Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi itu Belas Kasih

11 September 2023   13:59 Diperbarui: 14 September 2023   16:39 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakirah bersama suaminya Ari Maulana (Sumber gambar: Kompas.id)

Awalnya, Wakirah ingin membeli kue dan ayam geprek di pedagang pasar. Eh, Wakirah ingin membayar tiba-tiba diteriaki pencuri. Kemudian, beberapa orang membuka jilbab. Dari orang yanga ikut memukul seraya mengeluarkan kata-kata kasar di tengah pasar. Nenek Wakirah hanya terdiam membisu. Dia terdiam kaku, tanpa ingat dan merasakan apapun. Tragedi Wakirah adalah tragedi dari pikiran yang kosong dan pasrah tidak bisa berbuat apa-apa. Ini kisah tragis yang sangat mendalam.

Perlakuan kejam pada Wakirah sejurus gubuk yang ditinggalinya tanpa bak penampung air. Dia menghuni gubuk reok bukan untuk membetulkan genting bocor, tetapi buat sekadar berteduh. Dinding dan lantas begitu jelas tidak terbuat dari beton atau tehel yang mengkilap. Yang terlihat oleh siapa pun secara kasat mata. Satu-satunya cara Wakirah agar bisa bebas, yaitu menikmati siraman sinar matahari di siang hari.

Wakirah masih tersingkir dari asupan gizi. Tetangga mungkin kenyang. Wakirah dan suaminya hanya mengganjal perutnya dengan tidur dan bangun dari tidur. Babakan kehidupan, dari bangun, tidur, bangun, tidur, begitu seterusnya menjadi “ayunan” sehari-hari bagi Wakirah. Di selah-selahnya, Wakirah berangkat untuk memulung. Menahan lapar merupakan cara terbaik untuk membedakan dengan kekenyangan.

Wakirah sudah menjalani pekerjaan sebagai pemulung selama tiga puluh tahun. Sebelum digusur, Wakirah bersama suaminya Ari Maulana (60) tinggal di gubuk kecil sekitar lima tahun. Boleh dikata, mereka berpindah-pindah. Mereka berkeliling jalan kaki sebagai “hobinya” untuk mengais dan mencari barang bekas alias rongsokan yang bisa menghasilkan uang. 

Pokoknya, rongsokan dan sampah bisa dijual. 25 ribu rupiah per hari itulah rata-rata penghasilan mereka sebagai pemulung. Mendadak saya hening cipta. Jari jemariku berhenti sejenak untuk menekan tuts demi tuts di layar ponsel.

Wakirah bukan warga pengungsi yang kelaparan. Dia bukan korban bencana alam. Mereka menjadi bagian dari korban tragedi kemanusiaan. Sekecil apapun skalanya, kisah mereka adalah kisah tragis. Syukurlah, Dapur Keliling Emergency Food Truck Indonesia (Dapur Keliling EFI) di Yogyakarta segera terpanggil untuk menolongnya.

Melalui kelompok peduli sesama ini, maka Wakirah tertolong dari sulitnya kebutuhan makanan. Wakirah sempat ditawarkan dengan penggalangan donasi. Tujuannya untuk membantu Wakirah dengan membuka angkringan kecil-kecilan.

Bagai disambar petir, mereka kaget lantaran gubuknya terlihat sudah digusur. Hal itu, terjadi pula kekerasan menimpa Wakirah sebelum gubuknya digusur. 

Wakirah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan psikis. Paling berat karena sulit membuat Mukirah trauma dan sok, yaitu ‘kekerasan psikis’ menimpa dirinya. Rencana untuk membuat angkringan di sekitar gubuknya seperti nasi kucing, teh, dan kopi akhirnya buyar.

Hal yang tragis juga, ketika gubuk Wakirah digusur dalam kurun waktu sepekan, nenek Wakirah jatuh sakit. Lebih terpicu oleh kekerasan psikis. Wakirah sakit demam, flu, dan batuk. Dia drop. Kini, Wakirah dan suaminya sudah menyewa satu kamar sederhana seluas 2 x 3 meter. Aduh, mengapa mereka menyewa kamar? Mengapa mereka tidak dibuatkan rumah layak huni? Begitu gumanku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun