Lain halnya dengan komentar seputar calon presiden. Kita sudah tahu, seabrek postingan ujaran, plesetan, video, dan berita tidak sedap yang lain menggebuk Prabowo Subianto. Saya tidak tahu, serangan itu dari buzzer atau dari lawan politiknya. Saya pikir ada saatnya dalam keadaan panas dan ada saatnya lewat begitu saja. Ia akan buyar dengan sendirinya.
***
Di luar sana, memang betul sudah tidak ada teriakan perang layaknya di zaman besi. Prabowo menirukan teriakan perang Suku Dayak karena terkesan saat masa bertugas di dunia militer. Setiap orang punya kenangan manis dan pahit.Â
Bagaimanapun juga, seseorang pernah bertugas sebagai prajurit, bahkan pernah memimpin satu pasukan perang sulit untuk dilupakan. Alangkah membekasnya dalam ingatan Prabowo saat meniru teriakan perang.
Kisah nyata yang dialaminya diangkatnya kembali dalam safari politik atau dalam tahapan kampanye. Prabowo bercerita seraya kaki, tangan, kepala, mata, dan anggota tubuhnya yang lain di Cafe itu. Ada ratusan orang menyaksikan di sana. Â
Terlebih jutaan pasang mata sedang menyaksikan kedua paslon, capres dan cawapres, Prabowo-Gibran. Kita sadar, tidak selayaknya Prabowo membuang kenangan tentang teriakan perang bertalu-talu.
Lalu, jika Prabowo meniru teriakan perang, maka apakah secara otomatis dia perhitungkan untuk memenangkan perang dalam pengertian bakal menang di pemilihan presiden? Jawabannya jelas berbeda antara orang meniru teriakan perang dan orang yang tidak pernah mengalami masa peperangan. Teriakan perang tidak ada hubungannya dengan hitung-hitungan kemenangan politik. Prabowo hanya mengucapkan tanda terima kasih terhadap sukarelawan Dayak yang telah melatih pasukannya. Yang paling berkesan dari pelatihan pasukan perangnya adalah teriakan perang tanpa lelucon.
Lagi pula teriakan perang bukan hanya di suku-suku yang sekarang mendiami Indonesia. Tetapi juga warisan dari bangsa-bangsa lain sebelum masehi. Kita bayangkan tiruan teriakan perang berulang di era digital, era medsos. Lihatlah pada alat peraga kampanye, dan di media lainnya nampak tertulis: "Menang Satu Putaran," di Pilpres untuk paslon Prabowo-Gibran! Kata-kata di setiap tempat menjadi penjelmaan dari teriakan perang. Saya kira itu sebagai bagian dari konteks yang berbeda. Teriakan perang dalam versi lain di era perang proxy. Perang di dunia maya saja berlaku bagi teriakan perang dalam versi baru dan lebih kreatif.
Lebih jauh ke belakang, di masa Yunani atau Romawi kuno. Teriakan perang diajarkan kepada pasukan mereka.
Andaikata teriakan perang ala Romawi merasuk ke Prabowo akan lain ceritanya. Roma Victrix! (Pemenang Romawi, Romawi menang!). Teriakan perang tersebut berganti menjadi Prabowo Victrix, Prabowo Menang! Yei hou! Yei hou! Ia buatan lokal sebagai teriakan perang sejauh ini belum diketahui apa maknanya. Jadi, itu bukan substansi. Apa substansinya?
Jika saya ditanya soal ada minat melihat Prabowo di berita headline di koran dan medsos, maka saya menjawabnya ingin menyimaknya. Saya ingin mengulangi untuk menonton Prabowo lewat layar ponsel atau di kanal YouTube. Teriakan perang berarti Prabowo Menang, Prabowo Victrix! Paling tidak, Prabowo ingin membakar semangat para pendukung, tim, dan relawan pemenangan maupun memberikan sinyal pada lawan politik untuk bertarung tanpa memfitnah, mengejek hingga menjelekkan lawan politik.