polosnya mereduksi permainan video.

Hanya dengan modal 50 ribu rupiah, seorang siswa sudah bisa mengakses pornografi anak-anak. Dari hasil jual beli dengan harga yang sama tersebut, maka video porno anak-anak sudah menggondol 441 video porno anak-anak. Wow! Fantastis! Kita juga bisa bayangkan bagaimana dengan harga video porno yang lebih "wah" dan lebih mahal lagi.

Yang rentan justeru terletak pada permainan pornografi, bukan dari kecanduannya. Kita pikir ada korban? Saat penjual meyakinkan pembeli dari siswa tidak pernah mengatakan barangnya tidak ada.

Satu sisi, penjual memainkan video porno ke calon pembeli, ujung-ujungnya keuntungan yang dikejar berubah menjadi ilusi. Begitulah ilusi bekerja di dunianya sendirinya. Ilusinya dimana?  

Peredaran video porno anak-anak sudah terbongkar oleh polisi. Video dan foto porno ditemukan oleh penyidik. Penjualan video porno anak-anak sesaat, kejahatan terkenang seumur hidup. Itulah ilusi.

Di sisi lain, jual beli video porno anak-anak berbeda dengan harga beli 2 dapat 1 layaknya orang yang doyan nge-mall. Ia bukan diskon-diskonan saat jual beli video porno di pasar terbuka. 

Tidak heran, jual beli dilakukan di pasar gelap. Entah itu melalui aplikasi perpesanan, "dark web," atau medsos dengan grup tertutup terjalin jual beli video porno.

Cukup pesan berapa banyak video porno, maka anak sekolahan di jenjang pendidikan menengah sudah bisa mendapatkan barangnya. "Aman gak nih?" Itulah rasa was-was dari calon pembeli. Yang penting, dilarang bisik-bisik tetangga. Nanti ketahuan, heboh jadinya!

Bagi anak remaja atau siswa sekolah menengah dalam mencari siapa dirinya, bukan untuk memainkan pornografi agar mendapatkan kepuasannya. Mereka mulai dari iseng-iseng, akhirnya mendapatkan penyaluran seksual yang belum matang. 

Satu contoh saja. Oknum siswa sekolah menengah ingin memuaskan bukan dengan gambar porno, melainkan melalui pintu transaksi jual beli video porno.

Siswa atau remaja kepincut terhadap barang yang sudah dikenalnya melalui gambar porno, yang tersembunyi di balik fantasi berahi. Satu-satunya keberanian seksual dari siswa sekolah menengah atau anak remaja yang sudah puber adalah jual beli video porno. 

Sekali lagi, siswa sekolah menengah karena polosnya tidak mau tahu terlarang atau legal dalam transaksi pasar video porno anak-anak. Siswa sekolah menengah baru mengalami kenikmatan kecil dari video porno. 

Mereka masih ada jarak dengan bunyi desahan, erangan, dan adegan syur. Siswa sekolah menengah atau anak remaja tidak nakal dan bukan korban jual beli video porno.

Tetapi, mereka korban dari ketidakterusterangan seksual saat usia remaja sedang mengalami rangsangan dan tantangan dalam dirinya sendiri. Dunia pendidikan sisa membuka tabir kegelapan yang sebetulnya bukan dari video porno, melainkan datang dari kealpaan untuk memahami siapa dirinya dan siapa yang berada di sekitarnya. Tentu dalam hal ini, faktor orang tua dan lingkungannya.

Hemat saya, yang menjadi korban bukan dari siswa sekolah menengah atau anak remaja, melainkan pembuat dan penjual video porno anak-anak. Saya yakin, pembuat dan penjualnya yang terjerumus dalam kejahatan kreatif. Andaikata tidak ada video porno mustahil terjadi delapan anak sebagai sasaran pemuasan seksual jaringan internasional.

Jangankan dunia luar nyaris tanpa batas, sedangkan lingkungan siswa sekolah menengah saja belum kenal luas. Mengurus diri siswa saja sudah repot, apalagi tergila-gila dengan hal-hal yang menipu diri sendiri.

Jadi, apa yang bisa kita katakan. Kejahatan kreatif lewat pornografi memakan korban dirinya sendiri. Sebagaimana bukan dandanan seksi si fulan, melainkan otak mesum Anda. 

Begitu pula, bukan siswa sekolah menengah atas sebagai korban pornografi, kecuali korban kecabulan yang diciptakan oleh video porno menimpa pembuat dan penjual video porno itu sendiri. Video porno menelan korban dari obyek nyatanya sendiri. 

Pembuat dan penjual adalah korban dari dunia nyata melalui video porno. Dari tamatnya ilusi tanpa batas dengan dunia nyata pornografi melahap korban dirinya sendiri. Waspadalah! Kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun