Tanpa sama sekali menyumpahi, orang begitu lirih memandang, sekalipun sebagian pejabat begitu mengecewakan. Kata orang, bangsa kita sedang darurat korupsi. Itu ada betulnya.
Aduh! Lengkaplah sudah penderitaannya! Atau mungkin mereka yang terduga kasus korupsi belum membayangkan apa dampak perbuatannya? Saya kira, belum tentu ada efek jerahnya atas penangkapan pejabat yang terduga memberi dan menerima suap.
Selama masih ada niat dan kesempatan bagi orang atau pejabat lain, maka korupsi dianggap hal biasa. Bahaya, memang bahaya cara berpikir demikian.
Terus terang di mata saya, pak Adil adalah "sang hero." Mengapa saya tiba-tiba tertimpa sesuatu seberat seratus kilo. Saya bak disambar gledek. Antara percaya dan tidak dengan kasus tersebut.
Pak Adil sempat menjadi "buah bibir" di ruang publik. Dia tampil dengan hebohnya di medsos. Bukan tanpa alasan. Mata tertuju padanya terutama dari pihak Kementerian Keuangan karena gayanya yang menjurus seperti kepala mau meledak.
Ibarat "neraka kecil" di hadapannya. Ini gambaran yang sulit digambarkan jika geramnya pak Adil sampai di ubun-ubun.
Padahal bukan main mencak-mencak dan geramnya Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil saat menyoroti dana bagi hasil (DBH) minyak yang diterima ternyata melorot dibandingkan produksi minyak yang merangkak naik. Maka buntutnya terjadi kekisruhan antara Adil sebagai bupati dengan pihak Kementerian Keuangan. (bisnis.com, 16/12/2022)
Begitu getolnya pak Adil memperjuangkan nasib Kabupaten Kepulauan Meranti, hingga dia bersuara lantang pada pemerintah pusat.
"Kalau seandainya kami naik, penghasilannya besar dianggap penurunan, saya mengharapkan bapak keluarkan surat untuk penghentian pengeboran minyak di Meranti. Jangan diambil lagi minyak di Meranti, tidak apa-apa kami juga masih bisa makan daripada uang kami dihisap sama pusat." (detik.com, 13/12/2022)
Muhammad Adil menuntut keadilan dalam bentuk bagi hasil melalui DBH minyak antara pusat dan daerah. Jika kita menengok ke belakang sejenak, tuntutan keadilan adalah lagu lama yang terdengar "berisik" bagi elite.
Soal bagi "kue pembangunan" yang tidak adil dan merata memicu kecemburuan sosial atau ketimpangan struktural. Kisah ketidakadilan semestinya sudah selesai sejak zaman yang telah berlalu.