Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dulu Adil Menuntut, Kini Dituntut

14 April 2023   18:35 Diperbarui: 28 Juli 2023   16:56 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhammad Adil dalam dugaan kasus korupsi (Sumber gambar: kompas.com)

Belum lama berselang, berita yang cukup mengundang perhatian tentang diciduknya Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil. Peristiwa yang tidak mengenakkan itu muncul setelah operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 25 orang.

Satu dari 25 orang itu adalah Muhammad Adil. Dia merupakan bagian dari deretan kepala daerah atau bupati yang terduga kasus korupsi di tanah air.

Menyusul berita, bahwa motifnya adalah soal dugaan suap menyuap. Ada yang menyuap dan yang disuap juga kasus pemungutan setoran secara ilegal di perangkat daerah.

Selain Muhammad Adil, terdapat dua orang lainnya. Fitria Nengsih selaku Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti dan M. Fahmi Aressa selaku Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau dicekok KPK karena diduga melakukan korupsi alias memberi suap dan menerima suap.

Seperti diketahui, Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil terjaring KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) akibat diduga menerima suap berupa fee jasa travel umrah.

Dugaan korupsi juga atas Adil, diantaranya melakukan pemotongan anggaran perangkat daerah di lingkup pemerintahan kabupaten yang melibatkan Fitria Nengsih serta praktik suap menyuap Auditor BPK Fahmi Aressa untuk "melicinkan" jalan dalam merahi opini wajar tanpa pengecualian (WTP). (kompas.com, 07/04/2023)

Dari dugaan penyuapan Adil terhadap Fahmi berupa uang sekitar 1,1 milyar rupiah menjadi barang bukti dalam pemeriksaan keuangan. Adil akhirnya tidak bisa mengelak dari dugaan suap.

Selain itu, diberitakan bahwa Adil juga diduga menerima suap sebesar 1,4 milyar rupiah dari PT Tanur Muthmainnah lewat Fitria.

Seperti Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan dari hasil pendalaman, bahwa bukti lain juga menandai Adil menerima uang sekitar 26, 1 milyar rupiah. Jumlah ini agak lebih jumbo. Berapapun jumlahnya, fakta berbicara jika Adil tersandung kasus korupsi. (kompas.com, 08/04/2023)

Tetapi, sore itu (sekitar pukul 16.18 WIB), Adil betul-betul dalam peristiwa memalukan saat digelandang ke Gedung Merah Putih KPK. Adil rupanya diam membisu ditandai dengan tidak adanya jawaban atas pertanyaan awak media.

Fitria dan Fahmi mengalami hal yang serupa menjadi penghuni rumah tahanan (Rutan) di gedung Merah Putih KPK. Mereka rela atau tidak harus menjalani masa kurungan, sejak 7 April hingga 26 April 2023.

Tanpa sama sekali menyumpahi, orang begitu lirih memandang, sekalipun sebagian pejabat begitu mengecewakan. Kata orang, bangsa kita sedang darurat korupsi. Itu ada betulnya.

Aduh! Lengkaplah sudah penderitaannya! Atau mungkin mereka yang terduga kasus korupsi belum membayangkan apa dampak perbuatannya? Saya kira, belum tentu ada efek jerahnya atas penangkapan pejabat yang terduga memberi dan menerima suap.

Selama masih ada niat dan kesempatan bagi orang atau pejabat lain, maka korupsi dianggap hal biasa. Bahaya, memang bahaya cara berpikir demikian.

Terus terang di mata saya, pak Adil adalah "sang hero." Mengapa saya tiba-tiba tertimpa sesuatu seberat seratus kilo. Saya bak disambar gledek. Antara percaya dan tidak dengan kasus tersebut.

Pak Adil sempat menjadi "buah bibir" di ruang publik. Dia tampil dengan hebohnya di medsos. Bukan tanpa alasan. Mata tertuju padanya terutama dari pihak Kementerian Keuangan karena gayanya yang menjurus seperti kepala mau meledak.

Ibarat "neraka kecil" di hadapannya. Ini gambaran yang sulit digambarkan jika geramnya pak Adil sampai di ubun-ubun.

Padahal bukan main mencak-mencak dan geramnya Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil saat menyoroti dana bagi hasil (DBH) minyak yang diterima ternyata melorot dibandingkan produksi minyak yang merangkak naik. Maka buntutnya terjadi kekisruhan antara Adil sebagai bupati dengan pihak Kementerian Keuangan. (bisnis.com, 16/12/2022)

Begitu getolnya pak Adil memperjuangkan nasib Kabupaten Kepulauan Meranti, hingga dia bersuara lantang pada pemerintah pusat.

"Kalau seandainya kami naik, penghasilannya besar dianggap penurunan, saya mengharapkan bapak keluarkan surat untuk penghentian pengeboran minyak di Meranti. Jangan diambil lagi minyak di Meranti, tidak apa-apa kami juga masih bisa makan daripada uang kami dihisap sama pusat." (detik.com, 13/12/2022)

Muhammad Adil menuntut keadilan dalam bentuk bagi hasil melalui DBH minyak antara pusat dan daerah. Jika kita menengok ke belakang sejenak, tuntutan keadilan adalah lagu lama yang terdengar "berisik" bagi elite.

Soal bagi "kue pembangunan" yang tidak adil dan merata memicu kecemburuan sosial atau ketimpangan struktural. Kisah ketidakadilan semestinya sudah selesai sejak zaman yang telah berlalu.

Tetapi, bukan hal tersebut yang dibahas. Mengapa pejabat daerah seperti Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil serius menyoroti pemerintahan pusat tentang dana bagi hasil (DBH) dari produksi minyak Meranti? Menurutnya, DBH yang diperoleh dianggap berbanding terbalik dengan produksi dan kenaikan harga minyak.

Bukan tanpa alasan dari pak Adil yang dimaksud adalah ketika dia berbicara blak-blakan tentang ada 222 sumur minyak di Meranti dengan produksi nyaris 8.000 barel per hari. Belum lagi perhitungan soal penambahan 13 sumur di 2022 dan rencana 19 sumur di 2023. Semuanya punya target produksi minyak sebesar 9.000 barel per hari. Sungguh spektakuler saat membaca deretan data.

Belum selesai sampai di situ. Kisah sukses itu tidak sebanding dengan kisah miris alias ironis. 

Betapa tidak. Kabupaten Kepulauan Meranti ternyata dirundung kemiskinan.

Menurut data resmi yang dikutip dari laman Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa Kabupaten Kepulauan Meranti termasuk satu dari 50 kabupaten/kota se Indonesia paling miskin. Kita bisa bayangkan soal keributan minyak. Jempol kekayaan sumberdaya alam Meranti, hening cipta bupatinya. (kompas.com, 07/04/2023)

Akhirnya perjuangan pak Adil tidak sia-sia. Dia membuahkan hasil. Pertemuan antara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti dan Pemerintah Pusat terjalin kesepakatan. Pertemuan itu dinilai ada happy ending. Kesepakatan tentang penambahan DBH tahun depan yang mengacu pada harga minyak di level US$ 100 per barel. Di situlah inti kesepakatannya. (cnbcindonesia.com, 22/12/2022)

Kesempatan tersebut ujung-ujungnya menjadi buyar karena ulah pak Adil itu sendiri, sekalipun kesepakatan resmi tetap berlanjut. Senyum merekah itu rupanya hanya sebentar bertengger di wajah. Pak Adil punya "goyangan" lain yang membuat terperosok dalam kasus dugaan korupsi.

Jangan lupa, awalnya jempol berkali-kali pada pak Adil. Selebihnya kita merenung kembali. Ada apa dengan negeri kita. Dari sini, saya membayangkan raut wajah pak Adil nampak muram akibat sudah terduga, sudah dituntut. Tetapi, kita lebih kaget dan mengetahui dari awal sepak terjangnya sebelum terkandung kasus, yang secara hukum sudah tindakan pidana.

Belakangan saya dirasuki prasangka buruk terhadap pak Adil. Jangan-jangan hentakan suara keras gara-gara "berat sebelahnya" antara daerah Meranti dan pusat hanyalah kedok untuk menyembunyikan kebenaran yang sesungguhnya. Mudah-mudahan tidak, pintaku dalam batin. Pasalnya, pak Adil terteriak soal Meranti dikeruk hasil buminya demi bos-bos di pusat.

Dia menyinggung juga pula kas daerahnya yang kempis gara-gara tidak ada pemasukan dari hasil produksi minyak yang cukup melimpah di Meranti. Kas daerah yang kempis atau kocek pak Adil lagi anjlok? Begitulah fantasi kosong saya yang terbang tidak karuan.

Kemarin, kesal dan protes pak Adil lantaran Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai produser minyak mentah begitu melambung harganya, tetapi dikit duitnya.

Seperti diketahui, sebelumnya lifting minyak Kabupaten Kepulauan Meranti mencapai 3.000-4.000 barel per hari menjadi 7.500 barel per hari. (poskota.co.id, 07/04/2023)

Jangan katakan, Wow! Ironi, bukan! Adil menuntut yang tidak adil di daerahnya. Dulu menyangka pusat tidak adil, kini dia tersangka. Saya sampai berpikir, semoga OTT ini yang terakhir. Usahakan dihindari OTT repetitif. Saya mengimpikan negeri ini bebas korupsi. Absurdkah! Kita berharap atas kasus suap menyuap dijadikan pelajaran dan segera enyah dari muka bumi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun