Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teriakan Perang

21 Januari 2024   22:00 Diperbarui: 29 Januari 2024   05:34 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Capres Prabowo Subianto (Sumber gambar: kompas.tv)

Lain tempat, lain gaya bicara. Berbeda latar belakang, berbeda isi komunikasi politik. Itu yang dilakukan oleh Calon Presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto. Calon presiden lainnya juga demikian, Prabowo berada di tengah kerumunan massa. Pilihan gaya komunikasi politik calon presiden sudah cukup manjur dan jempolan. Mengapa?

Prabowo tahu audiens. Siapa audiensnya? Prabowo terlalu "imut" untuk berkoar-koar tentang masa depan melulu, yang belepotan dengan soal masa lalu.

Kelak, dua masa itu akan bertemu antara kerumunan dan jurus plus-plusan, gratisan, dan sesuatu yang baru dari calon presiden. Belum lagi, orang yang ingin pindah pilihan dan hal itu lumrah. Tetapi, cuma teriakan perang Prabowo di hadapan barisan pendukungnya. Karena itu, teriakan perang nampak mengambang di hadapan kerumunan massa. Yang dibutuhkan teriakan perang itu di hadapan barisan "pasukan."

Usai barisan terbentuk, akhirnya teriakan perang berbanding terbalik di antara koar-koar tentang gratisan, keberlanjutan, dan di antara keduanya. Nyatanya, orang sudah pindah dukungan melebihi kerumunan karena sudah melihat ada gejala paslon presiden dan calon wakil presiden yang bakal menang. Kita sadar soal calon presiden, Prabowo yang bergerak dari kerumunan ke barisan.

Apa ada efek barisan? Pertama, awalnya, kerumunan yang berjubel dan berdesak-desakan menghampiri calon presiden mereka. Kesempatan yang ditunggu-tunggu mungkin sudah lama, sehingga orang-orang bisa bersalaman dan lempar senyum pada Prabowo. Calon presiden pun spontan membalasnya. Seseorang begitu gercepnya berselfi ria dengan sang calon presidennya. Kedua, elektabilitas Prabowo ikut menanjak. Rerata lembaga survei merilis Prabowo unggul atas calon presiden lainnya jelang kurang dari sebulan pencoblosan.

Kedua alasan tersebut sulit mengubur mimpi Prabowo. Ditambah dengan penampilan di sana nampak lebih dominan kostum seragam berwarna merah. Warnanya jauh lebih menonjol daripada baju warna biru muda dari Prabowo. Pemandangan itu tidak buyar hingga sebelum dan setelah kegiatan berlangsung, di tempat yang telah disediakan oleh tuan rumah.

Saya menonton potongan video pidato politik Prabowo Subianto dengan penuh "khusyu," yang berdurasi selama tiga menit lebih. Saya mencoba menyimak ulang apa kata-kata Prabowo, di menit pertama. Suara di video itu rupanya langsung dari pendahuluan pidatonya. Yei hou! Yei hou! Dua kali diserukan oleh Prabowo. Yang dibelakangnya ada pria nampak berpakaian khas suku Dayak. Dia berkalungkan seperti manik-manik.

Agar menjaga identitas Suku Dayak, sebagian kecil yang hadir mengenakan pakaian khas. Dilengkapi dengan penutup kepala bercorak etnis menambah semangat para peserta kegiatan politik.

Mereka berkostum seragam, merah warnanya tidak berarti mencopot semua identitas Suku Dayak. Diakui, sosok Prabowo sudah khatam dengan kebinekaan. Dia sosok pluralis, yang tidak sepi dari isu.

Di sebelahnya juga, dua pria, berkostum warna merah menyala. Begitu pula yang lain nampak berdiri dengan roman wajah ceria. Dari titik ini, ada sepenggal ucapan Prabowo. "Makanya saya masih ingat, tadi itu teriakan perang," tutur Prabowo. Serentak disambut oleh para hadirin dengan bunyi teriakan yang sama. 

Saya agak kurang jelas mendengar, apa bunyi dan apa arti ucapannya saat Prabowo berpidato di Cafe Kluwi, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu pagi (20/1/2024). Dia memenuhi undangan silaturahmi dengan Pasukan Merah Tariu Borneo Bangkule Rajak (TBBR). "Pantesan warna baju merah menenggelamkan warna baju lainnya," gumanku membatin.

Untuk pertama kali Prabowo mengunjungi Suku Dayak di Kalimantan. Suasana seperti tidak biasanya di pemilihan presiden, tahun 2019. Bagaimana politik berbicara pada realitas, yang sering membuat lawan politik dan pihak lain terkecoh.

Coba kita ingat bagaimana Prabowo dianggap sebagai "bayangan" Jokowi. Kita tahu persis, Jokowi sebagai petahana yang begitu kuat dan memelosok pengaruhnya. Dia memiliki jaringan kerja mulai dari bawah, yang ikatan psikologisnya sulit diputuskan. Jaringan kerja sosio-politik Jokowi sudah disemaikan sejak periode pertama sebagai presiden.

Bagaimana pula Prabowo dimainkan dalam permainan politik ketika dirinya sekadar efek samping dari hasil kompromi di tingkat elite untuk mengimbangi kekuatan Jokowi yang terlanjur menjamur. Buktinya, Jokowi bisa terpilih kembali menjadi presiden untuk periode kedua. Disamping itu, Prabowo digiring dalam kemiripan cheerleaders, semacam "pemandu sorak" politik berhadapan dengan Jokowi. Cuma bahasa yang tidak kasat mata dan lebih elok jika dikatakan bahwa Prabowo hadir sebagai duet-duetan dengan Jokowi belaka. 

Kata lain, tidak enak jika hanya satu pasangan saja, yakni Jokowi-Ma'ruf Amin dalam pemilihan presiden. Lawan tanding yang dimainkan oleh Prabowo tidak lebih kuat daripada Jokowi. Momen itu, malah Jokowi terlalu kuat bagi siapa saja sebagai pesaingnya.

Sekarang, massa Prabowers adalah massa Jokowi. Dalam istilah anak muda, Jokowers hanyalah sebelas dua belas dengan Prabowers. Keduanya memang tidak bisa dibandingkan antara satu dengan yang lain.

Jokowi sudah dua periode menjadi presiden. Prabowo belum dan tanpa mendahului takdir, dia sedang menuju nomor satu di republik ini. Tidak dipungkiri, keduanya menjurus ke setali tiga uang. Terlepas apakah Prabowo berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi.

Tetapi, itulah realitas politik yang kita hadapi. Bahwa efek Jokowi turut mendongkrak elektabilitas Prabowo justeru dikaitkan dengan kaburnya urusan negara dan urusan keluarga. Begitulah cerita nyata yang mengalir di medsos dan khalayak ramai. Jika dikembangkan logika ini, muncul satu pertanyaan. Apakah Prabowo akan menjadi "boneka mainan" dari Jokowi? Hal itu punya cerita lain. Saya kira, sederet pertanyaan yang mencuat. Lantas, apa yang kita inginkan pada Prabowo? Yang sulit kita terka dan memastikan apa yang akan diperankan oleh Prabowo, jika sekiranya dia terpilih sebagai presiden. Sudah tentu bermacam-macam rupa yang tertancap dalam kepala mengenai sepak terjangnya.

Kita tidak bermaksud mengungkit-ungit masa lalu, yang secara sadar atau tanpa sadar Prabowo begitu terbuka untuk bercerita tentang masa lalu, seperti cerita nostalgik tatkala masih aktif sebagai prajurit. Betapa cerita singkat pengalamannya di Timor-Timor dibantu oleh sukarelawan Suku Dayak dalam olah teriakan perang. 

Prabowo punya jejak-jejak perjuangan dengan teriakan perang. Di hari itu, tiruan yang sama berupa teriakan perang kembali dipekikkan, di tempat dan suasana yang berbeda.

Tanpa dinanya, saya nyaris tidak mengubris suara miring perihal Prabowo. Apalagi di tahun politik, jelas nyoblos tinggal beberapa hari lagi, 14 Pebruari 2024. Hari-hari penentuan siapa yang unggul dan menang dalam pemilihan presiden (Pilpres) bergantung berapa banyak suara dukungan pemilih pada salah satu dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Semuanya adalah hak rakyat, masyarakat luas yang memilih. 204 juta lebih yang akan menentukan siapa yang terpilih sebagai pemimpin nasional melalui Pilpres 2024.

Lain halnya dengan komentar seputar calon presiden. Kita sudah tahu, seabrek postingan ujaran, plesetan, video, dan berita tidak sedap yang lain menggebuk Prabowo Subianto. Saya tidak tahu, serangan itu dari buzzer atau dari lawan politiknya. Saya pikir ada saatnya dalam keadaan panas dan ada saatnya lewat begitu saja. Ia akan buyar dengan sendirinya.

***

Di luar sana, memang betul sudah tidak ada teriakan perang layaknya di zaman besi. Prabowo menirukan teriakan perang Suku Dayak karena terkesan saat masa bertugas di dunia militer. Setiap orang punya kenangan manis dan pahit. 

Bagaimanapun juga, seseorang pernah bertugas sebagai prajurit, bahkan pernah memimpin satu pasukan perang sulit untuk dilupakan. Alangkah membekasnya dalam ingatan Prabowo saat meniru teriakan perang.

Kisah nyata yang dialaminya diangkatnya kembali dalam safari politik atau dalam tahapan kampanye. Prabowo bercerita seraya kaki, tangan, kepala, mata, dan anggota tubuhnya yang lain di Cafe itu. Ada ratusan orang menyaksikan di sana.  

Terlebih jutaan pasang mata sedang menyaksikan kedua paslon, capres dan cawapres, Prabowo-Gibran. Kita sadar, tidak selayaknya Prabowo membuang kenangan tentang teriakan perang bertalu-talu.

Lalu, jika Prabowo meniru teriakan perang, maka apakah secara otomatis dia perhitungkan untuk memenangkan perang dalam pengertian bakal menang di pemilihan presiden? Jawabannya jelas berbeda antara orang meniru teriakan perang dan orang yang tidak pernah mengalami masa peperangan. Teriakan perang tidak ada hubungannya dengan hitung-hitungan kemenangan politik. Prabowo hanya mengucapkan tanda terima kasih terhadap sukarelawan Dayak yang telah melatih pasukannya. Yang paling berkesan dari pelatihan pasukan perangnya adalah teriakan perang tanpa lelucon.

Lagi pula teriakan perang bukan hanya di suku-suku yang sekarang mendiami Indonesia. Tetapi juga warisan dari bangsa-bangsa lain sebelum masehi. Kita bayangkan tiruan teriakan perang berulang di era digital, era medsos. Lihatlah pada alat peraga kampanye, dan di media lainnya nampak tertulis: "Menang Satu Putaran," di Pilpres untuk paslon Prabowo-Gibran! Kata-kata di setiap tempat menjadi penjelmaan dari teriakan perang. Saya kira itu sebagai bagian dari konteks yang berbeda. Teriakan perang dalam versi lain di era perang proxy. Perang di dunia maya saja berlaku bagi teriakan perang dalam versi baru dan lebih kreatif.

Lebih jauh ke belakang, di masa Yunani atau Romawi kuno. Teriakan perang diajarkan kepada pasukan mereka.

Andaikata teriakan perang ala Romawi merasuk ke Prabowo akan lain ceritanya. Roma Victrix! (Pemenang Romawi, Romawi menang!). Teriakan perang tersebut berganti menjadi Prabowo Victrix, Prabowo Menang! Yei hou! Yei hou! Ia buatan lokal sebagai teriakan perang sejauh ini belum diketahui apa maknanya. Jadi, itu bukan substansi. Apa substansinya?

Jika saya ditanya soal ada minat melihat Prabowo di berita headline di koran dan medsos, maka saya menjawabnya ingin menyimaknya. Saya ingin mengulangi untuk menonton Prabowo lewat layar ponsel atau di kanal YouTube. Teriakan perang berarti Prabowo Menang, Prabowo Victrix! Paling tidak, Prabowo ingin membakar semangat para pendukung, tim, dan relawan pemenangan maupun memberikan sinyal pada lawan politik untuk bertarung tanpa memfitnah, mengejek hingga menjelekkan lawan politik.

Sekecil apapun ucapan, tindakan, dan penampilan para calon presiden dan calon wakil presiden tidak bisa dipandang remeh. Dianggap oleh pihak lain soal mitos menang satu putaran adalah target Prabowo mustahil diselipkan dalam teriakan perang. 

Teriakan perang sebagai teriakan perang itu sendiri. Kita tidak peduli mengenai para pendukung yang ngotot untuk menang satu putaran.

Masih teriakan perang. Banyak jenis teriakan perang Romawi. Tetapi, kita ingin memodifikasi dan menafsirkan teriakan perang dalam ide dan tuntutan baru. Taruhlah misalnya, teriakan perang: Vita militaria est! (Hidup itu sendiri adalah perang!). Teriakan perang ini mesti diubah oleh Prabowo dan capres lainnya menjadi perang melawan kemiskinan, perang melawan korupsi dan nepotisme, perang melawan intoleransi, perang melawan mafia hukum, perang melawan krisis kenegarawanan, perang melawan pembajak demokrasi, perang melawan penghalang negara maju dan sejahtera, dan banyak lagi yang lain. Teriakan perang muncul dalam teriakan perang untuk menang dalam Pilpres.

Sebaliknya, saya dan Anda jangan sampai teriakan perang ibarat seseorang berteriak di ruang kosong. Jika Anda kepo sendiri, coba teriakan perang dilakukan di lapangan terbuka, di mall, dan tempat keramaian lainnya. Anda berteriak sekencang-kecangnya bisa jadi Anda dikerumuni bukan karena calon presiden. Satu langkah Anda akan diteriaki sebagai wong edan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun