Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kala Survei Hingga Hasilnya Diragukan

29 Mei 2023   20:27 Diperbarui: 22 Juni 2023   17:59 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang gampangan bisa menjawabnya, Lembaga Survei (LS) juga manusia biasa. Ia butuh mengurus "kampoeng tengah" lewat kerja-kerja survei. Tapi, mulut saya tidak mampu berkomat-kamit tentang soal itu. Saya tidak tahu yang gituan dik. Ungkapku singkat.

Sudah banyak yang sampai di kuping saya soal darimana sumber funding LS. Tapi, ... titik titik giccuu. Lembaga Survei bukan hanya lembaga nirlaba, tapi juga diakui ia butuh funding. Entah itu dalneg, luneg. Terserah LS, apa pilihannya.

Jangankan LS, mendirikan Parpol saja, dari ujung Sabang ke batas Papua butuh sekitar 110 milyar (ini menurut ahli). Taruhan intelektual bagi LS. Taruhan moral itu sudah lain ceritanya.

Hampir sesiang suntuk, obrolan dan diskusi warga grup WA kesayangan berlangsung dengan syahdunya. Adik DengMarakka kembali "hot." Pernyataan dari adik yang "terbang bebas" satu ini sudah mulai menukik. "Di sini letak kekuatan cuan para oligark kak, kita bisa lihat hasil beberapa lembaga survei yang beberapa bulan sebelumnya sudah membuat hasil yang dibuat sebisa mungkin sama dengan hasil hitung cepat di Pilpres." Untungnya saya bukan pelakunya. Andai pelakunya, bisa kena "tamparan" dari pernyataan dari adik DengMarakka. Bagi oknum yang "tebal muka" bisa cuek-cuekan dengan istilah oligark, oligarki segala. Oligark alias cukong, apapun namanya itu ada sebagaimana demokrasi itu nyata (kayak judul tulisan ini dek).

Ruang obrolan ini mulai "terkipas" oleh umpan balik antarwarga grup WA. Bak jauh dari "jurus mabuk," adik Firman Gelong yang gagah kini tidak kalah nyentriknya. "Berarti masyarakat wajar meragukan hasil lembaga survei kanda, meskipun yang disampaikan secara ilmiah tapi dibalik itu semua siapa yang tahu bahwa ada transaksinya dengan siapapun itu untuk menghasilkan sebuah data misalkan, ada yang bisa menjamin kanda tidak ada transaksinya?" Namanya pembuktian ilmiah. Curiga boleh, nuduh jangan. Bukti itu tidak sesederhana yang kita bayangkan.

Jika ada transaksi yang mencurigakan antaranya para kontestan dan LS, maka harus dibuktikan secara ilmiah. Di situlah kuncinya.

Bukankah LS itu adalah kerja ilmiah? Jika tidak ada bukti secara ilmiah, bukti hukum, kita sulit menyingkap kebenaran ilmiah atas tuduhan adanya politik transaksional di balik data hasil survei. Kan, selama ini masih sebatas "kabar angin." Bukti ada, boleh jadi sanksi menantinya.

Baiklah. Saya tanggapi adik Firman Gelong, pintaku. Persis itu dik. Sekarang pun, ini zaman adalah zaman reservibel (keterbalikan). Zaman ini adalah zaman "ejakulasi dini." Semuanya adalah flow. Ia ditanam, disebar, ditumpuk, dan diledakkan melalui "tubuh sosial" (masyarakat pemilih) sebelum dan menjelang Pilpres 2024. Tidak ada lagi ampas atau efek residual, kecuali pihak yang belum paham dan belum bisa nge-flow dalam kehidupan politik ekonomi. Ini adalah "ekonomi hasrat," yaitu kemampuan seseorang menyalurkan libido. Funding atau semacam fulus alias cuan yang menciptakan hasrat, "libido." Cuan yang menggoda. Cuan serupa pornografi. Keduanya menggoda, membujuk rayu.

Anda jual, saya beli, begitu kata masyarakat. Ada cuan ada suara. Seru masyarakat sekarang. Nah, dulu desa "lumbung" demokrasi, kini tercabik-cabik. Uang melulu. Ibarat politik transaksional adalah "virus," maka virus adalah kita. Coba antum semua bisa bayangkan, kemarin elite politik yang mengajari fatamorgana, ilusi, dan dagelan lainnya. Kini, masyarakat pemilih jika tidak ada fulus, tanpa cuan nampaknya sulit dapat suara (ini terutama kasus Pilcaleg).

Saya teringat Pilkada Kabupaten Jeneponto, 2013. Saya bersama teman-teman dari Relawan Bangkit dan Master of Campaign. Serang Ruslan namanya. Kami banyak belajar dari situ. Betapa Lembaga Survei "tidak laris" di relawan kami. Kami tidak pakai metode dan gaya LS. Kami punya metodologi dan genre pergerakan tersendiri. Di satu kesempatan, kami sempat kritisi malah membantah hasil survei LS tersebut. Kita ingin punya mimpi baru, sejarah baru. Begitulah.

Masih diskusi bersama adik Firman Gelong. Mengapa kami tidak "terangsang" memakai metodologi dan "gaya" Lembaga Survei (LS)? Argumennya, antara lain karena metode LS sama semua. Tapi, hasilnya berbeda. Ada selisih tipis-tipis, nol koma, satu koma, tiga koma dan semacamnya. Kami (versi Relawan Bangkit, nostalgia Pilkada Jeneponto 2013 ni yee ...) ngak sok-sokan dan latah nge-copy paste ala LS. Yang jelas relawan kami punya gaya, genre, strategi, dan metode tersendiri. Kalau mereka (LS) nge-Pop,  kami nge-Rock and Roll. Kami sarankan, sekarang, kita perlu cogito dan "kegilaan." Kata teman, kita harus "keluar dari kotak." Hanya cogito dan "kegilaan" atau "keluar dari kotak" itu kita bisa melangkah dua tiga langkah ke depan. Mungkinkah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun