Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Secuil Diskursus Politik

10 Agustus 2023   17:09 Diperbarui: 17 Januari 2024   10:04 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampilan Prabowo, Ganjar, Anies di satu kegiatan (Sumber gambar: detik.com)

Beban di tengah bobot penyamaran, pertukaran, dan kejatuhan tidak lagi menjadi gaya berat. Gerak-gerik tubuh terus-menerus belajar kepada keajaiban permainan tanda. 

Daya yang menang sebagai penalaran muncul akibat permainan. Kelahiran permainan catur dalam diskursus, dalam analogi. Permainan catur dengan bidak sesuai aliran hasrat yang terkontrol. Mesin politik yang terendah dari permainan catur berbasis "bidak" tidak berkaitan dengan akal budi. 

Sebagaimana meditasi Descartes berbahaya bagi pengalaman Locke, maka sang bidak dikorbankan demi elite politik. Kesenyapan meditasi tersebut bukan lagi berada di pinggiran tubuh, melainkan membuka jalan politik bagi siapa yang ingin memainkannya.

Isi kepala, ya pikiran kita yang mengurus politik ala Descartes. Jika kita amati, dengar, dan persepsi indera lainnya berarti pengalaman politik ala Locke yang dikiblatinya. Saya kira kurang lebihnya demikian. 

Wah, cara berpikir tersebut sudah usang, bung! Begitu kata kawan suatu hari. Sintesa pikiran dan pengalaman itulah yang distel sesuai peta politik.

Meditasi betul-betul keluar dari kelihaian untuk memainkan permainan politik. Sang bidak bersama 'yel-yel' dan persamaannya akan dipisahkan dengan elite politik. Bidak muncul karena permainan. Begitu serius, tetapi santai. Lantas, kalimat yang terputus muncul setelah ingatan dan paragraf direnggut oleh ignoti nulla cupido (tidak ada hasrat akan sesuatu yang tidak diketahui). Hasrat memiliki kecerdikan khas. Hasrat tidak berpura-pura memperoleh ambisi, amarah, balas dendam, kesantunan, kemewahan, ketamakan, kealpaan, dan selera politik.

Apa tujuan tertinggi dari politik? Intrik, manuver, yuk mainkan! 

"Goyangan" politik, dimana pemerosotan atas nilai tidak digubris oleh sang bidak. Ia meletakkan kelesuan para pemalas isu politik akibat keretakan kontemplasi dan penuh aroma yang menggoda. Suatu permainan politik yang menandakan penghancuran belas kasihan yang menyebarkan strategi jitu. 

Karena itu, hal-hal yang dilacak oleh mata politik tidak pernah lebih dari sesuatu yang semu. Ajaibnya, begitu kita mulai berpikir, maka rangkaian pergerakan bidak politik bakal diselingi dengan lelucon dan "kucekan mata." Dunia politik ternyata membuat hasrat untuk bermain di balik bidak elite politik lebih leluasa bergerak ke berbagai arah.

Berita tentang Prabowo Subianto semobil dengan Gibran Rakabuming Raka di Solo begitu asyik. Keduanya "dicolek" menjadi "satu paket," Bacapres dan Bacawapres. Ah, betulkah? 

Yang jelas, Ganjar Pranowo belum pede "meminang" siapa gerangan Bacawapresnya. Tenang kawan! Last minute! Bacawapresnya sedang digodok, diproses. Bertuliskan 'Extravaganjar' tercantol di kaus. Baju kaus itu diserahkan ke Ganjar. 

Suatu momen foto bareng dimanfaatkan oleh Ganjar dengan Anang Hermansyah, Once Mekel, dan musisi lainya. Bagi orang yang percaya terhadap buaian, sisi penyerupaan jejak-jejak lewat foto yang tersimpan dari "bawah permukaan" tubuh. Ingatan. 

Sementara, aliran hasrat yang lebih besar dan "nyata" dibandingkan dari ukuran-ukuran langkah dari jejadian kepentingan politik. Maksudnya, dihindari gaya politik yang 'dipaksakan'.

Kita melihat hubungan politik dengan musik lewat gaya Ganjar. Heaah! Anies Baswedan kesemsem atas respon Yenny Wahid karena punya kedekatan-kedekatan tersendiri. Yenni sudah siap dipinang sebagai bakal calon wakil presiden dari Anies. Makin dekat, makin jelas membuat Anies cs ge-er. Awalnya, tarik-ulur kesediaan Yenni menjadi Bacawapres. 

Di benak saya mirip apa yang digagas oleh Yenny. Soal pluralisme, kemanusiaan hingga keterbukaan publik cukup kental dari sosok Yenny. Itu menjadi prasyarat Bacawapres di hadapan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). 

Pentolan KPP, diantaranya Sudirman Said menambah 'pede' jika tidak lama Bacawapres Anies akan dinyatakan secara terbuka. Perhatian, perhatian! Yeaah! Bukankah juga perubahan yang diusung oleh Anies cs sebagai bagian dari diskursus politik? 

Begitu pula obrolan politik dari Prabowo dan Ganjar. Obralan dan teks tertulis mereka maupun pendukungnya masih sebatas diskursus politik. Nah, jika terpilih presiden dari salah satunya, dia harus buktikan janji-janji yang dikemas dalam diskursus. Sisa sajian praktik diskursusnya yang ingin kita nikmati.

Jika bukan ge-er, agak cemas harap-harap Bacawapres Anies yang "tiketnya" bakal jatuh di Yenny. Komunikasi politik yang mainkan oleh Yenny. "Jadi yang namanya komunikasi ya lancer dengan semua kandidat," kata Yenny. 

Skifo, sekedar info! Saya belum membuka akun Twitter Ganjar dan Anies. Akun Ganjar, misalnya sudah "gentayangan" di Instagram. Saya jadi penasaran untuk membaca apa konten medsos mereka.

Sejauh yang saya lihat soal politik. Mesin politik paling kuat berasal dari hasrat untuk politik kuasa sekaligus hasrat untuk 'bermain' dalam permainan politik. Yang telah terhasratkan sebelum ia memberkahi dunia 'citra politik'. Sebagian gestur tubuh politik merupakan "bilangan pembagi" dari kepentingan menjadi hentakan yang tidak terelakkan. Hasrat untuk politik kuasa tanpa akhir yang berubah dengan nilai ditawarkan oleh nilai daripada selera umum. Hasrat yang telah terpikirkan atau terhasratkan adalah 'perbedaan kecil' dengan tubuh. 

Betul. Lewat safari, sosialisasi halo, halo, halo lainnya. Politik hasrat, ya begitulah kawan! Pergerakan hasrat demi mencairkan kemandekan partisipasi politik. Kawan di dekatku mengobrol soal si anu masuk atau tidak di kontestasi Pilpres 2024? Si Anu bakal lolos, tetapi saya ragu jika si Anu terpilih, jawabku. 

Sementara, suatu diskursus politik "yang menubuh" selalu menunjuk dirinya sebagai keseluruhan yang belum terungkap. Begitulah, keintiman antara diskursus teoritis dan praktik diskursus politik dari 'perbedaan kecil' (perbedaan muncul pada saat terjadi ketegangan politik menuju "puncak kenikmatan"). 

Berbeda, tetapi ia saling berkelindan antara masing-masing bagian dengan keseluruhannya. Ia betul-betul kenikmatan. Pengetahuan tentang hasrat diperhadapkan dengan formalisme "rasa bersih" untuk memperjuangkan rakyat. Membela rakyat yang mana? Begitulah kata kawan. 

Pada saat kita merancang pertemuan hingga menyebarkan seperangkat gagasan untuk membela rasa ingin tahu berapa besar suara dukungan. Sesungguhnya kita telah menunjukkan gambaran suara dukungan. Prabowo, Ganjar, dan Anies mesti setiap saat tahu tentang suara dukungan paling lemah, yang dikenal dalam daya tanggap melalui medium ungkapan publik. Jika sekadar luapan suara dukungan meluncur cepat ke dasar pengurungan besar yang menyilaukan. Suara dukungan di daerah anu bisa jadi semu. Belum pasti, ya kan? 

Sebaliknya, suatu ritual kenikmatan adalah sejenis penyaluran bakat dan permainan politik. Tubuh, kenikmatan, dan teks bukanlah ruang seperti digambarkan dalam penalaran. Kesenyapan meditasi bukan pula jaringan abstraksi pertukaran dan produksi kenikmatan tubuh yang terbeli. 

Semakin besar ruang ekspresi muncul di permukaan tubuh, maka semakin kecil kesenyapan diri. Diskursus dikonsolidasikan melalui hasrat. 

Dalam tubuh, ia hanyalah kekuatan yang menopang hasrat untuk politik kuasa. Ia sedekat dengan lintasan waktu pertemuan dan momen politik, yang membayangi permainan kepentingan yang diartikulasikan melalui obrolan yang memikat "hati" demi penggalangan suara dukungan politik.

Suatu ruang mendekati bahaya "sekedipan mata," karena ruang berkembangnya 'fakta suara dukungan'. Ruang politik yang ingin dimainkan oleh politisi tidak bisa tersembunyi dari permainan karena sangat memengaruhi kepentingan politik. Bukankah kepentingan politik itulah yang diperjuangkan? Ketidakmobilitasan suara dukungan. Pemihakan politik tertunda saat setiap kandidat atau pendukungnya mencoba untuk memikirkan ulang tentang bagaimana jika kandidat kalah. Aduh! Saya kira, kandidat lebih baik urungkan niat untuk melangkah ke pilpres. Sekarang juga! Kita ingin setiap kandidat menjadi petarung tangguh. Totalitas, tentunya!

***

Apapun bentuknya, suatu visi dan misi hingga program yang dijual di pasar politik tidak mubazir mencetak sesuatu yang belum terjadi karena masih sekadar diskursus. Dalam jumlah besar di luar indeks kebutuhan terutama masalah-masalah atau isu-isu strategis, diantaranya kemiskinan, ekonomi, korupsi, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, infrastruktur, hukum hingga perubahan iklim mesti menjadi agenda yang mendesak yang harus dipenuhi oleh para kandidat. 

Mereka tidak perlu mempertontonkan dirinya sendiri dalam "bersilat lidah." Akhirnya, saya, termasuk Prabowo, Ganjar, dan Anies tidak hidup di zaman Baruch Spinoza. Komedi dan tragedi merupakan ketidakhadiran makan dari setiap obrolan politik. 

Spinoza adalah perpaduan antara hasrat dan nalar, titik dimana nalar politik menggandakan dirinya dalam diskursus

Khayalan ringan yang rutin diarahkan pada "rambu-rambu" Pilpres 2024 menjadi titik akhir pergerakan citra Bacapres, semacam "santap siang" dari kandidat tertentu. Dia terlempar secara sportif dengan makhluk lainnya kedalam taruhan rezimentasi citra politik kedalam pantulan-pantulannya disemayamkan. 

Kuasa hanya dapat disebarkan dengan obyek gairahnya sendiri, jika kita telah menginteriorisasi apa esensi dari kuasa bagi yang lain. Kenyataannya, seperti bahasa, sejarah, dramatisasi, teknik-teknik pendulang suara dukungan, dan normalisasi merupakan titik akhir pengucilan dirkursus yang melempem.

Saya punya tawaran soal keterlibatan "mesin." Dari hasrat dengan tubuh, diskursus politik ditopang oleh dirinya sendiri. 

Tetapi, dalam mesin yang dilihat begitu istimewa. Diskursus bukan nyinyiran, hujatan atau mencak-mencak dari pendukung kandidat. Diskursus politik berbeda sekali dengan buzzer dari masing-masing kandidat. Mereka semacam mesin, tetapi bukan mesin yang dibentuk oleh diskursus politik. Kita sudah tahu, obrolan politik merupakan pembanding kehidupan yang nikmat sekaligus sesuatu yang cair di dalamnya. Menjauhi dari hal-hal yang menguasai, berarti kemasan dari daya rayuan yang lemah justeru menjadi hentakan jika dikelola secara jitu.

Kita sedikit memerlukan pandangan ini untuk mengetahui pengetahuan bebas atau keadaan pengetahuan dari sesuatu yang dianggap lebih daripada elemen dan jaringan "mekanisme tak bermesin" sepanjang pemikiran politik bisa dipahami. Itulah mengapa kita mempermasalahkan adanya pemisahan antara kepentingan dan pemihakan politik. 

Katakanlah, karena cara pandang mekanistik menjadi sejenis bahasa kuasa, meskipun tidak ada media atau aparat-aparat yang menopangnya. Kita memerlukan sebuah "mekanisme tanpa bermesin" yang tidak lebih dari kekuatan menampilkan tubuh untuk menghidupkan suasana atau citra yang sama sekali bisa disterilkan dan diubah dengan daya yang menguasai.

Karena daya yang menguasai dari tubuh hanya sampai kepada wilyah tubuhnya, ia hanya meniru dan menampilkan apa-apa yang dianggap obyek artifisial, sekalipun pesona citra telah membelokkan daya penyaingnya sesungguhnya ia tidak dapat dihancurkan, yakni pengetahuan yang tidak terbungkus dan diselipkan sifat jenaka dan keajaiban tubuh kita. Meskipun citra mesin dapat meniru berbicara, bergerak, mendampingi, dan memudahkan pengenalan, pemenuhan dan kegunaan obrolan politik. Orang percaya, bahwa obrolan tetap obrolan politik, sekalipun datang dari "langit," warung kopi hingga Indonesia Lawyer Club. Ia masih tetap selalu sebagai obyek artifisial apapun keadaan para pemilih yang punya hak otonominya. 

Karena itu, mesin politik secara langsung ataupun tidak langsung, hasrat atau selera telah ditungganginya sebatas tiruan, tumpangan dan rekaman jejak dari kekuatan politik, maka ia sebatas mampu untuk berceloteh.

Tetapi, ia tidak pernah mengatakan dengan penuh kesadaran, kecuali titik kesadaran yang "rusak." "Aku berpikir," "Aku merenung" sesuatu akan keajaiban besar. 

Dalam dunia politik praktis, tidak ada "keajaiban" di balik tatanan citra atau suara dukungan politik yang melimpah pada kandidat presiden. Semuanya 'bermain'. Semuanya 'ikhtiar' agar mencapai kemenangan. Saya kira juga bukan dimaksud dengan berpangku tangan. Obrolan politik yang diacung jempol juga berbeda dengan diskurus. 

Setiap diskursus politik dari tatanan mesin. Kita berpikir, jika kita berkuasa atas diri kita sendiri melawan hasrat buta; ia berarti menandakan kita bergerak tak bertubuh melebih kehendak dan selera tinggi. Ia tidak sekedar ko-eksistensi atau mengada rapuh, tetapi daya rayuan itu menarik kembali suara dukungan kita untuk bertanya ulang. 

Mengapa semua yang kita lihat dan apa yang belum kita "baca" sebagai sesuatu yang "dikuasai" sekaligus "lemah" dihadapan sesuatu yang menguasai lapangan politik? Di situlah letak pertanyaannya.

Apa yang kita bayangkan tentang perputaran siang-malam, ia digiring ke arah pengulangan dan digores ulang, jejak-jejak dimana titik celah kata-kata diletakkan di pinggiran gerakan yang menerobos pengetahuan melalui citra pengetahuan yang lain ketika ia dituliskan, digambarkan dan dibacakan secara bergairah. 

Apa yang dapat kita lepaskan dari citra  akan terlunasi dengan banyak mendengarkan musik yang ditandai, atau bagaimana menyentuh suka cita hanya satu kali berpikir serius. Karena itulah kita masih tersenyum tentang apa yang belum kita bayar lunas atas seluruh utang kecerobohan.

Ditinjau dari daya kritis, setelah pengetahuan dikacaukan, penciuman, dan penglihatan lebih dekat, jika keduanya dikosongkan dari kode politik akan mencapai titik pusat pseudo-mesin. Satu langkah lagi permainan politik digantikan oleh luasnya ukuran citra kandidat dan prediksi suara dukungan politik dalam pengetahuan manusia sebagai 'mekanisme kejatuhan selera besar yang sepeleh' karena terjebak dengan penampilan. Padahal, "Belanda" masih jauh bung!

Tetapi, rahasia "mesin" telah menyibukkan kita sebagai daya yang dipisahkan dan disatukan oleh kepentingan yang bercokol dalam ingar bingar politik. Citra, kode, atau tanda dimainkan daam permainan politik. Coba bayangkan! Politik tanpa citra kandidat apa jadinya?

Bagaimana lobi dan penggalangan suara dukungan seia sekata dengan cara mencari tahu apa yang kurang dari bakal calon presiden. Muncul pertanyaan. 

Apakah Ganjar atau Prabowo adalah Jokowi plus? Atau Jokowi minus? Mungkinkah Anies sebagai Jokowi plus plus? Anies antitesis atau penerus Jokowi?

Agar "penampilan luar" tidak dikuasai oleh tubuh, citra, retorika, dan jejak-jejak lainnya. Di hafal luar kepala, politik membutuhkan strategi dan taktik. Mengapa orang atau pendukung buru-buru ingin dapat hasilnya? Bagaimana jika tidak ada kuasa dan negara? Apakah diskursus politik masih ada? Semuanya bergerak secara mekanis. Politik dan diskursusnya tanpa kecuali bergerak secara mekanis. Atas godaan permainan politik lebih memikat, maka secara mekanistik dengan caranya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun