Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ikutilah Lemparan Dadu Nietzsche

6 Juli 2023   20:55 Diperbarui: 15 Februari 2024   14:31 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ganjar Pranowo dalam satu kesempatan (Sumber gambar: detik.com)

"Berani-beraninya upload (prestasi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo)." Itu guyonan seraya mancing salah satu kawan di grup WhatsApp. Saya jawab dengan candaan. "Keluar dari beli kucing dalam karung."

Saya sadar, banyolan khas kawan saya seorang Doktor bukan sembarangan. Dia sosok yang suka berbicara kritis plus analitis. Sebut saja Doktor Hadi. Jika dianggap perlu, dia sekali-kali kecebur dalam arena obrolan alias diskusi di grup WA kesayangan. 

Grup WA yang lain juga seru. Tetapi, grup WA yang satu itu warganya cukup nyentrik. Kadangkala kita dibuat "mules," lain sesi terasa lucu obrolannya.

Terang terus, saya enggak manja-manja ria dengan salah satu tokoh capres yang bakal nyapres. Saya dan mungkin kawan lainnya tidak punya kepentingan politik macam-macam. Apalagi dukung-dukungan dan bela-belaan tokoh capres. Tidak, tidak sama sekali. Kita cuma nimbrung di pesta demokrasi. Kita ingin jadi warga negara yang baik. Ciee, siswa teladan niye!

Sedangkan pilih golput dan warga cuek dalam pemilu juga merupakan hak pribadi.  Tidak ada tekanan dari siapa pun. Jika ada pihak yang memaksa hingga mengintimidasi warga negara hanya karena berbeda pilihan atau dukungan, berarti mereka tidak paham bahwa pelangi itu indah. Berbeda pilihan lumrah kawan! "Angin darat dan angin laut berhembus tidak saling mengganggu," begitu kata ahli hikmah.

Sebelumnya, saya nge-share sederet prestasi Ganjar Pranowo yang saya unduh lewat media online. Tiba-tiba upload itu diinterupsi oleh seorang senior. Soal dugaan Ganjar korupsi E-KTP. Saya pun sambar link tentang kasus tersebut. Maka muncullah upload pernyataan Novel Baswedan soal tidak terlibatnya Ganjar dalam kasus E-KTP. Saya hanya tersenyum membacanya. Alangkah takjubnya saya atas imbangan obrolan di pagi menjelang siang.

Lebih seru jika dimunculkan juga sosok Anies Baswedan dengan segenap komentar, opini, dan pembelaan terhadapnya. Terutama isu Anies dijegal ke sana ke mari. Katanya Anies sengaja dicarikan lubang. Dia Dibuatkan skenario salah silih. Mengapa orang lain saja yang sudah bersalah dicap, diuber-uber bersalah. Anies jelas-jelas tidak bersalah malah dicarikan masalah. Betullah sebagian omongan yang berlari-lari kecil di layar medsos atau ponsel.

Ada betulnya, bukan soal ada isu digoreng supaya renyah dalam "dadu" yang dimainkan. Dadu juga ada dimana? Medium gorengannya saja tidak jelas. 

Yang jelas sekadar capres yang ikut nyapres. Itu pun kita sudah ngos-ngosan dibuat manuver dan gonjang-ganjing panggung politik. Siapa setuju jika nyapres hanyalah permainan. Setubuh! Eh, setuju! Jawab dari rumput tak bergoyang.

Sebagaimana tokoh capres lainnya, sebagian orang nyinyir dan haters Ganjar, selebihnya pilih dan Ganjarian. Saya kira itu normal-normal. Tetapi, jika ada orang lantaran aktif atau kader organisasi berhaluan moderat, lantas dukung Ganjar itu perlu dipertanyakan. 

Atas otoritas apa seorang berkomentar demikian? Lah, organisasi moderat saja "tidak memaksakan kehendaknya" pada anggota untuk pilih berdasarkan cara berpikir kebanyakan warga dan anggota grup WA? Ini membuatku tidak bisa kumengerti alam pikirannya. Katanya, dari orang yang mengaku kader dari organisasi moderat. Dia justeru moderat yang tidak moderat dalam pilihan politik. Seakan calon capres bak "berhala." Dia dianggap pujaan harga mati. Dia laksana bintang idola sampai mati.

Kita tahu, tidak sedikit jumlahnya di garis bawah bahkan status terpelajar terperangkap dalam pandangan konservatif dalam keyakinan. Tetapi, dia bisa juga terbuai dengan frasa "sumbu pendek." Orang sok analisis, padahal yang dianalisis melampaui analisis. Saya tidak akan tanggapi hal-hal yang menurut orang bisa merugikan dan berbahaya bagi sosok capres yang didukungya. Hal mustahil, apa yang dianggap merugikan dan membahayakan sosok kandidat lain, itu bisa menguntungkan sosok capres pilihannya. Bisa saja, ukuran badan orang terasa gerah dibuat kawan-kawan justeru begitu cair dan  asyik bagi pihak yang mendukung capresnya. Begitu pula sebaliknya.

Coba kota hindari igauan saat terjaga. Siapa sangka Ganjar berani blusukan ke DKI. Di sana dia disorot oleh kader PKS, misalnya. Orang sudah tahu itu bukan kartu AS. Ramai-ramai tahu jika parpol tersebut bagian dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Parpol pendukung Anies. Ngapaian juga Ganjar meliuk-liuk hingga di tempat pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dia kan Gubernur Jateng. Bukan wilayah administrasinya. Parpol pendukungnya tidak tinggal diam. Paling tidak jawabannya, Ganjar juga warga negara Indonesia. Dia ikut nyapres menjadi alasan untuk "merapat" ke wilayah yang bukan ruang kepemerintahannya. Anies masih terus di posisi ketiga berdasarkan survei. Anies nyantai saja. Para pendukungnya tidak percaya. 

Menurutnya, hasil survei terverifikasi di lapangan. Para pendukungnya punya alasan lain, diantaranya fakta tentang Anies berada di peringkat atas. Dia melebihi elektabilitas Ganjar dan Prabowo. Semua tanggapan dan penilaian itu terbuka dari masing-masing kubu. Itu.belum luar biasa. Yang luar biasa jika Ganjar jadi pemenang Pilpres.

Di mana masuk akalnya? Ganjar tanpa mendahului takdir, garis tangan (politisi "percaya atau tidak" pada takdir jadi lain cuap-cuapnya) bakal juara satu saat semua kubu capres tidak saling menyerang. Sebagaimana hasil survei LSI Denny JA, jika terjadi head to head antara Parbowo dan Ganjar, maka Ganjar pemenangnya. 

Tetapi, tidak mustahil hasil survei sebagai harga mati. Andai kemenangan di tangan Ganjar karena banyak faktor. Dia tidak semata-mata bertumpu pada Parpol pendukungnya. Di situ ada tim sukses. Dia jago "mencuri hati" masyarakat.

Soal pencitraan di tahun politik adalah barang tidak mahal. Masyarakat pun sudah tahu pemimpin yang mana terbaik bagi mereka. Semua bakal capres akan lari ke sana. Capres dinilai miring hingga dilumat-lumat oleh warganet dan publik tentu rupa konsekuensi pertarungan. Ingin jatuh di enam, tiga atau satu titik dalam sebiji dadu. Semuanya menjurus ke lemparan dadu. Dadu jatuh di mana masih teka-teki. Yang memberi jumlah berapa kali jatuh dadu tersebut datang dari pemilik suara, yaitu masyarakat pemilih. Iya dong, pemilih 56 persen di pulau Jawa. Lebih 40 persen pemilih lagi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga di Papua.

***
Laksana membangunkan singa di sarangnya, segmen pasar sosok Ganjar sebagai "sang Lain," tidak laris, dan biang ketidaknyaman warga, kecuali pilihan mayoritas di grup WA.

Kita tahu, Ganjar begitu rawan longsor dukungan di grup WA di sebelah. Saya juga paham, bagi fans berat, nge-upload sosok capres yang bukan "tambatan hati" bikin terusik tetangga. Sayangnya, grup WA bukan warisan leluhur. Eloknya, grup WA sebagai medium silaturahim. Berbeda pandangan bukan berarti musuh bersama dalam grup WA berbasis paham yang sama. Yang unik, disebut grup WA sepaham tertentu.  Ia homogen. Tetapi, isi kepala berbeda-beda. Ia heterogen.

Yang jelas, Ganjar Pranowo selalu di tiga besar papan atas. Di bolak-balik, Ganjar kerap mengungguli tokoh capres lainnya lebih setahun terakhir.

Belakangan, dari liris hasil survei lembaga survei terkait suara dukungan Ganjar nampak tergerus. Hasilnya, Ganjar dilambung kiri oleh Prabowo Subianto. Urutan ketiga bertengger Anies Baswedan. Namanya juga lembaga survei jadi pertaruhan kredibilitas.

Ikut nyapres ibarat seni. Bersaingnya para kandidat untuk elektibilitas itu layaknya roda kehidupan. Padahal mereka begerak di tahapan pra hari H Pemilu 2024. Roda berputar tidak selamanya di atas. Secara periodik, Ganjar masih di atas angin. Dia di peringkat pertama menurut hasil survei dari beberapa lembaga survei.

Bergeser beberapa jengkal dari Ganjar, dia disalib oleh Prabowo yang tancap gas. Bisa jadi posisi Ganjar tidak terlalu lama di belakang Prabowo. Suara dukungan Ganjar mungkin melaju kembali. Ia bergantung dari totalitas Ganjar itu sendiri.

Begini. Ganjar diandaikan sedang bermain dalam permainan politik. Dia baru saja memasuki permainan. Apa yang terjadi jika Ganjar terlibat dalam "lemparan dadu" sebagai permainan ala Nietzsche? 

Bentuk permainan tersebut sebetulnya hanya tawaran. Permainan lemparan dadu rupanya punya dwi momentum. Yang satu, permainan dadu yang dilemparkan. Kedua, permainan dadu yang jatuh. Nietzsche mengatakan:

"Jika aku bermain dadu dengan para dewa di meja mereka, yaitu bumi, sampai bumi berguncang dan terbelah serta semburan api mengalir keluar; karena bumi adalah meja, para dewa berguncang dengan sabda baru yang kreatif dan lemparan dadu dari para dewa" (Thus Spoke Zarathustra, 1977, hlm. 245).

Jadi, apa maksudnya Nietzsche? Bumi tempat dadu dilemparkan dan langit tempat dadu dijatuhkan. Nietzsche tidak menyebutkan lemparan dadu mata enam atau bukan. Dadu yang dilemparkan digambarkan oleh Nietzsche dalam permainan di dua meja, bumi dan langit. 

Sekarang, strategi pemenangan Ganjar dibahas oleh PDIP hingga Hanura. Yang dibahas di meja bernama bumi, di suatu rapat konsolidasi. Dari sekian kali pembahasan para parpol pendukung, ada "kemungkinan" dadu Ganjar, ditambah bacapresnya jatuh keputusan dari ibu Megawati selaku Ketua Umum PDIP. Maklum, sebagai parpol pengantong 20 persen ambang batas presiden sekaligus pengusung utama Ganjar.

Namun demikian, pengamat politik (harap dikatahui, saya bukan pengamat) sepintas melihat kedua meja permainan dadu punya dua dunia. Pembahasan tentang strategi pemenangan Ganjar terjadi di dua tahapan. 

Tahapan pencalonan, termasuk masa kampanye dan tahapan hari H pemilihan. Dua tahapan, dua masa nyapres dari satu peristiwa politik lima tahunan, Pemilu 2024. Saya mengerti, saat kawan-kawan juga paham di grup WA, bahwa permainan dadu dengan terjadi di dua momentim, masa tatkala dadu dilempar dan masa ketika dadu jatuh. Yang terakhir ini, masa ketika jatuh pilihan ke Ganjar. Kita lihat, apakah Ganjar berada dalam proses menjadi atau sekadar ada? Menjadi Presiden dipengaruhi oleh jatuh pilihan dari berapa banyak jumlah suara dukungan padanya.

Karena itu, bukan soal berapa kali lemparan dadu. Kita tahu, jumlah lemparan dadu akhirnya menghasilkan berbagai kombinasi yang sama. Permasalahannya, satu strategi dengan banyak suara dukungan.

Berapa kali pun lemparan dadu akan menghasilkan jumlah kombinasi membentuk kembali dirinya berupa kemungkinan menang. Ini bukan berarti, satu strategi pemenangan Ganjar harus banyak pengulangan atas kombinasi permainan dadu. Yang mesti berubah adalah strategi pemenangan dipengaruhi oleh kemungkinan. 

Diakui, goyangan Ganjar secara kasat mata mudah dibaca oleh rivalnya. Dadu yang dilemparkan harus seiring dengan kombinasi permainan. Itu cara supaya permainan dadu tidak membosankan dan monoton. Adakalanya lemparan dadu datang secara mendadak. Ia tidak diketahui oleh capres lainnya bahkan parpol pendukungnya sendiri.

Bisa jadi dadu yang dilempar dan dadu jatuh pilihan kemenangan di tangan Ganjar terjadi dalam senyap. Satu pertanyaan. Tertarikkah Ganjar dengan lemparan dadu Nietzsche? Kata orang, detik-detik terakhir lemparan dadu yang menentukan. Jatuh pilihan di bilik suara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun