Anak sekolah menengah yang sudah akil baligh perlu mengelola pembebanan hukuman untuk tidak terjerumus kedalam pelanggaran atau penyimpangan seksual.
Para guru sekolah dan orang tua siswa tidak perlu tergesa-gesa soal siapa yang memenangkan permainan video porno yang disenangi oleh siswa dalan kasus sekolah menengah. Makin dibebani bayangan permainan video porno, makin sulit menemukan jalan keluar bagi siswa yang berada pada taraf kecanduan.
Apa alasannya?
Siswa atau mereka sebagai anak remaja membeli video porno dari penjual tidak pernah diketahui dari mana asal dan rujukannya. Ia muncul begitu saja, sekalipun video porno memerlukan segmen pasar yang betul-betul laris diterima oleh kalangan anak-anak remaja seusia siswa sekolah menengah atas, misalnya. Video porno mengundang rangsangan dan tantangan hingga taruhan tersendiri.
Apa rangsangannya bagi siswa sekolah menengah? Sekali melihat bagian-bagian organ seksual dari lawan jenisnya akan muncrat sampai di ubun-ubun.
Proses rangsangan seksual siswa sekolah menengah saat menyimak film atau video porno serupa dengan orang dewasa.
Tidak ada lagi batas antara remaja dan orang tua atau usia dewasa dalam menjelajahi tubuh yang dulunya larangan menjadi sesuatu wujud alamiah yang terseksualkan. Apalagi siswa sekolah sudah nonton video porno sebagai sesuatu yang alamiah di balik hasrat seksualnya.
Kendatipun siswa tidak pernah membeli video porno, mereka mengalihkan perhatiannya pada sesuatu wujud di luar proses pembelajaran sekolah, yang kadangkala membosankan.
Siswa sekolah menengah dan anak remaja secara umum tidak membutuhkan permainan harga gambar porno karena sifat polosnya mereduksi permainan video.
Hanya dengan modal 50 ribu rupiah, seorang siswa sudah bisa mengakses pornografi anak-anak. Dari hasil jual beli dengan harga yang sama tersebut, maka video porno anak-anak sudah menggondol 441 video porno anak-anak.
Wow! Fantastis!