Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wahai Cucuku, Aku Buruh Gendong, Tunggu Aku di Rumah

16 Maret 2023   17:33 Diperbarui: 18 Maret 2023   08:25 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Adzan Subuh sudah berkumandang. Mbah Siyem, 68 tahun siap-siap menuju Pasar Beringharjo.

Jarak yang ditempuh dari rumahnya di bilangan Kulon Progo sekitar 30 kilometer ke tempat tujuan.

Saban hari mbah Siyem pergi pulang menumpangi bus kota. Sewaktu-waktu dia dibonceng oleh anaknya dengan sepeda motor. 

Dari jalan utama penghubung Kota Yogyakarta dan Jalan Wates, Kulon Progo, mbah Siyem diantar untuk menunggu bus kota menuju timur. Lebih kurang satu jam perjalanan yang dia tempuh.

Mbah Siyem merupakan satu dari 210 buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo.

Di sana, jasanya disewa untuk menggendong barang belanjaan dari lantai dua ke lantai tiga. Dari satu lantai ke arah pintu Pasar Beringharjo.

Umumnya, buruh gendong  di Pasar Beringharjo memang berasal dari Kulon Progo.

Satu jam berlalu, tepatnya pukul 05.30 pagi, mbah Siyem sudah tiba di Pasar Beringharjo. Lazimnya, dia lalu berputar-putar untuk menawarkan jasanya sebagai buruh gendong. Bagai mendapat "durian runtuh," mbah Siyem bertekad untuk memanggul belasan karung beras (14/3/2023).

Berapa kilo beratnya per karung beras? Disebutkan, kurang lebih 5 (lima) kilogram per karung beras. 

Ya ampun! Mbah Siyem dengan punggungnya, sanggup memanggul 5 (lima) hingga 7 (tujuh) karung beras. Perempuan perkasa banget, gumanku membatin.

Coba bayangkan! Dalam hitung-hitungannya. Dia dengan mengandalkan kekuatan fisik dalam usia lebih setengah abad harus memanggul barang melalui tangga. Dia naik turun dalam sekali jalan sebanyak tiga kali dengan beban barang seberat sekitar 40 kilogram.

Selanjutnya, mbah Siyem menuturkan mengenai pekerjaannya. "Sehari enggak pasti tadi sudah angkut roti 2 kali, sama beras tadi 3 kali. Tadi pegawai beras tidak masuk, jadi saya yang diminta untuk memanggul."

Seperti buruh gendong perempuan lainnya, mbah Siyem tidak punya kamus kehidupan untuk merasa malu menjalani pekerjaan sebagai bangsa jongos. Istilah pekerjaan rendahan enyah di hadapannya.

Dari awal kisah pilu mbah Siyem, saya mencoba menyerap energi cahaya kehidupan darinya. Saya mengambil butir-butir hikmah di balik kisah buruh gendong perempuan. Bahwa menjadi buruh gendong perempuan diperlukan semacam ketabahan yang mengagumkan. Suatu kesabaran yang agung. Jenis pekerjaan tersebut mesti jauh dari "mental kerupuk." 

Dia harus tahan banting, kuat mental atau tidak gengsian. Rumusnya, apa pun jenis pekerjaannya, dia harus mensyukurinya. Yang penting halal.

Kisah getir buruh gendong membuat saya terenyuh. Tanpa basa-basi dan candaan di tengah keringat buruh gendong perempuan. Layaknya kehidupan di desa, mbah Siyem dan buruh gendong lainnya menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya.

Ada yang menarik di sana. Mbah Siyem berada dalam interaksi penjual, buruh gendong perempuan, dan pembeli. 

Dimana aliran barang, di situ mbah Siyem mengalir menjemput bola alias pengguna jasa.

Sampai saat ini, buruh gendong di mata masyarakat Indonesia menganggapnya sebagai pekerjaan recehan. Ia sejenis pekerjaan kaum terpinggirkan.

Mengapa demikian? Buruh gendong dari kalangan emak-emak bertumpu pada kekuatan fisik. Ia mengedepankan kerja otot. 

Buruh gendong ditampik di hadapan pekerjaan yang mengandalkan otak, pikiran cemerlang. Istilah kerennya buruh gendong asing dari human capital. Dia amat berbeda pekerja profesional, seperti manajer, akuntan, dokter, konsultan hingga dosen. Sehingga mereka secara otomatis sangat kontras dari segi pendapatan. Yang satu, 2.000, 5.000, 10.000 rupiah, yang lainnya puluhan bahkan ratusan juta.

Jelas berbeda. Ibarat langit dan bumi, gaji alias upah buruh dan kalangan profesional. Lebih jelas lagi, ada jurang yang menganga lebar antara dua kelompok masyarakat.

***

Kebenaran apa yang kita cari? Di era flexing, pejabat yang ngebet memamerkan kekayaan sudah jelas dan pasti tidak sementereng dengan kehidupan buruh gendong. 

Tetapi, soal bahwa rasa minder dan gengsi adalah hal yang sudah terkubur dalam benak mbah Siyem dan buruh gendong lainnya. Jika disebutkan penampilan necis dari pejabat, rasa malu itu nyaris lenyap. Mereka agak jaim, jaga imej. Enggan gengsi karena buruh gendong dianggap sebagai pekerjaan kasar, malah hina.

Menjadi kentara dibuatnya. Kita sadar, nasib pilu buruh gendongan perempuan merupakan implikasi dari kesenjangan sosial yang lebar dan dalam (entah analogi lubang biawak, lubang tikus).

Sudah tentu, pekerjaan buruh gendong ada pengecualian dari sisi pekerjaan fisik. Tukang ojek online atau tukang bangunan harian berskala besar relatif berbeda upahnya dengan buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo dan tempat lainnya. 

Kepala tukang bangunan meraup upah 150-200 ribu rupiah per hari, misalnya. 

Upah buruh bangunan, katakanlah hitungan kasar sebesar 100 ribu rupiah per hari.

Sebetulnya, saya iseng-iseng nge- googling. Saya mencoba nge-klik data upah pekerja. Ada data UMP DI Yogyakarta, 2023. Bertengger nilai nominal upah buruh DI Yogyakarta sebesar 1.981.782,39 rupiah. 

Nilainya naik, tetapi tidak signifikan bagi buruh gendong. Kesejahteraan buruh gendong, katakan tidak wow! Dari data tersebut, mana yang semut, mana yang gajah sudah bisa ditebak.

Suatu hari, kolega menggerutu. Keras ini kehidupan! Saya heran dan termenung. Bisa tidak ngomong dengan nada yang terdengar kurang segar. Nah, di sini apa permasalahannya? 

Syukurlah, kawan-kawan sudah jadi ASN. Gaji diterima per bulan. Ingatlah wong cilik! Kadangkala membandingkan tingkat kesejahteraan bisa menyakitkan.

Pekerjaan buruh gendongan teryata berbuah kesenangan. Mbah Siyem tidak mengeluh, tidak menyesal dengan keadaan dirinya. 

Lanjut, dia menuturkan. "Paling enggak ada oleh-oleh untuk cucu." Padahal, mbah Siyem bukan main berat beban hidup yang dipukulnya. Di situ muncul rindu dengan keluarga. 

Karena riang, mbah Siyem menggendong barang puluhan kilogram tidak terasa beratnya. Semasa remaja, saya pernah alami bagaimana seninya mengangkat beban berat. Saya memanggul sekitar 50 kilogram pupuk per karung. Esoknya, badan pegal-pegal lantaran tidak biasa mengangkat beban berat.

Lain lagi, kisah mbah Wagirah (70) asal Kulon Progo. Mirip-mirip kisah mbah Siyem. Cuma berbeda usianya.

Mengelola kocek itulah pertimbangan untuk kelangsungan hidup keluarga. Jelas pula, banting tulang, peras keringat. Tidak ada jalan lain. Mbah Wagirah rela jadi "sang jago" di bidang genidongan barang. Ayo, siapa nantangku?

Siapa yang ingin berselimut malam di emperan toko? Mbah Wagirah jawaranya. Saya dan Anda tidak bermain lelucon. 

Bayangkan, ukuran 2 kali 2 meter luas emperan dijadikan tempat tidur, beristerahat di malam hari.

Lengkaplah sudah riang gembira menyambut pagi. Bintang gemintang malam tidak terlihat saat siang hari, bukan?

Datang hujan kehujanan, datang panas kepanasan tidak dihiraukan oleh mbah Wagirah. Sudah di level Lansia, dia masih banyak anak muda dibuatnya keder. Semangatnya luar biasa.

Bangun pagi, pukul 3 dini hari bagi mbah Wagirah menjadi rutinitas. Angkat barang berpuluh-puluh kilogram terasa enteng. 

Sebagaimana buruh gendong lainnya, mbah Wagirah tidak peduli dengan besaran upah. Jika ratusan ribu rupiah rezkinya, mereka  makin asyik. Saya cemburu dengan buruh gendong perempuan! Catat! Mereka tak gendong Anda. Pelajaran tentang kehidupan buruh gendong perempuan yang penting, seperti mbah Siyem dan Wagirah. Tunggu aku di rumah, cucuku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun