Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi itu Belas Kasih

11 September 2023   13:59 Diperbarui: 14 September 2023   16:39 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakirah bersama suaminya Ari Maulana (Sumber gambar: Kompas.id)

Tragedi Mukirah dalam bahasa anak gaul menuju ‘nolep’, tidak ada kehidupan. Acha, acha, iya, iya. Coba kalau tetangga yang berbuat. 

Panasnya tidak ketulungan. Apa kata pihak yang 'berkuasa', pasti lebih merah padam mukanya, naik pitam untuk menyiksa wong cilik. 

Siapa yang berbuat aniaya atas nenek Wakirah yang tak berdaya, secara kasar melakukan kekerasan padanya. Andai kata berbuat aniaya pada pihak lain, yang berduit. Saya yakin, suatu kasus tragis berbeda responnya karena Wakirah bukan “orang kuat.” Dia tidak berdaya apapun. Lengkaplah sudah penderitaanya.

Atas nama hak yang bukan milik Wakirah, pihak yang kuat bisa saja main hakim sendiri. Pihak yang 'berkuasa' bisa seenaknya menyakiti Wakirah tanpa belas kasih. Nalar menjadi tumpul. Nurani mati. Biar derita Wakirah bersama suaminya tetap juga sebagai manusia. Di sini, hasrat untuk kebenaran digantikan juga sudah pupus. Yang ada hanyalah hasrat represif terhadap Wakirah. Sesungguhnya hasrat untuk kasih sayang sesama diperjuangkan.

Tetapi, Wakirah masih dipandang wong cilik. Hanya orang-orang yang terpanggil jiwanya dan masuk akal yang menolong. Hasrat untuk membantu yang tersinari cahaya yang menyebar kasih sayang pada Wakirah. Siapa yang tidak terenyuh. Siapa yang mengakui, ketika Wakirah teraniaya membuat air mata berlinang.

Dalam benak saya, Anda, dan kita ingin Komisi Nasional (Komnas) Perempuan bergerak cepat menangani kasus kekerasan atas Wakirah. 

Nyatanya, ada mungkin persoalan berat yang harus ditangani, sehingga Komnas Perempuan. Entahlah! Kita tidak tahu apakah peristiwa tragis yang menimpa Wakirah sudah tercatat sebagai pelanggaran kemanusiaan. Kita belum paham jika Wakirah sudah mendapat perlindungan sosial. Oh, mata hati yang buta!

Sepintas, tragedi Wakirah tidak sedahsyat dengan kasus warga pulau Rempang. Di sana, warganya disemprot gas air mata. Dalih pengosongan lahan atau penggusuran warga seakan-akan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kita justeru bertambah bingung dengan pulau Rempang seluas 165 Km yang digarap oleh Artha Graha Grup milik Tomy Winata. Coba bandingkan di atas lahan terdapat gubuk berukuran 1 x 10 meter. Gubuk derita itu didiami oleh Wakirah bersama suaminya. Mereka hidup bergelandangan. Mereka tuna wisma. Gubuk Wakirah digusur bukan karena proyek besar.

Gubuk dengan lahan tidak dikena konsesi puluhan tahun lamanya. Atau ia bukan lahan yang dapat izin proyek di era bos nomor satu. Wakirah cuma numpang lewat doang. Apa jadinya? Satu kisah tragis Wakirah saja tidak becus diayomi dan diselamatkan dari belenggu derita yang mencambuknya siang malam.

Tragedi Wakirah tidak tahu menahu soal lahan yang di atasnya gubuk derita akan dimulai menjadi kota wisata atau kawasan industri. 

Mimpi Wakirah amat sederhana. Dia ingin hidup layak. Dia ingin asap dapurnya mengepul. Puasa senin kamis masih jauh dari ingatannya. Rumah layak huni idamannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun