Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kekerasan Bahasa Itu adalah Aku

3 Februari 2023   17:33 Diperbarui: 5 Juni 2023   12:51 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita yakin terhadap pernyataan dalam video yang diunggah YouTube CakNun.com di beberapa waktu yang lalu begitu viral. 

Cak Nun sapaan akrab Emha Ainun Nadjib menyentil hal-hal sangat sensitif dalam satu acara.

Jejak-jejak "Markesot Bertutur Lagi" sebagai salah satu buku karya Cak Nun akhirnya tidak secerah dalam episode perjalanan kekaryaannya. Mengapa kita tertegun dengan Cak Nun?

***

Pharaoh (Firaun) yang dikisahkan dalam 'kitab suci' telah menurunkan suatu cuilan kisah lewat bahasa tutur Cak Nun. 

Kisah yang berhubungan dengan zaman kegelapan di Mesir kuno, ribuan tahun sebelum masehi.

Kita abaikan kisahnya. Sekarang, kita bisa membaca dalam salah satu edisi di media online.

Masih edisi 18 Januari 2023, dalam detik.com bertajuk "Cak Nun Usai Ibaratkan Jokowi Firaun itu Saya Kesambet"betul-betul menyita perhatian. Ia menjadi berita heboh.

Sebagai sosok kritikus kebudayaan, Cak Nun menunjukkan dirinya dalam retorika yang hebat. Petuah dan idenya  bukan main. Dia bukan budayawan recehan.

Lihatlah! Di acara Mocopat Syafaat dan Tawashushulan menyelipkan julukan  yang ganjil. Suatu acara yang membuat warganet dan publik terpanah.

Pernyataannya di bawah kritik nampak menjurus ke permainan bebas tanda. Retorika yang dikemas sedemikian rupa mula-mula tenang dan mencapai titik klimaks ujaran yang bersifat reaksioner dan serampangan.

Atas nama kritik budaya, Cak Nun telah melawan dirinya sendiri. Seorang budayawan dengan maqam spritual yang keren laksana advocatus Dei di jagat media online.

Simaklah Cak Nun bertutur! "Karena Indonesia yang namanya Jokowi, oleh Qorun yang namanya Anthony Salim dan 10 naga. Terus Haman yang namanya Luhut."

Selanjutnya, "Negara kita sesempurna dicekel oleh Firaun, Haman, dan Qorun. Itu seluruh sistemnya, seluruh perangkatnya, semua alat-alat politiknya sudah dipegang mereka semua. Dari uangnya, sistemnya, sampai otoritasnya, sampai apapun."

Itulah ungkapan di penggalan video Cak Nun yang terhormat. Selintas, kita mungkin menilai ucapan tersebut tidak lebih dari karya sastra bernilai tinggi, seperti Chairil Anwar. Bisa jadi, karya sastra atau puisi dibajak oleh ujaran yang mabuk kepayang. Ia menjadi suatu ujaran yang membahayakan. Kita tidak tahu, Cak Nun sudah pernah membaca No Exit karya Jean Paul Sartre atau semisal The Immoralist karya Andre Gide. Tetapi, Firaun dan para punggawanya tidak harus bersifat fiktif dalam kehidupan negeri ini.

Setelah penyesalan, ujaran atau pernyataan masih tetap mencerminkan jiwa Anda. 

Lalu, sebagaimana Anda semestinya berwatak, bukan keadaan dan selera Anda yang dipaksakan pada pemimpin bangsa kita.

Terdapat celah bagi masuknya kekerasan bahasa dan kekerasan pikiran. Buktinya, tidak terdapat kritik wacana di sana. Lebih lagi, dia abai tentang analisis dalam bahasa kuasa. 

Awalnya, Cak Nun tidak mencemaskan atas apa yang diucapkan. "(Itu saya tidak ada rencana tahu-tahu mengucap) Firaun, Haman, Qorun. Itu itu di luar rencana saya dan sama sekali di luar kontrol saya, maka saya tadi saya bikin video sama Sabrang judulnya Mbah Nun Kesambet." 

Dia merasa malu, sudah ketahuan belangnya. Bisa jadi juga yang tidak diharapkan, Cak Nun termasuk generasi 'kepleset'. Dia kira masih terang, padahal hari sudah gelap.

Sudah tentu, orang pada tahu jika Cak Nun menggunakan bahasa yang dikenal luas. Nama-nama yang disebutkan atau "sistem," "perangkat," "alat politik," "uangnya," dan "otoritasnya." Bahasa yang digunakan oleh Cak Nun hanya merupakan variasi 'penanda' yang dipoles dalam retorika yang memukau.

Tetapi, bahasa yang "diterompetkan" oleh Cak Nun dengan kritik budaya  pun sama anehnya dalam ketidaksadaran teks ala Derrida. 

Sayangnya, penggunaan bahasa dimainkan yang punya kehormatan, justeru berselancar di wilayah kekerasan bahasa. Suatu bahasa yang semestinya dienyahkan dari sosok budayawan luar biasa yang diberkahi dengan kefasihan berbicara di depan khalayak.

Sejak dulu, muslihat retoris yang "mengadili" kuasa negara dengan kata-kata yang bebas dan tajam. 

Julukan dalam penggalan melalui ucapan Cak Nun ingin bebas dari kedok kritik budaya realis. Apa yang terjadi? Kritik budaya berubah menjadi bumerang.

Akibatnya, pernyataan di ruang terbuka tidak terelakkan sebagaimana komentar warganet sulit diinterupsi. Cak Nun tuai ejekan dan kecaman.

Memanfaatkan momen berbicara bebas berarti menikmati keterusterangan berbicara yang tertukar dengan permohonan maaf. Khawatir dengan kekerasan bahasa dieksploitasi, maka Cak Nun buru-buru kembali merahi tanda-tanda 'kesalehan'. Dia tidak mengecoh keterusterangan berbicaranya. Cak Nun telah memancing kritik terbuka sekaligus tidak akan mengulangi lagi dengan kata-kata yang ngawur di balik kritik budaya.

Lewat ketidakhadiran hukuman negara, Cak Nun bukan berarti rasa malu itu dicampakkan begitu saja. Peristiwa tersebut sebagai pelajaran baginya.

***

"Meski Anda menyakitiku, aku tidak akan menyatakan jika Anda jahat."

Entah siapa nama filsuf Stoik punya wejangan 'sundul langit' itu. Tetapi, ungkapan tersebut enteng diucapkan, berat berton-ton dalam tindakan.

Busa, bisa, dan bui retoris di balik julukan Firaun memuaskan pengucapnya secara sekejap untuk membayangkan permasalahan sebagai sesuatu yang remeh. Cak nun memilih kosakata bagai menu pencuci mulut dalam kategori cita rasa yang nikmat. Busa julukan menjadi tanda komunikasi yang terbuka dan dangkal, santun dan picisan.

Pembicaraan dalam ruang yang bebas laksana air yang tersimpan mudah menguap. Begitu pula julukan Firaun yang dituduhkan, katakanlah atas Jokowi di mata Cak Nun dianggap lekas menghilang, menguap di udara begitu saja. Ini semakin ngelantur retorikanya dari Cak Nun dikenal sebagai Kiyai Mbeling.

Tiba-tiba Cak Nun mengajukan permohonan maaf yang mengaku kesambet atas ucapannya bak "jurus mabuk." Kelihatan monster dihadapannya, eh ternyata tiang listrik.

Atas pengakuan seperti kerasukan roh halus dalam dirinya, Cak Nun seakan-akan sakit "gondok." Ucapannya tidak karuan. Dikira zaman berbicara bebas, Cak Nun menyamakan julukan Firaun, Haman, dan Qarun dengan seseorang semacam "kebusukan" harus dibuang (nafas, gigi, kulit) dalam iklan produk kesehatan.

Alih-alih berkelit dari lingkaran julukan yang dianggap 'kesambe' ada peluang dimaafkan oleh Jokowi. Kata orang, julukan tersebut masih tetap teringat lewat jejak-jejak dalam ruang siber.

Saya juga heran, mengapa masih ada orang yang menghujat. Sekalian orang masih enggan mengusung pemikiran baru. 

Mengapa orang doyan kritisisme yang ujung-ujungnya cemoohan yang dingin dan telanjang.

Tidaksukanya saya pada seseorang, tidak berarti saya bebas menjelek-jelekkan apalagi menghina. Orang bisa berbeda pandangan dan sikap, tetapi tidak lantas menebar kebencian.

Saya mungkin jenis makhluk yang tidak tega mengeluarkan kata-kata alias ucapan yang mengundang permusuhan. Suatu ucapan yang menyakitkan, lantas memilih cari obat apa yang menyembuhkan. Bersyukurlah, Presiden Jokowi membuka pintu maaf bagi Cak Nun.

Saya bukan barisan pembela Jokowi. Tetapi, saya sadar, semuanya ada batasnya. Termasuk, sesuka-sukanya ucapan meluncur dalam pelanggaran batas-batas.

Saya sudah membaca komentar warganet di media online. Terhadap Cak Nun diberondong celaan dan sindiran.

Sekadar komentar ditampilkan dalam kesempatan ini. Banyak sekali penggalan komentar, diantaranya: "sungguh tidak bertanggungjawab jika alasanmu kesambet, kesambet berarti yang ngomong itu setan yang lewat bukan manusia, janganlah begitu cak...."

"Dulu saya pengagum anda, follower anda, tapi luntur sudah semua. Saya tetap hormati anda sebagai manusia tapi tidak dengan lisanmu."

"Iman loe kok lemah amet Nun.... Masih bisa kemasukan setan,..."

"Ustad bukan, komika bukan, ga jelas."

Begitulah, kritik atas kritik yang tidak terbantahkan. Tidak ada orang lain yang mengkritik seseorang, kecuali dirinya sendiri.

Saya tidak memahami lebih jauh apa yang dikomentari orang-orang di media online. Saya kira, setiap orang akan berusaha untuk tidak terjebak dengan 'agen kemabukan berbicara'.

Coba bayangkan, andai Cak Nun hidup bukan di era demokrasi. Dia tidak bakal berbicara bebas. "Keseleo" sedikit saja, penjara tempatnya. Dia dijebloskan dalam tahanan politik. Masih mending itu, jika seseorang diculik misalnya, bahkan dibunuh secara misterius. Kengerian di hadapan kita. Memang demokrasi masih menyisakan rapor buruk. Yang jelas, kita tidak dicekal atau ditangkap seenaknya. Setiap orang berhak berbicara bebas yang bertanggungjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun