Seorang kawan menghampiri meja kerja yang sekian lama berkhidmat di dunia birokrasi. Dia memulai obrolan tentang sosok bakal calon presiden anu. Tidak disangka, kawan bertanya untuk membungkam rasa penasaranya. Jika ada isu sensitif soal minoritas, Pemilihan Presiden jagonya.
Katanya pluralis, siapa bakal calon wakil presiden dari kaum minoritas yang feminis?
Terus terang, saya hanya tersenyum saat kawan bertanya seputar 'kehadiran' tokoh bakal calon presiden. Saat serunya bursa bakal calon wakil presiden wanita, maka tidak satu pun dari wong minoritas.Â
Nyatanya, bursa bakal calon wakil presiden wanita 24 karat dari kaum mayoritas. Begitulah bukti yang ada.Â
Kembali pada soal 'kemungkinan'. Mengapa? Satu diantaranya karena ia dinilai bukan 'isu strategis'.
Dari titik ini, saya tidak menyatakan tentang jalinan 'menguasai' dan 'dikuasai'. Ia bukan perkara 'mayoritas' lawan 'minoritas'. Terdengar absurd, bukan? Bisa dikatakan, bahwa bursa calon wakil presiden (Bacawapres) wanita dari kaum minoritas belum urgen dibicarakan.
Dalam bahasa gaul, ini bukan halu dan nyenyenye soal representasi politik. Tetapi, tentang 'ketidakhadiran' bursa bakal calon wakil presiden wanita dari kaum minoritas. 'Nol', 'nihil' bursa. Ia tidak lebih dari titik nadir pemihakan daripada kepentingan. Ia semacam banyolan di dunia politik.
Banyolan itu tidak lama dan sampai lima hari kemudian tersenggol dengan tulisan ini. Tulisan ini tulisan sederhana. Baiklah.
Jualan di pasar Pilpres setelah bakal calon presiden, yaitu mencari siapa bakal calon wakil presiden. Sejauh ini belum ada kata putus siapa gerangan Bacawapres. Mereka masih menjajaki kemungkinan Bacawapres dengan jualan produk tokoh tanpa "kemahalan" kriteria.Â
Di pasar Bacawapres diusahakan dalam posisi tawar. Jika cocok, Bacawapres akan diumumkan pada waktunya.
Sedangkan menjadi bakal calon presiden wanita saja bisa, apalagi menjadi Bacawapres. Orang pada tahu, jika feminis, wanita tidak dipermasalahkan dalam sistem politik.