Seorang senior tiba-tiba sambar dengan komen di grup WA. Kanda Syamsul Ardhi namanya senior kita.
Untuk case Pilkada Kabupaten Jeneponto (2013), kami Relawan Bangkit dan KPUD sama 100 persen dalam Perhitungan Akhir (selanjutnya "diketuk palu") waktu itu. Padahal, modal HP jadul dipakai oleh saksi per TPS dari Relawan Bangkit. Apa yang terjadi di lapangan terekam dalam data relawan.
Mohon dicatat! Ehemmm ... Relawan Bangkit, jangankan ogah-ogahan, ia juga "Anti Funding," Anti Cukong, Anti Ang Ing Ong. Suit-suit. Singkat cerita, istilah teman-teman cukup menikmati: "kaluru' sipappa ni borongi" (maaf bahasa planet Mars). Secara harfiah, berarti "sebatang rokok diisap rame-rame." Maksudnya panas dinginnya sependeritaan, bekal satu tekad bulat untuk banyak "perubahan." Tapi sudahlah, ini hanya curhat-curhatan. Bukan blablabla. Terima kasih ye.
Usai menanggapi postingan senior kami di grup, kanda Abdul Rachmat Noer soal survei Denny JA (2017). Cekatan adik DengMarakka menambah "renyah" diskusi kita. "Alhamdulillah feeling ketidakpercayaan saya semakin menguat, Denny JA salah satu intelektual yang hasil risetnya selalu dan selalu menyudutkan Islam." Perlahan-lahan saya mendekatinya dengan arah lain. (tempo.co, 17/01/2017)
Menyangkut hal tersebut, apa tanggapanku? Begini, Denny JA mungkin punya mode of thought on Islam begitu berbeda dengan potongan kita (?).
Denny JA kerap menggunakan persfektif yang lebih luas dan berbeda dalam memahami Islam. Sorotan atas review buku Ahmet T Kuru: ISLAM, Authoritarian, and Underdevelopment. A Global and Historical Comparison, misalnya. Buku itu diterbitkan oleh Cambridge University Press, Lembaga penerbit top markotop dunia, tahun 2019. Di sini, pandangan dan sikap beliau begitu berbeda dengan Ahmed terhadap "faktor penyebab kemunduran" dunia Islam.
Dalam benakku, untuk sementara, yang bisa imbangi Denny JA (dengan kader Muhammadiyah), diantaranya sekaliber Prof. Amin Abdullah, Sukidi Mulyadi, Ph.D., Prof. Najib Burhani. Siapa tahu para ilmuwan hebat atau pentolan Lembaga Survei bisa mengembalikan "ketidakraguan" di ruang publik. Demikian obrolan kita di grup WA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H