Sayangnya, penggunaan bahasa dimainkan yang punya kehormatan, justeru berselancar di wilayah kekerasan bahasa. Suatu bahasa yang semestinya dienyahkan dari sosok budayawan luar biasa yang diberkahi dengan kefasihan berbicara di depan khalayak.
Sejak dulu, muslihat retoris yang "mengadili" kuasa negara dengan kata-kata yang bebas dan tajam.Â
Julukan dalam penggalan melalui ucapan Cak Nun ingin bebas dari kedok kritik budaya realis. Apa yang terjadi? Kritik budaya berubah menjadi bumerang.
Akibatnya, pernyataan di ruang terbuka tidak terelakkan sebagaimana komentar warganet sulit diinterupsi. Cak Nun tuai ejekan dan kecaman.
Memanfaatkan momen berbicara bebas berarti menikmati keterusterangan berbicara yang tertukar dengan permohonan maaf. Khawatir dengan kekerasan bahasa dieksploitasi, maka Cak Nun buru-buru kembali merahi tanda-tanda 'kesalehan'. Dia tidak mengecoh keterusterangan berbicaranya. Cak Nun telah memancing kritik terbuka sekaligus tidak akan mengulangi lagi dengan kata-kata yang ngawur di balik kritik budaya.
Lewat ketidakhadiran hukuman negara, Cak Nun bukan berarti rasa malu itu dicampakkan begitu saja. Peristiwa tersebut sebagai pelajaran baginya.
***
"Meski Anda menyakitiku, aku tidak akan menyatakan jika Anda jahat."
Entah siapa nama filsuf Stoik punya wejangan 'sundul langit' itu. Tetapi, ungkapan tersebut enteng diucapkan, berat berton-ton dalam tindakan.
Busa, bisa, dan bui retoris di balik julukan Firaun memuaskan pengucapnya secara sekejap untuk membayangkan permasalahan sebagai sesuatu yang remeh. Cak nun memilih kosakata bagai menu pencuci mulut dalam kategori cita rasa yang nikmat. Busa julukan menjadi tanda komunikasi yang terbuka dan dangkal, santun dan picisan.
Pembicaraan dalam ruang yang bebas laksana air yang tersimpan mudah menguap. Begitu pula julukan Firaun yang dituduhkan, katakanlah atas Jokowi di mata Cak Nun dianggap lekas menghilang, menguap di udara begitu saja. Ini semakin ngelantur retorikanya dari Cak Nun dikenal sebagai Kiyai Mbeling.