Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Secuil Diskursus Politik

10 Agustus 2023   17:09 Diperbarui: 17 Januari 2024   10:04 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuasa hanya dapat disebarkan dengan obyek gairahnya sendiri, jika kita telah menginteriorisasi apa esensi dari kuasa bagi yang lain. Kenyataannya, seperti bahasa, sejarah, dramatisasi, teknik-teknik pendulang suara dukungan, dan normalisasi merupakan titik akhir pengucilan dirkursus yang melempem.

Saya punya tawaran soal keterlibatan "mesin." Dari hasrat dengan tubuh, diskursus politik ditopang oleh dirinya sendiri. 

Tetapi, dalam mesin yang dilihat begitu istimewa. Diskursus bukan nyinyiran, hujatan atau mencak-mencak dari pendukung kandidat. Diskursus politik berbeda sekali dengan buzzer dari masing-masing kandidat. Mereka semacam mesin, tetapi bukan mesin yang dibentuk oleh diskursus politik. Kita sudah tahu, obrolan politik merupakan pembanding kehidupan yang nikmat sekaligus sesuatu yang cair di dalamnya. Menjauhi dari hal-hal yang menguasai, berarti kemasan dari daya rayuan yang lemah justeru menjadi hentakan jika dikelola secara jitu.

Kita sedikit memerlukan pandangan ini untuk mengetahui pengetahuan bebas atau keadaan pengetahuan dari sesuatu yang dianggap lebih daripada elemen dan jaringan "mekanisme tak bermesin" sepanjang pemikiran politik bisa dipahami. Itulah mengapa kita mempermasalahkan adanya pemisahan antara kepentingan dan pemihakan politik. 

Katakanlah, karena cara pandang mekanistik menjadi sejenis bahasa kuasa, meskipun tidak ada media atau aparat-aparat yang menopangnya. Kita memerlukan sebuah "mekanisme tanpa bermesin" yang tidak lebih dari kekuatan menampilkan tubuh untuk menghidupkan suasana atau citra yang sama sekali bisa disterilkan dan diubah dengan daya yang menguasai.

Karena daya yang menguasai dari tubuh hanya sampai kepada wilyah tubuhnya, ia hanya meniru dan menampilkan apa-apa yang dianggap obyek artifisial, sekalipun pesona citra telah membelokkan daya penyaingnya sesungguhnya ia tidak dapat dihancurkan, yakni pengetahuan yang tidak terbungkus dan diselipkan sifat jenaka dan keajaiban tubuh kita. Meskipun citra mesin dapat meniru berbicara, bergerak, mendampingi, dan memudahkan pengenalan, pemenuhan dan kegunaan obrolan politik. Orang percaya, bahwa obrolan tetap obrolan politik, sekalipun datang dari "langit," warung kopi hingga Indonesia Lawyer Club. Ia masih tetap selalu sebagai obyek artifisial apapun keadaan para pemilih yang punya hak otonominya. 

Karena itu, mesin politik secara langsung ataupun tidak langsung, hasrat atau selera telah ditungganginya sebatas tiruan, tumpangan dan rekaman jejak dari kekuatan politik, maka ia sebatas mampu untuk berceloteh.

Tetapi, ia tidak pernah mengatakan dengan penuh kesadaran, kecuali titik kesadaran yang "rusak." "Aku berpikir," "Aku merenung" sesuatu akan keajaiban besar. 

Dalam dunia politik praktis, tidak ada "keajaiban" di balik tatanan citra atau suara dukungan politik yang melimpah pada kandidat presiden. Semuanya 'bermain'. Semuanya 'ikhtiar' agar mencapai kemenangan. Saya kira juga bukan dimaksud dengan berpangku tangan. Obrolan politik yang diacung jempol juga berbeda dengan diskurus. 

Setiap diskursus politik dari tatanan mesin. Kita berpikir, jika kita berkuasa atas diri kita sendiri melawan hasrat buta; ia berarti menandakan kita bergerak tak bertubuh melebih kehendak dan selera tinggi. Ia tidak sekedar ko-eksistensi atau mengada rapuh, tetapi daya rayuan itu menarik kembali suara dukungan kita untuk bertanya ulang. 

Mengapa semua yang kita lihat dan apa yang belum kita "baca" sebagai sesuatu yang "dikuasai" sekaligus "lemah" dihadapan sesuatu yang menguasai lapangan politik? Di situlah letak pertanyaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun