***
Kebenaran apa yang kita cari? Di era flexing, pejabat yang ngebet memamerkan kekayaan sudah jelas dan pasti tidak sementereng dengan kehidupan buruh gendong.Â
Tetapi, soal bahwa rasa minder dan gengsi adalah hal yang sudah terkubur dalam benak mbah Siyem dan buruh gendong lainnya. Jika disebutkan penampilan necis dari pejabat, rasa malu itu nyaris lenyap. Mereka agak jaim, jaga imej. Enggan gengsi karena buruh gendong dianggap sebagai pekerjaan kasar, malah hina.
Menjadi kentara dibuatnya. Kita sadar, nasib pilu buruh gendongan perempuan merupakan implikasi dari kesenjangan sosial yang lebar dan dalam (entah analogi lubang biawak, lubang tikus).
Sudah tentu, pekerjaan buruh gendong ada pengecualian dari sisi pekerjaan fisik. Tukang ojek online atau tukang bangunan harian berskala besar relatif berbeda upahnya dengan buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo dan tempat lainnya.Â
Kepala tukang bangunan meraup upah 150-200 ribu rupiah per hari, misalnya.Â
Upah buruh bangunan, katakanlah hitungan kasar sebesar 100 ribu rupiah per hari.
Sebetulnya, saya iseng-iseng nge- googling. Saya mencoba nge-klik data upah pekerja. Ada data UMP DI Yogyakarta, 2023. Bertengger nilai nominal upah buruh DI Yogyakarta sebesar 1.981.782,39 rupiah.Â
Nilainya naik, tetapi tidak signifikan bagi buruh gendong. Kesejahteraan buruh gendong, katakan tidak wow! Dari data tersebut, mana yang semut, mana yang gajah sudah bisa ditebak.
Suatu hari, kolega menggerutu. Keras ini kehidupan! Saya heran dan termenung. Bisa tidak ngomong dengan nada yang terdengar kurang segar. Nah, di sini apa permasalahannya?Â
Syukurlah, kawan-kawan sudah jadi ASN. Gaji diterima per bulan. Ingatlah wong cilik! Kadangkala membandingkan tingkat kesejahteraan bisa menyakitkan.