Saya agak kurang jelas mendengar, apa bunyi dan apa arti ucapannya saat Prabowo berpidato di Cafe Kluwi, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu pagi (20/1/2024). Dia memenuhi undangan silaturahmi dengan Pasukan Merah Tariu Borneo Bangkule Rajak (TBBR). "Pantesan warna baju merah menenggelamkan warna baju lainnya," gumanku membatin.
Untuk pertama kali Prabowo mengunjungi Suku Dayak di Kalimantan. Suasana seperti tidak biasanya di pemilihan presiden, tahun 2019. Bagaimana politik berbicara pada realitas, yang sering membuat lawan politik dan pihak lain terkecoh.
Coba kita ingat bagaimana Prabowo dianggap sebagai "bayangan" Jokowi. Kita tahu persis, Jokowi sebagai petahana yang begitu kuat dan memelosok pengaruhnya. Dia memiliki jaringan kerja mulai dari bawah, yang ikatan psikologisnya sulit diputuskan. Jaringan kerja sosio-politik Jokowi sudah disemaikan sejak periode pertama sebagai presiden.
Bagaimana pula Prabowo dimainkan dalam permainan politik ketika dirinya sekadar efek samping dari hasil kompromi di tingkat elite untuk mengimbangi kekuatan Jokowi yang terlanjur menjamur. Buktinya, Jokowi bisa terpilih kembali menjadi presiden untuk periode kedua. Disamping itu, Prabowo digiring dalam kemiripan cheerleaders, semacam "pemandu sorak" politik berhadapan dengan Jokowi. Cuma bahasa yang tidak kasat mata dan lebih elok jika dikatakan bahwa Prabowo hadir sebagai duet-duetan dengan Jokowi belaka.Â
Kata lain, tidak enak jika hanya satu pasangan saja, yakni Jokowi-Ma'ruf Amin dalam pemilihan presiden. Lawan tanding yang dimainkan oleh Prabowo tidak lebih kuat daripada Jokowi. Momen itu, malah Jokowi terlalu kuat bagi siapa saja sebagai pesaingnya.
Sekarang, massa Prabowers adalah massa Jokowi. Dalam istilah anak muda, Jokowers hanyalah sebelas dua belas dengan Prabowers. Keduanya memang tidak bisa dibandingkan antara satu dengan yang lain.
Jokowi sudah dua periode menjadi presiden. Prabowo belum dan tanpa mendahului takdir, dia sedang menuju nomor satu di republik ini. Tidak dipungkiri, keduanya menjurus ke setali tiga uang. Terlepas apakah Prabowo berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi.
Tetapi, itulah realitas politik yang kita hadapi. Bahwa efek Jokowi turut mendongkrak elektabilitas Prabowo justeru dikaitkan dengan kaburnya urusan negara dan urusan keluarga. Begitulah cerita nyata yang mengalir di medsos dan khalayak ramai. Jika dikembangkan logika ini, muncul satu pertanyaan. Apakah Prabowo akan menjadi "boneka mainan" dari Jokowi? Hal itu punya cerita lain. Saya kira, sederet pertanyaan yang mencuat. Lantas, apa yang kita inginkan pada Prabowo? Yang sulit kita terka dan memastikan apa yang akan diperankan oleh Prabowo, jika sekiranya dia terpilih sebagai presiden. Sudah tentu bermacam-macam rupa yang tertancap dalam kepala mengenai sepak terjangnya.
Kita tidak bermaksud mengungkit-ungit masa lalu, yang secara sadar atau tanpa sadar Prabowo begitu terbuka untuk bercerita tentang masa lalu, seperti cerita nostalgik tatkala masih aktif sebagai prajurit. Betapa cerita singkat pengalamannya di Timor-Timor dibantu oleh sukarelawan Suku Dayak dalam olah teriakan perang.Â
Prabowo punya jejak-jejak perjuangan dengan teriakan perang. Di hari itu, tiruan yang sama berupa teriakan perang kembali dipekikkan, di tempat dan suasana yang berbeda.
Tanpa dinanya, saya nyaris tidak mengubris suara miring perihal Prabowo. Apalagi di tahun politik, jelas nyoblos tinggal beberapa hari lagi, 14 Pebruari 2024. Hari-hari penentuan siapa yang unggul dan menang dalam pemilihan presiden (Pilpres) bergantung berapa banyak suara dukungan pemilih pada salah satu dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Semuanya adalah hak rakyat, masyarakat luas yang memilih. 204 juta lebih yang akan menentukan siapa yang terpilih sebagai pemimpin nasional melalui Pilpres 2024.