Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kala Survei Hingga Hasilnya Diragukan

29 Mei 2023   20:27 Diperbarui: 22 Juni 2023   17:59 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Koleksi Foto Pribadi

Ngobrol dengan teman-teman memang asyik di grup Whatsapp. Di situ hadir adik-adik dan senior-senior. Obrolannya lumayan tidak sampai memikul beban tiga kuintal dan seratus kilo. Obrolannya cukup santai. Tidak bikin dahi berkerut. 

Awalnya, gara-gara postingan berita dari seorang teman yang cakep di grup WA. Sebutlah teman saya bernama DengMarakka. Eh, ternyata saya dipanggil kanda. Kanda senior. Saya terasa "ngilu" mendengarnya.

Adik itu rupanya melansir dari laman media beken sejagat, tentang berita hebohnya politik Pilpres Turki. Recep Tayyip Erdogan dikabarkan tinggal menunggu waktu untuk lengser dari kursi presiden. Dari situlah, maka disenggol-senggol ke survei tanah air. (cnnindonesia.com, 12/05/2023)

Apa judul postingannya? "Survei H-3 Pemilu Turki, Erdogan KO dari Musuh Politiknya." Terus, tampil gambar berlatar Erdogan di hadapan jubelan massa. Mungkin terjadi di sebuah lapangan. Di bawah latar gambar itu, nongol teks narasi. Bunyinya bernada pertanyaan. "Masih Percaya dengan Survey?" Saya termenung sejenak saat membaca postingan tersebut.

Lalu, saya nekat "nyemplung" dalam grup WA. Agak terkesan "cawe-cawe" untuk menanggapinya, layaknya cowok kota mendengar bunyi "desahan genit" dari lawan jenis.

Saya tidak kesal untuk "kecebur" dalam obrolan politik. Lantas, saya menanggapi bunyi postingan tersebut di atas. "Tidak semua tawwa Lembaga Survei ye," kataku. Yang masih bagus seperti LSI Denny JA. Pada titik tertentu, ruang obrolan lebih penting mengabaikan (Lembaga) Survei abal-abal versus sejati-sejatian.

Gayung bersambut. Jari-jariku mulai "berotot" menindis huruf demi huruf di atas keibord HP. Obrolan mulai nyambung. Diakui memang obrolan ini bukan sekelas Indonesia Lawyers Club-nya pak Karni Ilyas. Obrolan kita mirip-mirip obrolan warkop. Bolehlah kite-kite ini "angkringan" di grup WA sembari diskusi "bernafsu" jumbo. Hi hi.

Kurang dari lima menit berlalu. Teman tadi, adik DengMarakka menimpali atas tanggapan saya di grup WA. "Kalau saya justeru Denny JA yang saya ragukan independensinya kakanda senior." Begitu celoteh adik keren ini. Lantas, saya coba memutar dari arah samping kiri halaman diskusi. Saya menanggapinya. "Versi LSI Denny JA sudah terlibat dan memenangkan empat kali Pemilihan Presiden secara berturut-turut, 2004, 2009, 2014, dan 2019." Kata lain, SBY dan Jokowi terpilih sebagai Presiden RI selama empat kali berturut-turut. Itu satu. (rm.id, 15/05/2022)

Kedua, yang kusuka (pilihan bebas atas karya tokoh) dari Denny JA, yaitu bukan hanya sosok intelektual (Ph.D. jebolan Amrik), yang ditandai sudah 40 tahun berkarya dalam dunia tulisan, buku. Dia juga sosok multitalenta, antara lain: Penemu "Puisi Esei," "Pelukis berbasis Artificial Intelligence," "Penceramah" sufistik/filosofis berbasis YouTube, interpreuner, banyak lagi deh ... dan seterusnya.

Ketiga, 99, 9 persen (hanya perkiraan saya) tulisan Denny JA berbasis data, termasuk hasil riset beliau. Ditambah referensi buku. Sepanjang yang kutahu, Denny JA punya integritas yang daaahhhsssyyaattt!

Selain adik DengMarakka, datang pula adik lainnya "nyeruduk" masuk ke grup WA yang sama. Masuk mas! Sebutlah adik tergagah sejagat RW ini. Firman Gelong namanya. Tanyanya apa ya adik? "Kira-kira lembaga survei ini dapat dana dari mana kanda untuk membiayai lembaganya? Dan adakah lembaga survei yang transparan terkait aliran dana dan pembiayaanya dalam beroperasi selama ini?" Di situlah pertanyaan beratnya. Saya tarik nafas dibuatnya.

Orang yang gampangan bisa menjawabnya, Lembaga Survei (LS) juga manusia biasa. Ia butuh mengurus "kampoeng tengah" lewat kerja-kerja survei. Tapi, mulut saya tidak mampu berkomat-kamit tentang soal itu. Saya tidak tahu yang gituan dik. Ungkapku singkat.

Sudah banyak yang sampai di kuping saya soal darimana sumber funding LS. Tapi, ... titik titik giccuu. Lembaga Survei bukan hanya lembaga nirlaba, tapi juga diakui ia butuh funding. Entah itu dalneg, luneg. Terserah LS, apa pilihannya.

Jangankan LS, mendirikan Parpol saja, dari ujung Sabang ke batas Papua butuh sekitar 110 milyar (ini menurut ahli). Taruhan intelektual bagi LS. Taruhan moral itu sudah lain ceritanya.

Hampir sesiang suntuk, obrolan dan diskusi warga grup WA kesayangan berlangsung dengan syahdunya. Adik DengMarakka kembali "hot." Pernyataan dari adik yang "terbang bebas" satu ini sudah mulai menukik. "Di sini letak kekuatan cuan para oligark kak, kita bisa lihat hasil beberapa lembaga survei yang beberapa bulan sebelumnya sudah membuat hasil yang dibuat sebisa mungkin sama dengan hasil hitung cepat di Pilpres." Untungnya saya bukan pelakunya. Andai pelakunya, bisa kena "tamparan" dari pernyataan dari adik DengMarakka. Bagi oknum yang "tebal muka" bisa cuek-cuekan dengan istilah oligark, oligarki segala. Oligark alias cukong, apapun namanya itu ada sebagaimana demokrasi itu nyata (kayak judul tulisan ini dek).

Ruang obrolan ini mulai "terkipas" oleh umpan balik antarwarga grup WA. Bak jauh dari "jurus mabuk," adik Firman Gelong yang gagah kini tidak kalah nyentriknya. "Berarti masyarakat wajar meragukan hasil lembaga survei kanda, meskipun yang disampaikan secara ilmiah tapi dibalik itu semua siapa yang tahu bahwa ada transaksinya dengan siapapun itu untuk menghasilkan sebuah data misalkan, ada yang bisa menjamin kanda tidak ada transaksinya?" Namanya pembuktian ilmiah. Curiga boleh, nuduh jangan. Bukti itu tidak sesederhana yang kita bayangkan.

Jika ada transaksi yang mencurigakan antaranya para kontestan dan LS, maka harus dibuktikan secara ilmiah. Di situlah kuncinya.

Bukankah LS itu adalah kerja ilmiah? Jika tidak ada bukti secara ilmiah, bukti hukum, kita sulit menyingkap kebenaran ilmiah atas tuduhan adanya politik transaksional di balik data hasil survei. Kan, selama ini masih sebatas "kabar angin." Bukti ada, boleh jadi sanksi menantinya.

Baiklah. Saya tanggapi adik Firman Gelong, pintaku. Persis itu dik. Sekarang pun, ini zaman adalah zaman reservibel (keterbalikan). Zaman ini adalah zaman "ejakulasi dini." Semuanya adalah flow. Ia ditanam, disebar, ditumpuk, dan diledakkan melalui "tubuh sosial" (masyarakat pemilih) sebelum dan menjelang Pilpres 2024. Tidak ada lagi ampas atau efek residual, kecuali pihak yang belum paham dan belum bisa nge-flow dalam kehidupan politik ekonomi. Ini adalah "ekonomi hasrat," yaitu kemampuan seseorang menyalurkan libido. Funding atau semacam fulus alias cuan yang menciptakan hasrat, "libido." Cuan yang menggoda. Cuan serupa pornografi. Keduanya menggoda, membujuk rayu.

Anda jual, saya beli, begitu kata masyarakat. Ada cuan ada suara. Seru masyarakat sekarang. Nah, dulu desa "lumbung" demokrasi, kini tercabik-cabik. Uang melulu. Ibarat politik transaksional adalah "virus," maka virus adalah kita. Coba antum semua bisa bayangkan, kemarin elite politik yang mengajari fatamorgana, ilusi, dan dagelan lainnya. Kini, masyarakat pemilih jika tidak ada fulus, tanpa cuan nampaknya sulit dapat suara (ini terutama kasus Pilcaleg).

Saya teringat Pilkada Kabupaten Jeneponto, 2013. Saya bersama teman-teman dari Relawan Bangkit dan Master of Campaign. Serang Ruslan namanya. Kami banyak belajar dari situ. Betapa Lembaga Survei "tidak laris" di relawan kami. Kami tidak pakai metode dan gaya LS. Kami punya metodologi dan genre pergerakan tersendiri. Di satu kesempatan, kami sempat kritisi malah membantah hasil survei LS tersebut. Kita ingin punya mimpi baru, sejarah baru. Begitulah.

Masih diskusi bersama adik Firman Gelong. Mengapa kami tidak "terangsang" memakai metodologi dan "gaya" Lembaga Survei (LS)? Argumennya, antara lain karena metode LS sama semua. Tapi, hasilnya berbeda. Ada selisih tipis-tipis, nol koma, satu koma, tiga koma dan semacamnya. Kami (versi Relawan Bangkit, nostalgia Pilkada Jeneponto 2013 ni yee ...) ngak sok-sokan dan latah nge-copy paste ala LS. Yang jelas relawan kami punya gaya, genre, strategi, dan metode tersendiri. Kalau mereka (LS) nge-Pop,  kami nge-Rock and Roll. Kami sarankan, sekarang, kita perlu cogito dan "kegilaan." Kata teman, kita harus "keluar dari kotak." Hanya cogito dan "kegilaan" atau "keluar dari kotak" itu kita bisa melangkah dua tiga langkah ke depan. Mungkinkah?

Seorang senior tiba-tiba sambar dengan komen di grup WA. Kanda Syamsul Ardhi namanya senior kita.

Untuk case Pilkada Kabupaten Jeneponto (2013), kami Relawan Bangkit dan KPUD sama 100 persen dalam Perhitungan Akhir (selanjutnya "diketuk palu") waktu itu. Padahal, modal HP jadul dipakai oleh saksi per TPS dari Relawan Bangkit. Apa yang terjadi di lapangan terekam dalam data relawan.

Mohon dicatat! Ehemmm ... Relawan Bangkit, jangankan ogah-ogahan, ia juga "Anti Funding," Anti Cukong, Anti Ang Ing Ong. Suit-suit. Singkat cerita, istilah teman-teman cukup menikmati: "kaluru' sipappa ni borongi" (maaf bahasa planet Mars). Secara harfiah, berarti "sebatang rokok diisap rame-rame." Maksudnya panas dinginnya sependeritaan, bekal satu tekad bulat untuk banyak "perubahan." Tapi sudahlah, ini hanya curhat-curhatan. Bukan blablabla. Terima kasih ye.

Usai menanggapi postingan senior kami di grup, kanda Abdul Rachmat Noer soal survei Denny JA (2017). Cekatan adik DengMarakka menambah "renyah" diskusi kita. "Alhamdulillah feeling ketidakpercayaan saya semakin menguat, Denny JA salah satu intelektual yang hasil risetnya selalu dan selalu menyudutkan Islam." Perlahan-lahan saya mendekatinya dengan arah lain. (tempo.co, 17/01/2017)

Menyangkut hal tersebut, apa tanggapanku? Begini, Denny JA mungkin punya mode of thought on Islam begitu berbeda dengan potongan kita (?).

Denny JA kerap menggunakan persfektif yang lebih luas dan berbeda dalam memahami Islam. Sorotan atas review buku Ahmet T Kuru: ISLAM, Authoritarian, and Underdevelopment. A Global and Historical Comparison, misalnya. Buku itu diterbitkan oleh Cambridge University Press, Lembaga penerbit top markotop dunia, tahun 2019. Di sini, pandangan dan sikap beliau begitu berbeda dengan Ahmed terhadap "faktor penyebab kemunduran" dunia Islam.

Dalam benakku, untuk sementara, yang bisa imbangi Denny JA (dengan kader Muhammadiyah), diantaranya sekaliber Prof. Amin Abdullah, Sukidi Mulyadi, Ph.D., Prof. Najib Burhani. Siapa tahu para ilmuwan hebat atau pentolan Lembaga Survei bisa mengembalikan "ketidakraguan" di ruang publik. Demikian obrolan kita di grup WA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun