Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kenikmatan Berujung Tersangka

12 Oktober 2023   16:25 Diperbarui: 12 Oktober 2023   17:57 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syahrul Yasin Limpo (SYL) (Sumber gambar: detik.com)

Belum sepekan berlalu, seorang profesor nge-share semacam ungkapan kearifan lokal di grup Whatsapp. Duh, keluhku! Ternyata saya sudah hapus konten ungkapan tersebut.

Untunglah, masih ingat apa komentarku sendiri. Komentar saya kurang lebih sama apa yang sudah terlanjur "nyemplung" di grup WA. Saya lihat, profesor sempat baca komentar saya. Tanpa tanggapan balik darinya.

Profesor itu bernama Bahaking Rama, sosok ilmuwan dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Profesor tersebut adalah tokoh yang berwawasan luas, bijak, dan berpegang teguh pada prinsip. Entah itu prinsip moral agama hingga prinsip tradisi lokal. Istilahnya, dia berwarna, nggak neko-neko atau plonga-plongo. Dia begitu berkarakter, dia konsisten pada pendiriaannya.

Saya tidak ngawur dan berimajinasi sekiranya profesor menjabat menteri, di kementerian "basah." Apakah profesor tahan godaan duit milyaran. Hari ini atau besok, profesor mungkin tidak terbujuk rayu duit yang berlipat-lipat. Suatu hari, dimana profesor lengah sedikit pun dan tersihir oleh cuan dalam bentuk rupiah atau dolar, maka di sanalah seseorang akan terjatuh harga dirinya. Ah, kita abaikan saja bayangan itu.

Yang membuat saya agak "geli," ketika profesor mengatakan Siri' (budaya malu dalam karakter Makassar-Bugis, Bugis-Makassar) harus ditegakkan di tengah terseretnya eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang saat itu terduga korupsi.

Ini yang saya agak panas adem tatkala menyebut kode budaya malu: "Siri'" diserempet dan 'dieksploitasi' dalam dugaan korupsi. Harga diri dan rasa malu seakan punya nilai jual tertinggi saat menghadapi perkara hukum. Mendadak saya berkomentar. Kata-kata Profesor Bahaking sungguh menyentak.

Kontennya sarat makna dan menukik tajam. Dia seakan membawa tanda kehormatan manusia agar berdiri kokoh dan kuat di atas prinsip kebenaran. Profesor memang asyik dalam menyatakan prinsip kebenaran.

Saya sadar, saya tidak gamang apalagi grasa-grusu. Secara pribadi, saya terenyuh bercampur bete abis. Mengapa bisa?

Tega-teganya SYL menyebut sebangsa "harga diri" etnis Bugis-Makassar tercedarai gara-gara proses hukum sedang berjalan. Kita tidak ngerti bagaimana bisa status terduga korupsi "diboncengi" dengan nilai Siri' atau budaya malu. Gado-gado kali! Proses hukum bercampur aduk dengan budaya malu. Apa hubungan logis antara dugaan korupsi SYL dengan harga diri? Saya nyesel lantaran pejabat negara berkilah nggak nilep di antara era pasca-kebenaran. Terlebih lagi, saat profesor "berhujjah" tentang nilai Siri' mesti diperjuangkan tatkala SYL terduga atau tersandung hukum.

Komentar lanjut saya atas Profesor Bahaking seperti ini. "Kita menanti episode berikutnya Prof. Tag terpopuler di Detik.com, misalnya. SYL unggul di urutan 1 dari 5 tag terpopuler lainnya. Urutannya, Syahrul Yasin Limpo, Gaza, Lukas Enembe, Asian Games 2023, Dini dianiaya anak anggota DPR RI." 

Saya teringat kata-kata mutiara dan paradoks. Sudah pas kata-kata bijak berbunyi "kenikmatan jangka pendek, kesengsaraan jangka panjang." Dalam beberapa hari, nama SYL mencuat bak tokoh tenar sejagad media atau media sosial.

***

Yang menjadi titik yang menantang sesungguhnya bukanlah masalah Siri' atau harga diri, melainkan sikap kesatria dan sportivitas di balik budaya malu dengan cara SYL mengakui kesalahannya di depan hukum. SYL harus berani menerima konsekuensi hukum. Dia perlu ikut proses hukum.

Penuh curiga bukan hanya dari KPK. Tetapi saya dan Anda bisa mewaspadai, jangan-jangan SYL cs malu ("malu-malu kucing," paling tidak) jika mereka korupsi. Malu diproses hukum sebagai tersangka korupsi. Mereka yang tersangka tidak lama lagi bakal menghadapi meja hijau. Begitulah kenikmatan memainkan tanda ketidakpuasan hingga akhirnya yang tersangka gigit jari. Salah sedikit mereka yang tersangka akan menghadap keluar dari jeruji bui.

Dalam pandangan kasat mata, saya menilai penggunaan kata Siri' atau budaya malu sudah salah kaprah. Ya, kita akui SYL pernah memimpin sebagai Gubernur Sulawesi Selatan selama dua periode. SYL dianggap sudah berjasa melakukan perubahan dan transformasi melalui pembangunan infrastruktur dan non fisik lainnya. Tetapi, kondisi berubah saat SYL menjabat sebagai Menteri Pertanian.

Lantas, kita menghela nafas. Kita tidak membayangkan betapa godaan seorang pejabat negara yang bertanggungjawab untuk mengelola program dan kegiatan di lingkungan Kementerian Pertanian. Jangan lupa sodara! Penduduk Indonesia masih rata-rata bermata pencaharian sebagai petani.  

Rakyat masih bergulat di sektor pertanian, bung! Yang masuk akal jika banyak alsinta (alat produksi pertanian) atau istilah saprodi (sarana produksi pertanian) yang perlu dioptimalkan penggunaannya untuk meningkatkan produksi pertanian. Padahal di era Jokowi sedang hit-nya hilirisasi komoditas unggulan. Jika sudah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berarti pihak Kementerian Pertanian sedang menari-nari di atas penderitaan petani.

Terutama petani penggarap itu identik dengan orang miskin. Coba bayangkan, bagaimana kisah pilu petani miskin berkepanjangan akibat tilep-menilep alias korupsi milyaran rupiah di Kementerian Pertanian. Ironi, bukan? Atau mungkin istilah kawan saya dulu. Daripada tikus mati di lambung sendiri, mending "garap" uang negara.

Di kesempatan lain, saya berseloroh dengan kolega. Saya sebetulnya kasihan sama SYL. Bukan apa-apa. Saat SYL berada di puncak-puncak karirnya, jabatannya yang sudah mulai moncer ternyata kantong menghadap ke atas lebih perkasa daripada Siri' atau harga diri. Kenikmatan dan godaan duit masih lebih dahsyat ketimbang budaya malu.

Kenikmatan yang meluap-luap membungkam dan mereduksi budaya malu. Itulah mengapa bangsa kita rusak mentalnya karena "budaya malu sudah mati" jika tidak dikatakan ambyar (rada-rada Nietzschean). Korupsi uang sebagai komoditas.

Setelah itu, komoditas sebagai kenikmatan. Jadi puyeng mikir istilah itu. Parahnya, nilep uang negara sebagai kenikmatan.

Budaya malu masih sebatas semboyan sejenis krisis kepercayaan. Bentuk kepercayaan apalagi jika bukan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Sebagian pejabat anggap bahwa untuk memulai kenikmatan, mereka harus menemukan konsep tentang krisis "tikus mati di lumbung sendiri" dalam definisi samar-samar dan tidak diketahui oleh publik. 

Korupsi terlampau menikam kepala. Di situlah matinya budaya malu seiring matinya nalar. Maka berjayalah dan beruntunglah kenikmatan!

***

Persoalannya tidak segampang yang kita bayangkan. Sekarang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi sudah menetapkan SYL sebagai tersangka bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono (KS), dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Muhammad Hatta (MH). (kompas.com, 11/10/2023)

Nilai nominal dugaan korupsi tiga tersangka tersebut sudah terkuak. Angkanya sudah dapat. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menyatakan, eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dan dua anak buahnya diduga menikmati uang "haram" senilai 13,9 miliar rupiah. Lebih lengkapnya begini bunyinya. "Sejauh ini yang dinikmati Syahrul bersama-sama dengan Kasdi dan Hatta sejumlah sekitar 13,9 miliar, ujar Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK. (kompas.com, 11/10/2023)

Nah, muncul pertanyaan. Jika SYL sudah tersangka, mengapa belum ditahan? Padahal Sekjen Kementan, KS sudah ditahan. Apa bedanya mantan Walikota Bima, Muhammad Lutfi sebagai tersangka resmi ditahan oleh KPK? Pertanyaan ini sekadar pertanyaan karena saya kepo dan menggelitik.

Mengapa budaya malu dan harga diri bukan sebagai tanda kenikmatan? Mengira ini pertanyaan sekelas anak-anak, tetapi tidak gampang menjawabnya. SYL cs tersangka korupsi bukan karena menanggung malu keluarga besarnya, melainkan mereka lagi ngenes (maaf bahasa Jawa, ia berarti sial). Wah, ini lebih canggih cara berpikirnya. Yang ngenes bukan karena mereka tersangka korupsi, kecuali ngenes itu gara-gara mengapa dari awal tidak nilep duit lebih banyak dan lebih banyak lagi. Ngenesnya terletak pada korupsi, bukan soal kelas super jumbo atau kelas teri. Kenikmatannya lebih tanggung.

Jika begitu jadinya, korupsi duit milyaran rupiah justeru nggak bikin ngakak. Kasus SYL yang diselipkan budaya malu membuat lebih malu-maluin. Kita tidak habis berpikir, harga diri kita dalam krisis.

Kendatipun, kita mengakui adanya krisis budaya malu setebal sepuluh jengkal, saya akan berusaha memahami apa makna dari kenikmatan untuk korupsi. Persis ketika saya sadar akan kelenyapan makna dari rasa malu di tengah kencangnya korupsi para pejabat, saya melintasi jalan pada saat lampu merah lebih ogah mendengar pluit yang ditiup polisi. Kenikmatan tidak mengenal tilang di tempat. Jika SYL cs  punya kenikmatan sebagai subyek yang berada dalam status krisis rasa malu, sejalan dengan krisis nalar.

Mereka sebagai menteri bukan karena tidak bersekolah tinggi. Sebagian mereka profesor, doktor; mereka pintar-pintar yang tergoda oleh duit. Mereka dalam kecerdikan yang disilaukan oleh kenikmatan.

Selama orang masih bernafas, selama itu pula kenikmatan ada. Apakah status tersangka korupsi yang memojokkan SYL di hadapan serangkaian pemujaan kenikmatan? Anda boleh saja menyanggah. Marilah kita menanti proses hukum selanjutnya!

Bukti-bukti hukum sudah cukup kuat untuk mengantarkan SYL cs sebagai tersangka. Di sana sini masih ada spekulasi jika puluhan milyar yang ditemukan saat rumah dinas Menteri Pertanian, SYL digeledah.

Berkenaan ada pertemuan sebelumnya antara Ketua KPK, Firli Bahuri dan SYL yang dianggap sebagai pelanggaran hukum dan akan ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian dianggap masih belum menjadi bukti kuat. Sayangnya terjadi tarik-menarik antara dugaan pemerasan KPK atas SYL dan pelanggaran etika Firli.

Atas keterangan Firli, pertemuannya dengan SYL itu sebelum dia berstatus tersangka atau berperkara. Pertemuan keduanya di lapangan tenis belum menjadikan SYL di tahap penyelidikan. Sehingga isu tentang terseretnya Firli perlahan-lahan mulai redup di hadapan hukum. Jika ada perkembangan baru dengan bukti hukum yang kuat, saya kira tidak tertutup kemungkinan pimpinan KPK akan mengarah proses hukum. Jika tidak, ada desakan atau tuntutan keras dari publik untuk memproses secara hukum bagi yang terlibat seperti Firli. Waktu akan berbicara!

Kuasa ada batasnya. Kuasa dinasti akan terjatuh. Kenikmatan tanpa akhir lewat duit yang membuat orang lupa daratan. Begitulah teater kehidupan, ada saat berkuasa, ada masa runtuh hingga tinggal kenangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun