Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi itu Belas Kasih

11 September 2023   13:59 Diperbarui: 14 September 2023   16:39 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakirah bersama suaminya Ari Maulana (Sumber gambar: Kompas.id)

Kepada tragedi yang dibangkitkan dari ujung lorong gelap muncul belas kasih. Sisi gelap kehidupan tragis yang melatih seseorang dengan rangkaian pertanyaan.

Pernahkah kita memikirkan sebuah tragedi? Jenis tragedi apa yang menimpanya? Apakah yang teraniaya dan derita sebagai tragedi?

’Yang teraniaya’ semacam kekerasan. Tubuhnya menjadi sasaran kekerasan.  Tidak sampai di situ. Yang teraniaya sedang sakit-sakitan. Lemah tak berdaya, akhirnya tergusur dari hunian yang sangat tidak layak. Itulah sedikit pengantar tentang 'derita'. Lantas, siapa tak miris dengan kisah tragis? Terus terang, saya ‘meneketehe’ tentang esensi dari kisah tragis. Saya teringat dengan teks Nietzsche, The Birth of Tragedy and The Genealogi of Morals (1956). Tetapi, kita tidak ngebahas tragedi menurut Nietzsche. Cukup begitu YGY, ya gaes ya. Saya sadar, pilihan atas tragedi ala Indonesia tidak kalah gelegarnya. Memilih pada satu kisah tragis saja.

Dari rakyat jelata diuji dengan tragedi. Dalam kehidupan tragis secara perorangan. Tragedi yang tersibak di tengah buruknya pelayanan sosial. Ya, secuil pelayanan dan perlindungan yang tragis.

Mulai dari titik ini. Kadangkala, orang yang teraniaya lebih tertuju pada kisah pilu. Kisah tragis. Sudah tentu, jika sebuah pilihan, maka seseorang pantang hidup menderita. Tidak seorang pun ingin merana. Hidup sengsara yang tidak pernah diimpikan. Sebetulnya, saya cukup rajin menguntit berita “orang pinggiran.” Berita itu saya cukup “menjaringnya” di media online. Persisnya, berita dari mbah google. Berita dari orang susah di tengah hiruk-pikuk kota. Getirnya hidup seiring riuhnya flexing, pamer harta mewah dari kaum pesohor bersama isteri dan anaknya. Begitulah mata dan telinga mereka “distel” buta dan telinga abai terhadap kisah begitu pahit yang tragis.

Siapa yang teraniaya? Siapa menanggung derita yang memilukan?

Seperti hidup beratapkan langit, beralaskan tanah melekat pada Wakirah (58). Wanita pemulung yang dipanggil nenek hidup dalam nestapa. Perih, perih. Getir, getir hidupnya.

Sumpah serapah bukan komat-kamitnya. Dia tidak “menghakimi” Sang Maha Hidup. Wakirah dalam laporan tidak pernah meratapi hidupnya. “Oh, sungguh malangnya nasibku!” “Mengapa hidupku sengsara begini!” “Wahai, Yang Maha Kaya!” “Wahai, Yang Maha Pemberi Rezki!” Rintihan manusia nampaknya tidak diwakili oleh Wakirah. Mengapa? Dia cukup sabar menjalani hidup. Dia kuat dan tahan banting.

Ungkapan sudah jatuh, tertimpa tangga pula itulah disematkan kepada Wakirah. Mengapa? Nah, menurut berita, Wakirah warga Dusun Ngrame, Doto, Yogyakarta. Penderitaannya berlipat ganda. Saat memulung di wilayah pasar, nenek Wakirah ternyata dituduh mencuri kue dan ayam geprek. Sudah menderita dan miskin ekstrem, dituduh lagi mencuri.

Beritanya sudah beredar di media sosial. Tentang nenek Wakirah yang digusur dan korban kekerasan diposting di Facebook dan Twitter.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun