Tiba-tiba Cak Nun mengajukan permohonan maaf yang mengaku kesambet atas ucapannya bak "jurus mabuk." Kelihatan monster dihadapannya, eh ternyata tiang listrik.
Atas pengakuan seperti kerasukan roh halus dalam dirinya, Cak Nun seakan-akan sakit "gondok." Ucapannya tidak karuan. Dikira zaman berbicara bebas, Cak Nun menyamakan julukan Firaun, Haman, dan Qarun dengan seseorang semacam "kebusukan" harus dibuang (nafas, gigi, kulit) dalam iklan produk kesehatan.
Alih-alih berkelit dari lingkaran julukan yang dianggap 'kesambe' ada peluang dimaafkan oleh Jokowi. Kata orang, julukan tersebut masih tetap teringat lewat jejak-jejak dalam ruang siber.
Saya juga heran, mengapa masih ada orang yang menghujat. Sekalian orang masih enggan mengusung pemikiran baru.Â
Mengapa orang doyan kritisisme yang ujung-ujungnya cemoohan yang dingin dan telanjang.
Tidaksukanya saya pada seseorang, tidak berarti saya bebas menjelek-jelekkan apalagi menghina. Orang bisa berbeda pandangan dan sikap, tetapi tidak lantas menebar kebencian.
Saya mungkin jenis makhluk yang tidak tega mengeluarkan kata-kata alias ucapan yang mengundang permusuhan. Suatu ucapan yang menyakitkan, lantas memilih cari obat apa yang menyembuhkan. Bersyukurlah, Presiden Jokowi membuka pintu maaf bagi Cak Nun.
Saya bukan barisan pembela Jokowi. Tetapi, saya sadar, semuanya ada batasnya. Termasuk, sesuka-sukanya ucapan meluncur dalam pelanggaran batas-batas.
Saya sudah membaca komentar warganet di media online. Terhadap Cak Nun diberondong celaan dan sindiran.
Sekadar komentar ditampilkan dalam kesempatan ini. Banyak sekali penggalan komentar, diantaranya: "sungguh tidak bertanggungjawab jika alasanmu kesambet, kesambet berarti yang ngomong itu setan yang lewat bukan manusia, janganlah begitu cak...."
"Dulu saya pengagum anda, follower anda, tapi luntur sudah semua. Saya tetap hormati anda sebagai manusia tapi tidak dengan lisanmu."