Hasilnya, dari sekian kali survei, elektabilitas Khofifah dan Yenni masih berada di papan terendah. Semuanya masih didominasi oleh maskulin, pria sebagai Bacawapres ini dan itu. Sudah beruntung jika masih ada keterwakilan perempuan dalam bursa Bacawapres. Bagaimana jika sama sekali tidak ada Bacawapres wanita yang dilirik oleh Bacapres dan partai politik pendukung?
Lalu, bagaimana keterwakilan Bacawapres dari kalangan minoritas yang feminis! Sebelum bagaimana, nomor urut pertanyaan apa dan mengapa yang pertama dan kedua diajukan. Yang dari mayoritas berjenis wanita saja minta ampun berat tantangannya, apalagi dari kalangan minoritas yang feminim.
Bukankah Bacawapres wanita dari kalangan minoritas dijamin konstitusi? Pertanyaan tersebut terlepas apakah ada semakhluk "konvensi" atau apalah istilahnya. Karena ada yang mayoritas, maka wajar dan sah saja Bacapres dan Bacawapres wanita bukan berasal dari kalangan minoritas di negeri ini.Â
Wah, kita bisa dicap 'tirani mayoritas atas minoritas'!Â
Jika ada pihak lain yang menanyakan, bahwa sejak kapan demokrasi Pancasila memaksakan secara mutlak Bacawapres mayoritas yang feminis? Mana suaranya komunitas perempuan? Mana suaranya paguyuban ibu-ibu? Ibu-ibu PKK? Ibu-ibu Darma Wanita? Jika netral aturannya, sekurangnya ada sejenis aspirasi dan rekomendasi dari pihak perempuan.
Sampai saat ini, belum ada gelombang suara raksasa yang mendukung secara bulat 100 persen pada Bacawapres dari kalangan minoritas yang feminis, wanita. Atau kaum perempuan belum berdaya secara politik? Jika demikian, bagaimana saat ini mengusulkan? Grace Natalie, misalnya. Atau kata-kataku yang ngawur?
Grace Natalie sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bisa jadi masih anggap lelucon politik saat dirinya masuk bursa Cagub DKI Jakarta. Siapa yang tahu Grace Natalie tercantol Bacawapres wanita? Hal ini yang berbicara dari teori kemungkinan. Jika khalayak umum mendukung Grace Natalie, mengapa tidak?
Persoalannya, baik Prabowo, Ganjar, dan Anies sudah terkenal dan terjawab sebagai sosok Bacapres yang pluralis. Mereka sebagai Bacapres yang hidup dan menghargai kebinekaan. Atau Bacawapres wanita sekadar masuk bursa dan alasan representasi? Semuanya dikembalikan pada elite politik dan para pendukungnya dari masing-masing Bacapres yang sudah ditetapkan secara resmi kelembagaan.
Mari kita lacak secara garis besar gagasan pluralitas, kemajemukan dari masing-masing Bacapres. Melacaknya lewat jejak-jejak rekam media online dari tokoh Bacapres.
***
Saking sering dicecar pertanyaan tentang citra anti-pluralisme, secara mana tahan Anies Baswedan buka suara. Tudingan anti-pluralisme kerap dialamatkan pada Anies gara-gara terpicu kasus Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI, 2017. Berikut, apa kata Anies.