Berbeda, tetapi ia saling berkelindan antara masing-masing bagian dengan keseluruhannya. Ia betul-betul kenikmatan. Pengetahuan tentang hasrat diperhadapkan dengan formalisme "rasa bersih" untuk memperjuangkan rakyat. Membela rakyat yang mana? Begitulah kata kawan.Â
Pada saat kita merancang pertemuan hingga menyebarkan seperangkat gagasan untuk membela rasa ingin tahu berapa besar suara dukungan. Sesungguhnya kita telah menunjukkan gambaran suara dukungan. Prabowo, Ganjar, dan Anies mesti setiap saat tahu tentang suara dukungan paling lemah, yang dikenal dalam daya tanggap melalui medium ungkapan publik. Jika sekadar luapan suara dukungan meluncur cepat ke dasar pengurungan besar yang menyilaukan. Suara dukungan di daerah anu bisa jadi semu. Belum pasti, ya kan?Â
Sebaliknya, suatu ritual kenikmatan adalah sejenis penyaluran bakat dan permainan politik. Tubuh, kenikmatan, dan teks bukanlah ruang seperti digambarkan dalam penalaran. Kesenyapan meditasi bukan pula jaringan abstraksi pertukaran dan produksi kenikmatan tubuh yang terbeli.Â
Semakin besar ruang ekspresi muncul di permukaan tubuh, maka semakin kecil kesenyapan diri. Diskursus dikonsolidasikan melalui hasrat.Â
Dalam tubuh, ia hanyalah kekuatan yang menopang hasrat untuk politik kuasa. Ia sedekat dengan lintasan waktu pertemuan dan momen politik, yang membayangi permainan kepentingan yang diartikulasikan melalui obrolan yang memikat "hati" demi penggalangan suara dukungan politik.
Suatu ruang mendekati bahaya "sekedipan mata," karena ruang berkembangnya 'fakta suara dukungan'. Ruang politik yang ingin dimainkan oleh politisi tidak bisa tersembunyi dari permainan karena sangat memengaruhi kepentingan politik. Bukankah kepentingan politik itulah yang diperjuangkan? Ketidakmobilitasan suara dukungan. Pemihakan politik tertunda saat setiap kandidat atau pendukungnya mencoba untuk memikirkan ulang tentang bagaimana jika kandidat kalah. Aduh! Saya kira, kandidat lebih baik urungkan niat untuk melangkah ke pilpres. Sekarang juga! Kita ingin setiap kandidat menjadi petarung tangguh. Totalitas, tentunya!
***
Apapun bentuknya, suatu visi dan misi hingga program yang dijual di pasar politik tidak mubazir mencetak sesuatu yang belum terjadi karena masih sekadar diskursus. Dalam jumlah besar di luar indeks kebutuhan terutama masalah-masalah atau isu-isu strategis, diantaranya kemiskinan, ekonomi, korupsi, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, infrastruktur, hukum hingga perubahan iklim mesti menjadi agenda yang mendesak yang harus dipenuhi oleh para kandidat.Â
Mereka tidak perlu mempertontonkan dirinya sendiri dalam "bersilat lidah." Akhirnya, saya, termasuk Prabowo, Ganjar, dan Anies tidak hidup di zaman Baruch Spinoza. Komedi dan tragedi merupakan ketidakhadiran makan dari setiap obrolan politik.Â
Spinoza adalah perpaduan antara hasrat dan nalar, titik dimana nalar politik menggandakan dirinya dalam diskursus
Khayalan ringan yang rutin diarahkan pada "rambu-rambu" Pilpres 2024 menjadi titik akhir pergerakan citra Bacapres, semacam "santap siang" dari kandidat tertentu. Dia terlempar secara sportif dengan makhluk lainnya kedalam taruhan rezimentasi citra politik kedalam pantulan-pantulannya disemayamkan.Â